Cari Berita

Pasal 603 KUHP Baru Sebagai Delicta Commune, Delik Materil, Modifikasi Sistem Delphi, dan Core Crime Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor

Marsudin Nainggolan - Dandapala Contributor 2025-12-09 09:35:31
Dok. Penulis.

Pasal 603 KUHP Baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) ditempatkan dalam Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini merupakan kodifikasi ulang dari inti delik korupsi unlawful enrichment yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Secara teoritis, Pasal 603 KUHP Baru memiliki empat karakter mendasar:

  1. Delicta Communia  artinya  dapat dilakukan oleh siapa saja;
  2. Delik Materil  yang mensyaratkan akibat berupa kerugian negara;
  3. Modifikasi Sistem Delphi merupakan suatu metode penyempurnaan dari model pemberantasan korupsi berdasarkan sistem klasifikasi delik inti (core crime);
  4. Core Crime dari Pasal 2 ayat (1) UU Pemberatasan Tipikor  dalam artian  bahwa inti perbuatan korupsi berupa perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.

Pasal 603 KUHP Baru Sebagai Delicta Commune

Frasa “Setiap Orang” Sebagai Penanda Delik Umum.  Pasal 603 merumuskan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”

Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023

Moeljatno menyatakan bahwa delicta commune adalah delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak mensyaratkan kualitas khusus pelaku seperti jabatan atau profesi tertentu (Moeljatno 2010 : 63 ). Sedangkan delicta propria adalah tindak pidana yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memenuhi kualifikasi atau memiliki kualitas tetentu misalnya pegawai negeri, pelaut, militer (Jan Remmelink 2003 : 72)

Karena Pasal 603 KUHP Baru  tidak mensyaratkan “pejabat publik”,  dapat diterapkan kepada warga biasa, dan dapat diterapkan kepada korporasi, maka secara doktrinal ia termasuk delik umum (delicta commune).  Berbeda dari Delicta Propria Pasal 604 KUHP Baru yang mewajibkan pelaku adalah pejabat publik, sehingga merupakan delicta propria. Hal ini menegaskan karakter Pasal 603 sebagai delik umum yang lintas-subjek.

Pasal 603 KUHP Baru sebagai Delik Materil

 Pasal 603 KUHP Baru  dikatakan sebagai delik materil karena mengharuskan adanya unsur akibat: “Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara”  sebagai unsur utama.

Delik materil adalah delik yang dianggap selesai bukan saat perbuatan dilakukan, tetapi setelah akibat terjadi (Adami Chazawi 2012 : 212).

Unsur kerugian negara dalam Pasal 603 merupakan unsur esensial, sehingga Perbuatan belum sempurna sebelum kerugian negara terbukti, dan harus ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian negara, serta Kerugian negara harus bersifat nyata (actual loss), bukan sekadar potensi.

Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa delik materil mensyaratkan pembuktian empiris atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan (Satjipto Rahardjo 2014 : 118).

Pasal 603 sebagai delik materil mengandung konsekuensi pada pembuktian yang lebih teknis dan kompleks.  Oleh karena itu, Pasal 603 ini memerlukan adanya : 1).Perhitungan kerugian negara (BPK/BPKP), 2).Pembuktian actus reus (perbuatan memperkaya diri), 3).Pembuktian unsur melawan hukum, dan 4) Pembuktian hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian keuangan atau perekonomian negara . Hal ini membedakannya dari delik formil Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor yang tidak memerlukan akibat nyata. Penuntut Umum lebih mudah membuktikan delik  lebih, karena cukup menunjukkan bahwa perbuatan berpotensi (potential loss) merugikan negara.

Modifikasi Sistem Delphi dalam Pasal 603 KUHP Baru

Konsep Dasar Sistem Delphi dalam doktrin korupsi kontemporer, Sistem Delphi merupakan model klasifikasi delik korupsi berdasarkan “tingkat esensialitas” terhadap kerusakan sistem publik ( Jeremy Pope  2000 : 44) . Sistem ini membagi delik menjadi: 1) Core Crime – delik inti atau “paling esensial” yang menjadi pusat dari keseluruhan rangkaian kejahatan ; 2). Adjacent Crime – delik terkait yang merupakan tindak pidana yang berhubungan langsung dengan core cime, namun tidak menjadi unsur utama, perannya memperkuat, memfasilitasi, atau menutupi tindak pidana inti; dan 3). Supporting Crime – delik pendukung atau instrumental. Core crime berupa perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, Adjacent cime misalnya pemalsuan dokumen untuk merekayasa laporan penggunaan anggaran dan Supporting crime misalnya penghilangan barang bukti.   Indonesia melalui KUHP Baru mengadopsi pola serupa dalam restrukturisasi delik korupsi, terutama dalam delik Pasal 603–606 KUHP Baru.

Pasal 603 sebagai Modifikasi Sistem Delphi ditempatkan sebagai Core Crime dalam kelompok delik korupsi KUHP Baru, karena sifatnya: berorientasi pada kerugian negara, tidak membutuhkan kualitas pelaku, fokus pada tindakan memperkaya diri secara melawan hukum, dan sesuai dengan model korupsi “unlawful enrichment” dalam UNCAC (UNODC  2015 : 148).

Struktur KUHP Baru menunjukkan adanya reklasifikasi delik menuju Delphi-structured offences, di mana Pasal 603 menjadi inti kluster.

Pasal 603 KUHP Baru sebagai Core Crime Pasal 2 Ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor

Dalam doktrin hukum pidana core crime merujuk pada delik inti yang mencerminkan substansi utama suatu jenis kejahatan. Dalam konteks korupsi delik memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian  negara adalah inti filosofis dan yuridis tindak pidana korupsi.

a. Kesamaan Unsur Pasal 603 merupakan kodifikasi ulang dari Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara…”

Unsur-unsur antara Pasal 603 dan Pasal 2 ayat (1) identik, yakni : 1) Unsur  Subjek: setiap orang; 2) Unsur Perbuatan: memperkaya diri; 3). Unsur Sifat: melawan hukum; dan 4) Unsur Akibat: kerugian negara.

b. Mengapa Disebut Core Crime

Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor merupakan delik utama (core crime) korupsi di Indonesia karena menyerang langsung keuangan negara (Romli Atmasasmita  2012 : 81). Dan Moeljatmo menyebutkan bahwa delik inti adalah perbuatan yang secara langsung merusak nilai hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang (Moeljatmo 2010 : 54). Nilai hukum yang dilindungi Pasal 603 adalah keuangan negara dan perekonomian  negara, sehingga sifatnya fundamental.

KUHP Baru mengadopsi delik ini sebagai delik pertama dalam kluster korupsi (Pasal 603), dan delik yang memiliki struktur unsur paling lengkap, serta delik yang paling luas jangkauannya karena dapat menjerat siapa pun termasuk Korporasi.

c. Hubungan “Lex Specialis

Meskipun KUHP Baru mengatur delik inti, UU Pemberantasan Tipikor tetap berlaku sebagai lex specialis. Pasal 603 tidak menggantikan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor. Undang-undang Pemberantasan Tipikor tetap berlaku sebagai asas lex specialis derogat legi generali, sehingga pengaturan korupsi dalam KUHP Baru tidak serta merta mencabut berlakunya UU Pemberantasan Tipikor. Tetapi menjadi kodifikasi nasional, dan harmonisasi dengan sistem pidana umum, serta referensi untuk penataan kembali struktur delik korupsi.

Simpulan

Pasal 603 KUHP Baru memiliki empat karakter utama:

  1. Delicta Commune atinya  dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk korporasi.
  2. Delik Materil  sebagai delik dianggap selesai setelah timbul kerugian keuangan negara dan memerlukan pembuktian kausalitas.
  3. Modifikasi Sistem Delphi berupa metode penempatan Pasal 603 menjadi delik inti dalam model klasifikasi delik korupsi versi KUHP Baru.
  4. Core Crime dari Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor dalam arti merupakan adopsi langsung dari delik memperkaya diri secara melawan hukum yang merugikan negara.

Dengan demikian, Pasal 603 KUHP Baru adalah delik inti dalam arsitektur pemberantasan korupsi Indonesia, sekaligus jembatan (bridging rule) antara KUHP Baru dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Koupsi.  Semoga bermanfaat. (ldr/wi)

Daftar Pustaka

Baca Juga: Memaknai Asas Lex Favor Reo dalam KUHP Nasional dan Implikasinya Terhadap Delik Korupsi

Buku

  • Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.
  • Andi Hamzah. Korupsi di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
  • Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
  • Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
  • Romli Atmasasmita. Reformasi Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju, 2012.
  • Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.
  • Jeremy Pope. Confronting Corruption. Transparency International, 2000.
  • Dokumen Internasional
  • UNODC. Legislative Guide to the United Nations Convention Against Corruption. New York: UN, 2015.
  • Peraturan
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Dr. Marsudin Nainggolan, SH.,MH-Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara.

Tulisan ini disampaikan dalam rangka memperingati HARI  ANTI KORUPSI SEDUNIA (HAKORDIA) Tahun 2025 (Tanggal 9 Desember 2025) .

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…