article | Opini
| 2025-04-04 15:05:49
MENJADI seorang Hakim adalah panggilan jiwa yang luhur, profesi yang terbilang sangat
mulia. Hakim tidak dipilih hanya sebatas pada kepintarannya, tetapi Tuhanlah
yang memilihnya bahwa ia layak dan mampu menjalankan tanggungjwab yang berat
itu. Tidaklah mudah menyandang
predikat Yang Mulia dimata para pencari keadilan. Bahkan orang menyebut Hakim
adalah perpanjangan tangan Tuhan atau wakil Tuhan, ditangan Hakimlah berada
nasib seseorang ketika berhadapan dengan suatu permasalahan hukum. Dalam menangani
suatu perkara Hakim tidak semata-mata merujuk pada aturan yang telah ada, tetapi seorang
Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam Masyarakat.
Profesi
Hakim telah lama dianggap sebagai profesi penyembuh konflik manusia. Seorang
Hakim dianggap sebagai figur yang bertugas memulihkan martabat seseorang dan
mengatasi kondisi yang tidak diinginkan. Peran atau perspektif ini sepenuhnya
konsisten dengan filosofi humanistik atau kemanusiaan yang telah dipegang oleh
banyak Hakim. Seorang Hakim dalam melaksanakan tugasnya dintutut untuk memiliki
sifat yang jujur tanpa cela, sikap adil yang tegas dan kemampuan yudisial yang
mumpuni. Hakim dituntut untuk bersikap obyektif dan tidak boleh membiarkan
emosi pribadinya masuk ke dalam proses pengambilan keputusan. Namun, pada saat yang sama, seorang
Hakim diharapkan untuk berbelas
kasih, pemaaf, dan penuh pengertian, terutama ketika menerapkan kebijaksanaan yudisial.
Nilai-nilai
yang dipegang seorang Hakim dapat terlihat setiap kali keputusannya muncul.
Proses pengambilan keputusan itu sendiri sangat penting dan sulit. Tanggung
jawab Hakim terhadap putusannya serta berbagai
pengawasan yang dilakukan terhadap
Hakim sering kali membatasi keinginan atau kemampuan Hakim untuk bersikap humanis
pada saat yang sama. Ditambah proses pengambilan keputusan adalah tugas yang terstruktur dan dilakukan dalam
konteks terbatas pada fakta-fakta dan hukum yang berlaku.
Dalam proses
peradilan yang menuntut objektivitas tinggi dari sang pengambil keputusan yang
diharuskan bersikap netral, seorang Hakim dapat dibenarkan untuk menghindari
menunjukkan perspektif apa pun yang dapat digunakan oleh pengamat untuk menentukan pandangan
atau keprihatinan pribadi Hakim. Berdasarkan hal tersebut
Hakim biasanya memilih untuk tetap sedekat mungkin tidak terlihat, cenderung
menjaga jarak, kaku dan tetap tidak mencolok.
Dalam banyak
latar belakang sejarah,
peran pengadilan dipandang sebagai penyembuh. Meskipun
saat ini seringkali arahan atau tuntutan
khususnya di bidang administratif kepada Hakim lebih
banyak mementingkan keterampilan manajerial dan administratif, namun masih ada
ruang untuk mempertimbangkan perspektif humanistik atau kemanusiaan sebagai
salah satu alat yang paling penting bagi Hakim.
Persepsi
masyarakat pada umumnya tentang Hakim adalah orang yang mengadili perkara di
lembaga peradilan, berpakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik dalam strata sosial
masyarakat pada umumnya.
Hakim dipandang sebagai orang
“suci” karena kedudukannya dan pemahamannya terhadap setiap persoalan hukum
yang ada. Persepsi masyarakat tentang Hakim yang demikian itu tidak salah, akan tetapi
memahami secara mendalam
tentang Hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu
hukum. Posisi Hakim sangat strategis dalam upaya penegakan hukum. Hakim adalah benteng terakhir,
bila hakim hancur
maka tidak ada gunanya segala pranata dan sistem hukum
walaupun sangat baik. Di tangan hakim tempat keluarnya keadilan, Ia ibarat
krain yang menyalurkan keadilan dari sumber- sumber keadilan terdalam dan
tersembunyi dari pandangan
masyarakat awam. Oleh karenanya
hakim bukan corong peraturan perundang-undangan atau sekedar penerap hukum
namun lebih daripada itu hakim juga diharapkan sebagai a healer atau
penyembuh.
Adagium klasik
“Ius est ars boni et aequi,” memiliki arti hukum adalah
seni dari kebaikan dan
keadilan. Adagium ini mengingatkan kita bahwa hukum lebih dari sekedar pasal
yang kerap kali dianggap sebagai kumpulan aturan yang kaku dan teknis. Padahal,
hukum adalah seni yang bertujuan
menciptakan keseimbangan
antara moralitas dan legalitas. Meskipun adagium ini terlihat sangat sederhana,
sebenarnya adagium ini memiliki makna
yang sangat mendalam.
Hukum bukan hanya sekadar alat untuk menghukum atau
mengatur, tetapi sebuah seni untuk membawa kebaikan dan memastikan keadilan
ditegakkan. Misalnya, seorang
Hakim tidak hanya menerapkan undang-undang secara tekstual,
yakni membaca dan menerapkan pasal demi pasal secara literal. Hakim
juga dituntut untuk memahami konteks sosial dan moral yang melingkupi sebuah perkara.
Dapat disimpulkan, seorang Hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan yang ada di masyarakat, yang kerap kali tidak bisa sepenuhnya diwakili oleh bunyi
aturan.
Dalam
kasus pidana ringan seperti pencurian kecil yang dilakukan karena kebutuhan yang mendesak, jika menerapkan hukum hanya berdasarkan aturan yang tertulis
besar kemungkinan pelaku akan mendapatkan hukuman berupa penjara sesuai dengan
pasal yang berlaku. Namun, jika hakim melihat dari sudut pandang rasa keadilan
masyarakat, keputusan yang lebih manusiawi seperti mediasi atau rehabilitasi
dapat lebih diterima. Hal ini sejalan dengan adagium “Ius est ars boni et
aequi,” di mana hukum
dipraktikkan tidak hanya untuk menghukum tetapi juga untuk mengembalikan harmoni
sosial dan melindungi martabat manusia. Pendekatan ini menegaskan bahwa
seorang Hakim memiliki
peran sebagai seniman
keadilan. Hakim menggunakan
intuisi, empati, kebijaksanaan, serta berbagai pertimbangan matang lainnya
untuk memastikan hukum tidak hanya terlihat adil, tetapi juga dirasakan adil
oleh semua pihak yang terlibat.
Dalam
konteks modern, adagium ini tetaplah relevan. Sebagai contoh, diterapkannya
keadilan restoratif di Indonesia pada beberapa kasus pidana ringan yang di mana
menunjukkan bahwa hukum dapat mendamaikan pelaku, korban, dan masyarakat.
Pendekatan ini bukan hanya menghukum pelaku, tetapi memperbaiki hubungan sosial yang rusak. Di
era teknologi dan globalisasi ini, adagium ini menjadi
pengingat bahwa hukum harus adaptif, tetapi tetap memprioritaskan nilai-nilai
kemanusiaan. Ada masa dimana seorang Hakim mengikuti
aturan Hukum yang telah ada guna memberi kepastian
hukum bagi masyarakat, ada masa menyimpanginya, ada masa dituntut untuk memahami
sendiri aturan yang telah ada, ada masa menciptakan aturan hukum yang belum
ada.
Jadi
seorang Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum melihat dan menilai berbagai
aspek keadilan. Mengadili sebuah perkara butuh keilmuan yang tidak
hanya berdasarkan satu sisi pertimbangan. Seorang dokter misalnya, dalam
mendiagnosa penyakit yang diderita oleh seorang pasien sebelum diberikan dosis
obat yang tepat harus terlebih dahulu menganalisa berdasarkan teori yang pernah
dipelajari atas gejala apa yang terlihat pada pasien tersebut. Beda halnya
dengan seorang Hakim. Kasus yang sama tidak mesti diputus berdasarkan hukum dan
pertimbangan yang sama. Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam memutus
perkara. Tidak semata-mata berdasarkan hukum tertulis yang ada, tetapi dituntut
untuk menggali hukum yang tidak tertulis, misalnya adab dan budaya masyarakat
setempat. Tugas berat ini sangat jelas tertera dalam pembukaan setiap putusan
hukum yang dikeluarkannya “demi keadilan
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan
bahwa hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia.
Setiap
Hakim selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Terkadang ia tidak
selalu bisa bertanya pada orang lain tentang kesulitan yang dihadapinya, oleh
karena itu ia dituntut untuk mengasah kepekaaan
nurani dan bekal ilmu pengetahuan yang memadai. Putusan yang dibuatnya bisa jadi menyembuhkan masyarakat namun
bisa juga melemahkan dan mengecewakan. Untuk
itu seorang Hakim diharapkan tidak hanya semata-mata mengadili, ia harus punya sensivitas sosial. ia harus paham
kondisi dan situasi yang dialami zaman. Ia mempunyai kewajiban yang besar untuk
membela mereka-mereka yang seringkali terpinggirkan dan tertindas. Namun yang
tak kalah penting ialah Makna Hakim sebagai
penyembuh atau "the
judge as a healer"
di mana Hakim tidak hanya berperan sebagai penegak hukum yang memberikan putusan
berdasarkan aturan hukum yang berlaku dan berkeadilan, tetapi juga berupaya untuk memperbaiki hubungan
sosial dan emosional antara para pihak yang
berkonflik. Konsep ini berorientasi pada keadilan yang holistik, di mana Hakim menjadi
sosok yang membantu menyembuhkan
luka sosial dan emosional yang timbul akibat konflik hukum.
Perubahan paradigma yang terjadi dalam
sistem peradilan pidana
di Indonesia dari retributif
menuju restoratif mendorong
munculnya pendekatan yang lebih humanis
dan berorientasi pada keadilan substantif. Hal ini memberikan kesempatan kepada para Hakim untuk dapat
lebih aktif berperan dalam membantu mengurangi ketegangan emosional para pihak
yang berperkara, mendorong mediasi, dan menciptakan ruang dialog yang konstruktif. Dengan pendekatan
yang lebih humanis, Hakim dapat
membantu mencegah dampak sosial yang lebih luas, seperti dendam, trauma, atau
ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Salah
satu kualitas yang sangat penting dimiliki seorang Hakim sebagai penyembuh atau
a healer adalah empati. Bagaimana perlakuan Hakim terhadap semua yang terlibat dalam
ruang sidang, termasuk
staf, pengacara, saksi serta pihak yang berperkara untuk menunjukkan
adanya kepedulian yang lebih jauh terhadap kebutuhan manusia (memanusiakan
manusia). Empati adalah elemen dasar dari semua penyembuhan. Empati yang dimiliki oleh seorang Hakim khususnya terhadap pihak yang berperkara, dapat ditunjukkan
dengan beberapa cara. Seperti dengan memperhatikan kata-kata yang dipilih dan cara
penyampaiannya pada saat persidangan, kemudian kemampuan untuk mendengarkan
para pihak yang berperkara sehingga mereka merasa dihargai, gerak tubuh, proses
atau keputusan Hakim yang sekali lagi menunjukkan bahwa orang lain memiliki
nilai di mata pengadilan.
Saran
ini tidak mengharuskan Hakim untuk mengabaikan prosedur beracara yang rigid,
tetapi hanya menyarankan bahwa ketika tiba saatnya pihak berperkara berbicara
Hakim berusaha mendengarkan. Seorang Hakim yang secara aktif mendengarkan akan menunjukkan sikap tenang dan penuh perhatian. Bagi sebagian orang, bersikap empatik adalah sesuatu yang naluriah
dan alamiah. Bagi sebagian lainnya, keinginan untuk bekerja dari dasar
ketidakpahaman mungkin membutuhkan upaya yang gigih untuk "menempatkan
diri mereka diposisi orang lain." Terakhir Maimonides pernah
menulis: "Adalah kewajiban positif bagi hakim untuk mengatakan kepada para pihak di awal kasus,
'Apakah Anda benar-benar ingin mengajukan kasus ini, atau tidakkah Anda lebih suka menyelesaikannya secara
damai.” Hakim yang ideal
adalah hakim yang tidak hanya memberi sanksi,
tetapi juga membangun. Sebab pada akhirnya,
seni dari Hakim terletak pada kemampuannya untuk merajut
kebaikan dan keadilan dalam setiap putusannya.
Namun, dalam
sistem pengadilan saat ini, tampaknya sulit bagi para hakim untuk menciptakan
dan mempraktikkan peran sebagai penyembuh. Jumlah kasus yang sangat banyak dan
rumit yang harus ditangani serta tekanan untuk mengikuti prosedur hukum yang cenderung
menghilangkan nilai-nilai humanis.
Namun, dengan adanya
pergeseran paradigma sistem peradilan di Indonesia saat ini dari retributif
menuju restoratif serta melalui
perubahan sikap yang dilakukan secara sadar, baik secara individu maupun
kolektif, Hakim tetap dapat mempertahankan dan menerapkan prinsip-prinsip
kemanusiaan yang dihargai oleh masyarakat. Dengan menjalankan peran sebagai
penyembuh, Hakim dapat meningkatkan kualitas
proses pengadilan sehingga memberikan kepuasan bagi semua pihak yang
terlibat.Diana Melati PakpahanCalon Hakim PN Wonosobo