Cari Berita

Nasihat Kakak untuk Adik: Selamat Bertugas dan Jaga Integritas!

article | Opini | 2025-06-25 08:00:39

Hadirnya Presiden Prabowo Subianto dalam acara Pengukuhan Hakim 2025  sebanyak 1.452 Hakim bersama Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Sunarto bertempat di Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat membawa kebahagiaan dan kebanggaan. Calon Hakim yang dikukuhkan telah mendapatkan pendidikan dalam kurun waktu yang tidak singkat, juga ditempa dengan baerbagai macam doktrin untuk menjadi Hakim yang tidak mudah terjatuh dan terhindar dari pelanggaran Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim dikemudian hari.  Acara pengukuhan Hakim tahun 2025 juga diwarnai dengan janji presiden untuk kenaikan gaji 280% kepada orang-orang yang dipercaya sebagai benteng terakhir terwujudnya keadilan, mereka akan tetap dihadapkan kepada pilihan antara tergilas atau bertahan dalam integritas tentunya. Mejaga kepercayaan publik tentunya bukan tanggungjawab yang mudah diemban, bukan saja kepada 1.452 Hakim yang telah dikukuhkan, melainkan juga bagi seluruh Hakim yang telah lama melaksanakan tugas dan berkiprah dalam jabatannya. Namun perbedaan yang tampak di depan mata adalah mereka yang telah lebih dahulu bertugas, tentu sudah berpengalaman dan telah memiliki imunitas yang banyak dalam menjaga keagungan peradilan. Meskipun tidak sedikit juga yang jatuh dalam perjuangan menjagai marwah Mahkamah Agung tersebut, karena dihadapkan dengan berbagai kondisi di lapangan yang rumit. Kondisi tersebut tentu juga dirasakan oleh Hakim-Hakim yang baru dikukuhkan Presiden RI dan Ketua MA, Rabu (12/06/2025).   Pada penempatan tugas pertama mereka sebagai Hakim, Dirjen Badilum telah mengumumkan secara resmi penempatan 918 Hakim baru Peradilan Umum ke berbagai satuan kerja Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia untuk mengemban amanah untuk tegaknya keadilan di garis depan, dari Pelosok Sumatera, Kalimatan, hingga pelosok-pelosok Papua dan Maluku (sebagaimana halnya PN Bobong yang mendapatkan 3 orang Hakim baru). Harapan memang lebih banyak disematkan di pundak para hakim yang baru terlahir ini sebagai generasi yang mampu menjaga marwah MA kedepan semakin baik. Sebagaimana bayi, membuka mata adalah langkah awal mereka mengenali lingkungan agar lebih mudah menganalisa dan memilah untuk menjadi mantap berdiri dan berjalan tegak “bertogakan” integritas diantara  hitam dan putih (baik buruknya) kehidupan. Arahan dan pencerahan dari orang tua selaku “senior” yang baik sangat diperlukan sebagai kontrol horizontal sebelum kontrol sosial masyarakat membersamai mereka. Hendaknya, Hakim CADAS (Cerdas dan Berintegritas) bukanlah slogan semata, memupuk nilai-nilai utama berupa kecerdasan hukum, etika profesi dan integritas tetap sebagai pegangan agar tidak mudah terseret dan tergelincir dengan “godaan” yang akan datang  setiap waktu karena perjalanan panjang baru dimulai. Memang tidak semua telur menetas, bahkan menetas dengan baik, tidak semua manusia terlahir baik bahkan tetap menjadi baik, tidak semua malaikat adalah malaikat baik, namun setidaknya firman Tuhan telah diwahyukan untuk semua, sehingga arah dan tujuan dapat dipilih sebaik-baiknya, toh pada akhirnya setingginya cita adalah menjadi terbaik dimata Tuhan Yang Maha Esa, pun kita sebagai Hakim yang ditunjuk menjadi Pengadil dengan segala kode etiknya, jadilah prajurit yang akan menjadi pemimpin dan pemimpin yang menjadi legenda. (SNR/LDR)

JPU Tuntut Hukuman Mati dalam Perkara Suami Bunuh Istri di PN Sei Rampah

article | Sidang | 2025-04-30 19:05:52

Sei Rampah. Pengadilan Negeri (PN) Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai kembali menggelar sidang lanjutan kasus Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang suami yang bernama Agus Herbin Tambun kepada istrinya  Hertalina Simanjuntak (46). "1. Menyatakan Terdakwa  telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain" sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHPidana sebagaimana dalam Surat Dakwaan Alternatif Pertama Penuntut Umum. 2. Menjatuhkan Terdakwa dihukum Pidana Mati," bunyi amar tuntutan yang dikutip Tim DANDAPALA dari SIPP PN Sei Rampah. Sidang dengan agenda sidang tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, Rabu, 30/4 dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Maria CN Barus, didampingi dua hakim anggota Orsita Hanum dan Betari Karlina. Atas Tuntutan Penuntut Umum tersebut Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Terdakwa dan Penasihat Hukum Terdakwa untuk mengajukan Nota Pembelaan pada persidangan berikutnya hari Selasa, 6 Mei 2025.Kasus tersebut menjadi viral karena saat itu korban sedang melakukan siaran langsung sembari karaoke di Facebook, sehingga semakin memperkuat perhatian publik terhadap kasus ini.

Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

article | Opini | 2025-04-30 09:30:09

Setelah ditetapkan menjadi undang-undang pada tanggal 2 Januari 2023, tidak lama lagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) akan efektif berlaku menggantikan KUHP lama peninggalan Belanda pada tanggal 2 Januari 2026 mendatang, tepat tiga tahun setelah diundangkan sesuai Pasal 624 KUHP baru. Pergantian KUHP lama ke KUHP baru itu tidak sedikit membawa perubahan peraturan di dalamnya, termasuk pengaturan mengenai Pengulangan Tindak Pidana (Recidive). Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (In kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi (Barda Nawawi Arief, 2012). Baik dalam KUHP lama dan KUHP baru pengulangan tindak pidana (recidive) adalah sama-sama sebagai alasan pemberat pidana. Meskipun masih sama-sama sebagai alasan pemberat pidana, namun apabila dicermati terdapat perbedaan ketentuan antara Recidive pada KUHP lama dan Recidive yang terdapat dalam KUHP baru. Lantas apa saja perbedaan antara pengaturan pengulangan tindak pidana (recidive) dalam KUHP lama dan KUHP baru? dan bagaimana pengaruh dalam penerapan pemidanaan setelah adanya perbedaan pengaturan tentang recidive dalam KUHP baru? Perbandingan Pengaturan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP Lama dan KUHP Baru; Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dalam KUHP lama tidak diatur secara umum dalam Aturan Umum Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu, baik berupa kejahatan dalam Buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam Buku III KUHP lama. Adapun untuk recidive kejahatan, KUHP lama membedakannya menjadi dua yaitu pertama, recidive kejahatan “Tertentu Sejenis” yang tersebar dalam sebelas pasal buku II KUHP yaitu Pasal 137 ayat (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2), 161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2) dan 303 bis (2). Kedua, Recidive “Kelompok Kejahatan” yang diatur dalam Pasal 486 KUHP (kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan), Pasal 487 KUHP (kejahatan terhadap orang), dan Pasal 488 KUHP (kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan/percetakan) dengan pasal-pasal tertentu yang diatur di dalamnya. Sementara untuk Recidive pelanggaran pengaturannya tersebar dalam 14 (empat belas) pasal yang terdapat dalam Buku III KUHP yaitu Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549. Dengan diaturnya ketentuan recidive dalam KUHP lama terbatas pada tindak pidana, maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KUHP lama menganut sistem recidive khusus atau pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana tertentu baik itu kejahatan atau pelanggaran (Barda Nawawi Arief, 2012). Berbeda dengan KUHP lama yang tidak mengatur secara umum tentang ketentuan recidive, namun pengaturannya khusus berada di pasal-pasal tertentu. Dalam KUHP baru pengaturan tentang Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) kini telah diatur secara umum dalam “Buku Kesatu Aturan Umum”, atau lebih tepatnya dalam paragraf 6 Pasal 23 KUHP baru yang termasuk dalam Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Dengan diaturnya Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) pada “Buku Kesatu Aturan Umum” KUHP baru dan tidak lagi diatur secara khusus untuk tindak pidana tertentu saja seperti halnya KUHP lama, maka sistem Recidive yang berlaku pada KUHP baru terdapat pergeseran dari yang semula menganut sistem Recidive Khusus (KUHP lama) menjadi menganut sistem Recidive Umum (KUHP baru). Dalam ranah hukum pidana, konsep Pengulangan Tindak Pidana (recidive), terbagi ke dalam 2 (dua) macam sistem. Pertama adalah algemeene recidive atau recidive umum yang merujuk pada pengulangan tindak pidana tanpa mempertimbangkan jenis tindak pidana yang diulang, selama terdakwa kembali terlibat dalam perbuatan pidana apa pun setelah adanya putusan hakim yang tetap (In kracht) maka dapat disebut recidive. Sementara yang kedua adalah speciale recidive atau recidive khusus yang mengacu pada pengulangan tindak pidana yang serupa atau sejenis dengan peristiwa pidana yang sebelumnya menyebabkan hukuman dijatuhkan sesuai dengan sistem recidive yang ada pada KUHP lama (Arifin et al., 2023). Meskipun telah bergeser ke sistem recidive umum (berlaku pada tindak pidana apa pun), namun pembatasan dan syarat-syarat tertentu tetap berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 23 KUHP baru. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: Melakukan Tindak Pidana kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa;Mencakup tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling sedikit kategori III;Berlaku juga untuk Tindak Pidana mengenai penganiayaan. Pengaruh dalam penerapan pemidanaan setelah adanya pergeseran sistem recidive khusus ke sistem recidive umum dalam KUHP baru; Baik dalam KUHP lama ataupun dalam KUHP baru, pengulangan tindak pidana (recidive) adalah sama-sama sebagai pemberatan. Adapun Pemberatan sebagaimana dimaksud adalah maksimum ancaman pidananya dapat ditambah paling banyak 1/3 (satu per tiga). Namun oleh karena dalam KUHP baru telah ada pergeseran menjadi sistem recidive umum, maka dikatakan seseorang sebagai recidive sekarang tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu saja. Melainkan pengulangan tindak pidana apapun yang dilakukan oleh seseorang setelah ada putusan hakim yang tetap adalah dianggap sebagai recidive sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 23 KUHP baru. Contoh: seseorang menjalani pidana penjara selama 3 (tiga) tahun karena kasus pencurian, kemudian menjalani pembebasan bersyarat pada tahun 2022. Pada tahun 2024 orang tersebut melakukan tindak pidana penganiayaan sehingga mengakibatkan luka berat, maka orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan pengulangan tindak pidana (recidive) dengan pidananya dapat diperberat (Eddy O.S Hiariej dan Topo Santoso, 2025). Hal seperti itu tidak berlaku pada pengaturan recidive dalam KUHP lama yang menganut sistem recidive khusus dan berlaku sebatas pada kejahatan tertentu sejenis serta kelompok kejahatan, sehingga apabila seseorang melakukan tindak pidana pencurian telah dijatuhi pidana berdasarkan putusan hakim yang tetap dan kemudian melakukan tindak pidana lagi namun bukan pada kelompok kejahatan yang sama, misalkan penganiayaan atau pembunuhan, meskipun belum lewat waktu maka ketentuan mengenai recidive yang dapat menjadi pemberatan pidana bagi pelaku tidak dapat diterapkan. Bahkan dalam KUHP lama untuk pasal kesusilaan seperti tindak pidana perkosaan juga tidak masuk dalam ketentuan pasal 487 KUHP (recidive kelompok kejahatan terhadap orang). Sehingga apabila misalkan orang melakukan tindak pidana perkosaan telah dipidana penjara dan setelah keluar kembali melakukan tindak pidana perkosaan lagi, ketentuan recidive tidak dapat diterapkan. Dengan berlakunya ketentuan baru dalam KUHP baru khususnya mengenai recidive yang berubah ke sistem recidive umum, maka cakupan mengenai pengulangaan tindak pidana (recidive) yang dapat menjadi pemberat pidana pidana tidak lagi terbatas pada tindak pidana tertentu saja, namun menjadi lebih luas dan berlaku pada semua tindak pidana sepanjang memenuhi syarat sebagaimana Pasal 23 KUHP baru. Kesimpulan Pengaturan tentang pengulangan tindak pidana (recidive) dalam hukum pidana Indonesia telah mengalami perubahan dari KUHP lama ke KUHP baru. Sebagaimana KUHP lama, recidive diatur secara khusus dan terbatas pada tindak pidana tertentu saja, baik kejahatan maupun pelanggaran, yang tersebar dalam pasal-pasal tertentu. Dengan demikian, pemberatan pidana untuk recidive hanya dapat diterapkan bila pengulangan terjadi atas tindak pidana sejenis atau dalam kelompok kejahatan tertentu yang telah ditentukan, dan pengulangan tindak pidana yang berbeda tidak dapat dikenai pemberatan recidive. Berbeda dengan KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023), pengaturan recidive telah diatur secara umum dalam Buku Kesatu Aturan Umum, tepatnya Pasal 23. Dalam KUHP baru menganut sistem recidive umum, yang memungkinkan penerapan pemberatan pidana terhadap setiap bentuk pengulangan tindak pidana apa pun, tanpa terbatas pada jenis kejahatan tertentu, asalkan memenuhi syarat yang ditentukan sebagaimana Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2023. Secara penerapan, baik dalam KUHP lama maupun baru, recidive tetap menjadi dasar pemberatan pidana dengan ketentuan maksimum pidana dapat ditambah hingga satu per tiga. Namun, cakupan recidive dalam KUHP baru menjadi lebih luas, tidak lagi terbatas pada jenis tindak pidana tertentu seperti dalam KUHP lama. (LDR) Referensi Arifin, B., Arfarizky, R. A., & Windari, R. (2023). Perbandingan Konsep Recidive dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan Criminal Act of South Korea Abstrak. 45(2). Barda Nawawi Arief. (2012). Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut (Cetakan IV). Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Rajawali Pers. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Hakim: Bukan Sekadar Pengadil, Tetapi Juga A Healer

article | Opini | 2025-04-04 15:05:49

MENJADI seorang Hakim adalah panggilan jiwa yang luhur, profesi yang terbilang sangat mulia. Hakim tidak dipilih hanya sebatas pada kepintarannya, tetapi Tuhanlah yang memilihnya bahwa ia layak dan mampu menjalankan tanggungjwab yang berat itu. Tidaklah mudah menyandang predikat Yang Mulia dimata para pencari keadilan. Bahkan orang menyebut Hakim adalah perpanjangan tangan Tuhan atau wakil Tuhan, ditangan Hakimlah berada nasib seseorang ketika berhadapan dengan suatu permasalahan hukum. Dalam menangani suatu perkara Hakim tidak semata-mata merujuk pada aturan yang telah ada, tetapi seorang Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat. Profesi Hakim telah lama dianggap sebagai profesi penyembuh konflik manusia. Seorang Hakim dianggap sebagai figur yang bertugas memulihkan martabat seseorang dan mengatasi kondisi yang tidak diinginkan. Peran atau perspektif ini sepenuhnya konsisten dengan filosofi humanistik atau kemanusiaan yang telah dipegang oleh banyak Hakim. Seorang Hakim dalam melaksanakan tugasnya dintutut untuk memiliki sifat yang jujur tanpa cela, sikap adil yang tegas dan kemampuan yudisial yang mumpuni. Hakim dituntut untuk bersikap obyektif dan tidak boleh membiarkan emosi pribadinya masuk ke dalam proses pengambilan keputusan. Namun, pada saat yang sama, seorang Hakim diharapkan untuk berbelas kasih, pemaaf, dan penuh pengertian, terutama ketika menerapkan kebijaksanaan yudisial. Nilai-nilai yang dipegang seorang Hakim dapat terlihat setiap kali keputusannya muncul. Proses pengambilan keputusan itu sendiri sangat penting dan sulit. Tanggung jawab Hakim terhadap putusannya serta berbagai pengawasan yang dilakukan terhadap Hakim sering kali membatasi keinginan atau kemampuan Hakim untuk bersikap humanis pada saat yang sama. Ditambah proses pengambilan keputusan adalah tugas yang terstruktur dan dilakukan dalam konteks terbatas pada fakta-fakta dan hukum yang berlaku. Dalam proses peradilan yang menuntut objektivitas tinggi dari sang pengambil keputusan yang diharuskan bersikap netral, seorang Hakim dapat dibenarkan untuk menghindari menunjukkan perspektif apa pun yang dapat digunakan oleh pengamat untuk menentukan pandangan atau keprihatinan pribadi Hakim. Berdasarkan hal tersebut Hakim biasanya memilih untuk tetap sedekat mungkin tidak terlihat, cenderung menjaga jarak, kaku dan tetap tidak mencolok. Dalam banyak latar belakang sejarah, peran pengadilan dipandang sebagai penyembuh. Meskipun saat ini seringkali arahan atau tuntutan khususnya di bidang administratif kepada Hakim lebih banyak mementingkan keterampilan manajerial dan administratif, namun masih ada ruang untuk mempertimbangkan perspektif humanistik atau kemanusiaan sebagai salah satu alat yang paling penting bagi Hakim. Persepsi masyarakat pada umumnya tentang Hakim adalah orang yang mengadili perkara di lembaga peradilan, berpakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik dalam strata sosial masyarakat pada umumnya. Hakim dipandang sebagai orang “suci” karena kedudukannya dan pemahamannya terhadap setiap persoalan hukum yang ada. Persepsi masyarakat tentang Hakim yang demikian itu tidak salah, akan tetapi memahami secara mendalam tentang Hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu hukum. Posisi Hakim sangat strategis dalam upaya penegakan hukum. Hakim adalah benteng terakhir, bila hakim hancur maka tidak ada gunanya segala pranata dan sistem hukum walaupun sangat baik. Di tangan hakim tempat keluarnya keadilan, Ia ibarat krain yang menyalurkan keadilan dari sumber- sumber keadilan terdalam dan tersembunyi dari pandangan masyarakat awam. Oleh karenanya hakim bukan corong peraturan perundang-undangan atau sekedar penerap hukum namun lebih daripada itu hakim juga diharapkan sebagai a healer atau penyembuh. Adagium klasik “Ius est ars boni et aequi,” memiliki arti hukum adalah seni dari kebaikan dan keadilan. Adagium ini mengingatkan kita bahwa hukum lebih dari sekedar pasal yang kerap kali dianggap sebagai kumpulan aturan yang kaku dan teknis. Padahal, hukum adalah seni yang bertujuan menciptakan keseimbangan antara moralitas dan legalitas. Meskipun adagium ini terlihat sangat sederhana, sebenarnya adagium ini memiliki makna yang sangat mendalam. Hukum bukan hanya sekadar alat untuk menghukum atau mengatur, tetapi sebuah seni untuk membawa kebaikan dan memastikan keadilan ditegakkan. Misalnya, seorang Hakim tidak hanya menerapkan undang-undang secara tekstual, yakni membaca dan menerapkan pasal demi pasal secara literal. Hakim juga dituntut untuk memahami konteks sosial dan moral yang melingkupi sebuah perkara. Dapat disimpulkan, seorang Hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan yang ada di masyarakat, yang kerap kali tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh bunyi aturan. Dalam kasus pidana ringan seperti pencurian kecil yang dilakukan karena kebutuhan yang mendesak, jika menerapkan hukum hanya berdasarkan aturan yang tertulis besar kemungkinan pelaku akan mendapatkan hukuman berupa penjara sesuai dengan pasal yang berlaku. Namun, jika hakim melihat dari sudut pandang rasa keadilan masyarakat, keputusan yang lebih manusiawi seperti mediasi atau rehabilitasi dapat lebih diterima. Hal ini sejalan dengan adagium “Ius est ars boni et aequi,” di mana hukum dipraktikkan tidak hanya untuk menghukum tetapi juga untuk mengembalikan harmoni sosial dan melindungi martabat manusia. Pendekatan ini menegaskan bahwa seorang Hakim memiliki peran sebagai seniman keadilan. Hakim menggunakan intuisi, empati, kebijaksanaan, serta berbagai pertimbangan matang lainnya untuk memastikan hukum tidak hanya terlihat adil, tetapi juga dirasakan adil oleh semua pihak yang terlibat. Dalam konteks modern, adagium ini tetaplah relevan. Sebagai contoh, diterapkannya keadilan restoratif di Indonesia pada beberapa kasus pidana ringan yang di mana menunjukkan bahwa hukum dapat mendamaikan pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini bukan hanya menghukum pelaku, tetapi memperbaiki hubungan sosial yang rusak. Di era teknologi dan globalisasi ini, adagium ini menjadi pengingat bahwa hukum harus adaptif, tetapi tetap memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Ada masa dimana seorang Hakim mengikuti aturan Hukum yang telah ada guna memberi kepastian hukum bagi masyarakat, ada masa menyimpanginya, ada masa dituntut untuk memahami sendiri aturan yang telah ada, ada masa menciptakan aturan hukum yang belum ada. Jadi seorang Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum melihat dan menilai berbagai aspek keadilan. Mengadili sebuah perkara butuh keilmuan yang tidak hanya berdasarkan satu sisi pertimbangan. Seorang dokter misalnya, dalam mendiagnosa penyakit yang diderita oleh seorang pasien sebelum diberikan dosis obat yang tepat harus terlebih dahulu menganalisa berdasarkan teori yang pernah dipelajari atas gejala apa yang terlihat pada pasien tersebut. Beda halnya dengan seorang Hakim. Kasus yang sama tidak mesti diputus berdasarkan hukum dan pertimbangan yang sama. Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam memutus perkara. Tidak semata-mata berdasarkan hukum tertulis yang ada, tetapi dituntut untuk menggali hukum yang tidak tertulis, misalnya adab dan budaya masyarakat setempat. Tugas berat ini sangat jelas tertera dalam pembukaan setiap putusan hukum yang dikeluarkannya “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan bahwa hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia. Setiap Hakim selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Terkadang ia tidak selalu bisa bertanya pada orang lain tentang kesulitan yang dihadapinya, oleh karena itu ia dituntut untuk mengasah kepekaaan nurani dan bekal ilmu pengetahuan yang memadai. Putusan yang dibuatnya bisa jadi menyembuhkan masyarakat namun bisa juga melemahkan dan mengecewakan. Untuk itu seorang Hakim diharapkan tidak hanya semata-mata mengadili, ia harus punya sensivitas sosial. ia harus paham kondisi dan situasi yang dialami zaman. Ia mempunyai kewajiban yang besar untuk membela mereka-mereka yang seringkali terpinggirkan dan tertindas. Namun yang tak kalah penting ialah Makna Hakim sebagai penyembuh atau "the judge as a healer" di mana Hakim tidak hanya berperan sebagai penegak hukum yang memberikan putusan berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan berkeadilan, tetapi juga berupaya untuk memperbaiki hubungan sosial dan emosional antara para pihak yang berkonflik. Konsep ini berorientasi pada keadilan yang holistik, di mana Hakim menjadi sosok yang membantu menyembuhkan luka sosial dan emosional yang timbul akibat konflik hukum. Perubahan paradigma yang terjadi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dari retributif menuju restoratif mendorong munculnya pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada keadilan substantif. Hal ini memberikan kesempatan kepada para Hakim untuk dapat lebih aktif berperan dalam membantu mengurangi ketegangan emosional para pihak yang berperkara, mendorong mediasi, dan menciptakan ruang dialog yang konstruktif. Dengan pendekatan yang lebih humanis, Hakim dapat membantu mencegah dampak sosial yang lebih luas, seperti dendam, trauma, atau ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem peradilan. Salah satu kualitas yang sangat penting dimiliki seorang Hakim sebagai penyembuh atau a healer adalah empati. Bagaimana perlakuan Hakim terhadap semua yang terlibat dalam ruang sidang, termasuk staf, pengacara, saksi serta pihak yang berperkara untuk menunjukkan adanya kepedulian yang lebih jauh terhadap kebutuhan manusia (memanusiakan manusia). Empati adalah elemen dasar dari semua penyembuhan. Empati yang dimiliki oleh seorang Hakim khususnya terhadap pihak yang berperkara, dapat ditunjukkan dengan beberapa cara. Seperti dengan memperhatikan kata-kata yang dipilih dan cara penyampaiannya pada saat persidangan, kemudian kemampuan untuk mendengarkan para pihak yang berperkara sehingga mereka merasa dihargai, gerak tubuh, proses atau keputusan Hakim yang sekali lagi menunjukkan bahwa orang lain memiliki nilai di mata pengadilan. Saran ini tidak mengharuskan Hakim untuk mengabaikan prosedur beracara yang rigid, tetapi hanya menyarankan bahwa ketika tiba saatnya pihak berperkara berbicara Hakim berusaha mendengarkan. Seorang Hakim yang secara aktif mendengarkan akan menunjukkan sikap tenang dan penuh perhatian. Bagi sebagian orang, bersikap empatik adalah sesuatu yang naluriah dan alamiah. Bagi sebagian lainnya, keinginan untuk bekerja dari dasar ketidakpahaman mungkin membutuhkan upaya yang gigih untuk "menempatkan diri mereka diposisi orang lain." Terakhir Maimonides pernah menulis: "Adalah kewajiban positif bagi hakim untuk mengatakan kepada para pihak di awal kasus, 'Apakah Anda benar-benar ingin mengajukan kasus ini, atau tidakkah Anda lebih suka menyelesaikannya secara damai.” Hakim yang ideal adalah hakim yang tidak hanya memberi sanksi, tetapi juga membangun. Sebab pada akhirnya, seni dari Hakim terletak pada kemampuannya untuk merajut kebaikan dan keadilan dalam setiap putusannya. Namun, dalam sistem pengadilan saat ini, tampaknya sulit bagi para hakim untuk menciptakan dan mempraktikkan peran sebagai penyembuh. Jumlah kasus yang sangat banyak dan rumit yang harus ditangani serta tekanan untuk mengikuti prosedur hukum yang cenderung menghilangkan nilai-nilai humanis. Namun, dengan adanya pergeseran paradigma sistem peradilan di Indonesia saat ini dari retributif menuju restoratif serta melalui perubahan sikap yang dilakukan secara sadar, baik secara individu maupun kolektif, Hakim tetap dapat mempertahankan dan menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang dihargai oleh masyarakat. Dengan menjalankan peran sebagai penyembuh, Hakim dapat meningkatkan kualitas proses pengadilan sehingga memberikan kepuasan bagi semua pihak yang terlibat.Diana Melati PakpahanCalon Hakim PN Wonosobo