Cari Berita

Inilah Perjanjian Ekstradisi Pertama Kali yang Dibuat Indonesia

article | History Law | 2025-04-09 10:55:37

Jakarta- Ekstradisi adalah suatu penyerahan tersangka WNI dari negara asing untuk diadili dan dipidana di Indonesia. Tapi kapan perjanjian ekstradisi pertama kali yang dilakukan pemerintah Indonesia?Dikutip DANDAPALA dari buku Hukum Internasional Islam karya Mardani, Rabu (9/4/2025 ), perjanjian ekstradisi yang dilakukan Indonesia pertama kali dilakukan dengan Malaysia pada tanggal 7 Juni 1974 yang diratifikasi dengan UU No 9 tahun 1974. Setelah itu disusul dengan Filipina yang diratifikasi dengan UU No 10 tahun 1976. Kemudian dengan Thailand yang diratifikasi dengan UU No 2 tahun 1978. “Setelah berlakunya UU No 1 tahun 1979, Indonesia menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Australia yang diratifikasi dengan UU No 8 tahun 1994,” ujarnya.Disusul lagi dengan Hong Kong yang diratifikasi dengan UU Nomor 1 tahun 2001. Dan dengan Korea Selatan ditandatangani tahun 2001. Sedangan dengan Singapura ditandatangani tanggal 27 April 2007.“Seluruh perjanjian tersebut disepakati secara bilateral,” urainya,Prinsip ekstradisi ini dimuat dalam UU Nomor 1 /2023 Tentang KUHP yang kita kenal dengan Asas Nasionalitas Aktif yang tercantum dalam Pasal 5 KUHP. Asas personalitas ini pun diperluas dengan Pasal 7 KUHP baru 2023 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas nasionalitas pasif (asas perlindungan). Yang prinsipnya adalah melindungi warga negara ketika berhadapan hukum di negara lain.Bunyi Pasal 7 sebagai berikut :Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.Maka seseorang dapat diekstradisikan karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan, selain jenis pidana tersebut harus dapat dipidana menurut hukum Negara Republik Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi atau yang lebih dikenal dengan istilah asas double criminality. Hal tersebut juga disampaikan oleh Andi Hamzah dalam bukunya Asas–Asas Hukum Pidana (halaman 72-73). Pada intinya, Andi Hamzah menerangkan bahwa asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik dan negara mana ia berada. Nah Sobat Dandafelas, inilah prinsip utama dari ekstradisi bahwa hukum pidana Indonesia yang bisa diketahui. Bahwa prinsip tersebut mengikuti warga negaranya ke mana pun ia berada dan perjanjian ekstradisi tersebut hanya mengikat para peserta perjanjian tersebut saja. (EES/asp).

Hakim PN Sibolga Blusukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Sibolga

photo | Berita | 2025-03-06 14:00:06

Sibolga – Sumatera Utara.Hakim Wasmat PN Sibolga Fitrah Akbar Citrawan melakukan pengawasan dan pengamatan (wasmat) terhadap Terpidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Sibolga (6/3/2025).  Dalam kegiatan tersebut telah dilakukan checking on the spot, observasi, dan wawancara kepada Narapidana.

Arsip 1986: Kartu Advokat Adnan Buyung Nasution Dibekukan Gegara Protes Sidang

article | History Law | 2025-02-28 16:40:06

Jakarta- Pengacara senior Adnan Buyung Nasution pernah dibekukan kartu advokatnya oleh pengadilan pada 1986. Pangkalnya, ia protes saat hakim sedang membacakan putusan. Bagaimana kisahnya?Kasus ini berawal ketika Adnan Buyung Nasution menjadi pembela terdakwa kasus subversi HR Dharsono. Di mana HR Dharsono yang merupakan seorang militer yang dituduh berkomplot dengan AM Fatwa yang melakukan pemboman gedung BCA di Jakarta. Latar belakang Dharsono yang cukup mentereng yakni mantan Panglima Kodam Siliwangi, Sekjen ASEAN dan Anggota Petisi 50 membuat kasus ini sempat menjadi perhatian seantero negeri.Sejak 8 Januari 1986 pagi, gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sudah ramai dengan simpatisan Dharsono. Suasana ruang sidang juga dipadati media dan pendukung Darsono. Agenda hari itu adalah pembacaan putusan hakim dengan susunan majelis, Soedijono, sebagai hakim ketua, Ali Budiarto dan Achmad Intan,m sebagai hakim anggota. Pada saat Majelis Hakim membacakan putusan, Buyung tiba-tiba merasa tersinggung dengan uraian hakim di dalam pertimbangan putusan yang menyebutkan Buyung tidak etis. Serta merta Adnan Buyung berdiri dan menyambar pengeras suara. “Saya protes kata-kata Majelis itu – siapa yang tidak etis?”. Mendengar protes Buyung seketika massa yang ada di dalam ruang sidang menjadi semakin ricuh meneriaki hakim. Melihat kondisi yang semakin tidak kondusif akhirnya hakim ketua Soedijono menghentikan pembacaan putusan dan menskor sidang saat itu. Perlu pembaca ketahui bahwa ruang sidang yang terletak di lantai tiga PN Jakpus itu sudah dipadati ratusan orang. Dharsono yang juga anggota petisi 50, menjadi magnet bagi para aktivis anti Orba dan mantan pejabat penting untuk hadir di ruang sidang. Di antaranya ada Ali Sadikin (mantab Gubernur Jakarta), Hoegeng Iman Santoso (Mantan Kapolri) dan anggota petisi 50 lainnya. Setelah hakim keluar dari ruang sidang, masuklah para petugas kepolisian untuk mengamankan suasana. Melihat hal ini kemudian Buyung mengusir polisi dengan mengatakan. “Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!”.Kejadian ini kemudian oleh Soedijono dilaporkan kepada Ketua PN Jakpus. Seobandi yang kemudian diteruskan kepada induk badan peradilan yang waktu itu adalah Departemen Kehakiman. Merespon kejadian ini, pada 11 Mei 1986, Ismail Saleh selaku Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan pembekuan atau pencabutan izin sementara Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara. Pencabutan izin ini berlaku selama satu tahun yang membuat Buyung tidak bisa beracara di seluruh pengadilan yang ada di Indonesia. Di dalam konsiderannya Adnan Buyung dianggap telah menghina atau merendahkan martabat lembaga peradilan. Selain itu Menkeh dalam jumpa pers juga menyatakan “Menteri Kehakiman yang mengangkat (sumpah) dan memberhentikan advokat, jadi yang berwenang menjatuhkan tindak administrasi adalah Menteri Kehakiman”.Tidak tinggal diam Adnan Buyung sempat menggugat SK Menteri Kehakiman tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Buyung mendalilkan perbuatan Menkeh Ismail Saleh merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak berdasar. Oleh sebab itu Buyung meminta agar Menkeh dinyatakan PMH, membayar ganti rugi sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) dan merehabilitasi nama baik serta kehormatan Buyung sebagai advokat. Dalam perkara gugatan ini Menkeh diwakili oleh dua pengacara yang juga guru besar yakni Prof Oemar Senoadji dan Prof Sudargo Gautama. Menurut dua begawan hukum ini, tindakan Menkeh Ismail Saleh sudah benar. Keputusan Menkeh masih dalam kewenangannya dalam mengawasi penasihat hukum(advokat). Wewenang ini lahir dari UU Mahkamah Agung dan Peradilan Umum yang identik dengan pengawasan advokat yang sudah ada sejak era Rechtelijke Organisatie yang berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848. Selain itu kasus Adnan Buyung ini tidak termasuk perkara pidana ataupun perdata, melainkan perkara administratif. Majelis Hakim yang saat itu diketuai Sakir Ardiwinata serta hakim anggota Reni Retnowati dan LO Siahaan dalam putusan menyatakan bahwa skorsing Buyung sudah dilakukan dengan proses administrasi yang baik. Hal ini sebab sudah melalui proses panjang termasuk meminta keterangan dari Organisasi Advokat IKADIN. Perlu diketahui bahwa sebelumnya Dewan Kehormatan IKADIN juga sudah menyatakan bahwa perbuatan Buyung melanggar kode etik advokat. Pada akhirnya gugatan Buyung dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim dan ia dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp 47.500,00(empat puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).

Arsip Pengadilan Den Haag 1928: Gemuruh Pledoi Bung Hatta Indonesie Vrij

article | History Law | 2025-02-28 09:20:28

Jakarta- Sebentar lagi umat muslim di dunia akan memasuki bulan Ramadhan. Muslim memaknai Ramadhan sebagai bulan penuh keberkahan dan pengampunan dari sang pencipta. Namun Ramadhan bagi masyarakat Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai moment yang dirayakan umat Islam, akan tetapi banyak sejarah Indonesia lahir pada bulan tersebut,.Sebagai contoh Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tepat bersamaan dengan Ramadhan, 1364 Hijriah. Demikian juga upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda ke 1 di tahun 1947, tepat pada bulan Ramadhan 1366 Hijriah.Selain dua peristiwa tersebut, ada satu catatan sejarah nasional yang lahir bersamaan dengan bulan Ramadhan. Tinta sejarah bangsa Indonesia tersebut, berupa penyampaian cita-cita Indonesia Merdeka oleh cendikiawan muda Bumiputra di ruang sidang Pengadilan Den Haag, Belanda, tahun 1928. Bahkan cita-cita tentang tanah nusantara yang merdeka, menjadi sorotan dunia karena disampaikan pada persidangan yang terbuka oleh terpelajar yang didakwakan melakukan perbuatan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Intelektual muda yang lantang menyampaikan tanah Indonesia yang merdeka di ruang sidang Pengadilan Den Haag tersebut adalah Drs. Mohammad Hatta (kelak menjadi Wakil Presiden RI pertama) seorang pelajar Bumiputera yang saat itu menempuh pendidikan di negeri Kincir Angin. Aktivitasnya sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeeniging) di Belanda bersama dengan Mr. Ali Sastroamidjojo (kelak salah satu Perdana Menteri RI), Mr. Mohammad Nazir Pamoentjak (kelak duta besar Indonesia untuk beberapa negara asing), Sutan Sjahrir (kelak Perdana Menteri RI Pertama), Iwa Koesoema Soemantri (menteri era orde lama dan Rektor pertama Unpad)  dan beberapa tokoh nasional lainnya. Selain menyelesaikan pendidikannya, Mohammad Hatta aktif melakukan pergerakan dan penyuaraan kemerdekaan Indonesia, dengan melakukan kritik terhadap kolonialisme di tanah Hindia Belanda serta menerangkan kondisi rakyat tanah jajahan yang menderita akibat perbuatan semena-mena penjajah Belanda, kritiknya disampaikan baik secara lisan dalam berbagai forum atau pertemuan yang dihadirinya maupun melalui tulisan di berbagai media kabar internasional dalam beberapa Bahasa, membuatnya berurusan dengan penegak hukum di negeri Belanda. Salah satu tulisannya, yang memberikan tamparan kepada penjajah dan membuka mata dunia terhadap kolonialisme di Belanda yakni mengenai ketidakadilan penetapan harga sewa tanah rakyat bumiputera yang digunakan untuk perkebunan milik orang Belanda. Tulisannya tersebut dimuat Majalah Hindia Poetra, tahun 1923.Puncaknya Mohammad Hatta menjadi orator dalam pertemuan Konfrensi Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan, di Kota Gland Swiss. Mohammad Hatta memaparkan orasi menggunakan bahasa Prancis dengan judul L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Problematika Kemerdekaan). Penyampaian orasi tersebut, berdampingan dengan Pandit Jawaharlal Nehru tokoh nasional India (kelak menjadi Perdana Menteri India) Tahun 1947. Tepat setelah pulang dari Konfrensi Wanita Internasional dimaksud, Mohammad Hatta ditangkap bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamoentjak dan Abdul Majid Djojodiningrah, selanjutnya ditahan oleh Kepolisian Kerajaan Belanda.Mohammad Hatta dan rekan-rekannya, akhirnya dihadapkan pertama ke persidangan di Pengadilan Den Haag, Belanda tanggal 8 Maret 1928 bertepatan dengan bulan Ramadhan. Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta didampingi oleh Mr. Duys seorang pengacara yang juga anggota DPR Belanda dari Partai Buruh Sosial Demokrat Mr. Mobach dan Mr. Weber.Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta dituntut 3 tahun penjara oleh Penuntut Umum (opsir justisi). Terhadap tuntutan tersebut, di mana Mohammad Hatta menyampaikan nota pembelaan dengan judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Pembelaan tersebut, bukan hanya berisikan kemarahan atas penjajahan Belanda, akan tetapi memaparkan perjuangan rakyat Hindia Belanda untuk menggapai kemerdekaannya. Demikian juga Mohammad Hatta, menyakini cepat atau lambat bangsa Indonesia yang terjajah akan merebut kemerdekaanya karena itulah hukum sejarah dunia. Selain itu, disampaikan bahwa yang dilakukan Mohammad Hatta bukanlah tindakan kriminal, melainkan untuk membela keyakinan dan cita-cita tentang negeri Indonesia yang merdeka dan diakhir pembelaannya Hatta menyampaikan kata-kata Rene de Clerq yang fenomenal “Hanya satu tanah yang dapat disebut tanah airku, ia berkembang dengan usaha dan usaha itu adalah usahaku”. Setelah menyampaikan pembelaannya, dimana Tim Penasihat Hukum menyampaikan kembali pembelaan dari segi hukumnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kerajaan Belanda.Persidangan dan pembelaan Mohammad Hatta tersebut, membukakan mata dunia akan cita-cita dan perjuangan suatu bangsa jajahan yang terletak di ujung Asia meraih kemerdekaan. Satu hari sebelum hari raya Idul Fitri tanggal 22 Maret 1928, Mohammad Hatta dan tiga orang sahabatnya divonis bebas dari dakwaan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Putusan bebas atas Mohammad Hatta tersebut, merupakan bentuk penghargaan atas kebebasan berpendapat dan beraktivitas atau berorganisasi secara bebas sebagaimana Konstitusi Kerajaan Belanda. Namun kebebasan berpendapat tersebut, tidak ada di negeri-negeri jajahan Belanda, seperti Indonesia. Contohnya 2 tahun setelah peristiwa persidangan Mohammad Hatta, dkk di Den Haag, Belanda, Ir Soekarno dihadapkan ke persidangan pada tahun 1930. Dalam persidangan tersebut, dikenal pembelaan Ir. Soekarno yang menggelegar, berjudul Indonesia Menggugat. Demikian juga, Mohammad Hatta setelah pulang dari Belanda ditangkap oleh Kepolisian Hindia Belanda, tahun 1934 dan menjalani pembuangan bersama Sutan Sjahrir di Boven Digul, Papua.

Mengenal Kusumah Atmaja Ketua MA Pertama yang Disegani Presiden Soekarno

article | History Law | 2025-02-25 12:45:47

Jakarta- Jika kita berjalan di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), tampak sebuah patung yang seolah menjadi simbol MA. Banyak yang mengetahui patung tersebut adalah Ketua MA pertama, Prof Dr Kusumah Atmaja SH. Namun banyak yang tidak mengetahui keteladanannya. Kusumah Atmaja lahir di Purwakarta, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Kusumah Atmaja memperoleh gelar diploma dari Rechtsschool pada tahun 1913. Kariernya di dunia pengadilan dimulai sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun 1919, Kusumah Atmaja melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda dan mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid pada tahun 1922. Kembali ke Hindia Belanda, beliau dipercaya menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia dan setelahnya diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu. Pada masa penjajahan Jepang, Kusumah Atmaja pernah menjabat Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang, Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang. Kusumah Atmaja kemudian menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, selama 7 tahun, sejak tahun 1945 sampai wafat pada tahun 1952. (Lembaga Kajian dan Independensi Peradilan, 2016)Tantangan Selama Jadi Ketua MAKusumah Atmaja selaku Ketua MA pertama menghadapi tantangan-tantangan zaman Revolusi. Di mana masih belum ada kejelasan tugas dan kewenangan MA. Namun demikian, keteguhan hati Kusumah Atmaja dalam memegang prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, membuat Presiden Soekarno segan kepadanya. Daniel S. Lev dalam wawancara dengan Tempo pada November 1989, mengatakan bahwa akan sulit menemukan kembali figur seperti Kusumah Atmaja di dunia pengadilan.Sebastiaan Pompe, Penulis Buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, mencatat sebuah insiden pada tahun 1951 ketika Kusumah Atmaja, dalam sebuah jamuan resmi kenegaraan, tidak diberi tempat duduk sesuai dengan posisinya. Sebagai pemegang prinsip tentang pentingnya martabat kelembagaan MA, Kusumah Atmaja marah dan mengancam akan meninggalkan jamuan jika tidak diberi tempat sesuai dengan martabat jabatannya, yaitu tepat di sebelah Presiden.   Sebastiaan Pompe memandang insiden ini penting untuk para hakim dalam berjuang untuk mendapatkan perlakuan hormat bagi jabatan mereka. Pada saat awal kemerdekaan tersebut, para pemimpin politik Indonesia tidak menerima begitu saja kedudukan dan peran MA dan dalam kenyataannya MA mendapat sikap diremehkan.  Dalam penanganan perkara, MA mendapat tekanan dari Presiden yaitu pada perkara percobaan kudeta Sudarsono dan penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada 26 Juni 1946 di Solo. Berdasarkan penelusuran Tempo dan Sebastiaan Pompe, percobaan kudeta tersebut gagal dan tokoh-tokohnya yang terlibat diadili. Beberapa Terdakwa memiliki hubungan dekat dengan Presiden Soekarno dan ada dugaan bahwa Soekarno menekan agar MA bersikap lunak. Meskipun demikian, Ketua MA Kusumah Atmaja menentang tekanan ini, serta mengancam akan mundur dari jabatannya kalau Soekarno berkeras. Bahkan dalam tiga pertimbangan putusannya, Kusumah Atmaja merasa perlu menekankan dengan tegas bahwa MA adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas dari campur tangan politik.  Akhirnya pada 27 Mei 1984, Kusumah Atmaja memvonis 18 bulan penjara untuk Sudarsono dan kawan-kawan. Dari sisi internal MA, Kusumah Atmaja menghadapi tantangan tuduhan korupsi. MA nyaris memecat salah seorang Hakim Agung pada awal 1950-an, ketika terdapat dugaan kuat bahwa salah seorang Hakim Agung terlibat korupsi. Meskipun baru dugaan korupsi saja, hal tersebut sudah cukup membuat Kusumah Atmaja untuk membentuk sebuah tim komite, yang menyertakan pihak luar, untuk menyelidiki masalah tersebut. Dalam pandangannya, integritas kelembagaan sedemikian penting hingga harus ditopang dengan pengawasan publik. Dugaan korupsi tersebut timbul karena perkara penyelundupan yang ditangani Hakim Agung tersebut, di mana ia diperkirakan memberi saran kepada presiden menyangkut amnesti. Kusumah Atmaja sangat keras dan tegas dalam menangani korupsi dan menegaskan bahwa semua hakim agung harus mutlak bersih. Ia melarang Hakim Agung tersebut memasuki gedung Mahkamah Agung dan melarangnya bertugas sebagai hakim sampai masalahnya selesai. Hakim Agung tersebut pun akhirnya hanya berdiam di rumah, dan tidak bekerja. Namun akhirnya, kasus dugaan korupsi Hakim Agung tersebut menguap, terutama karena Ketua MA Kusumah Atmaja, yang menangani masalah itu dengan tegas, keburu wafat.Prinsip integritas dan independensi ini dipegang teguh oleh Kusumah Atmaja meskipun dihimpit persoalan ekonomi. Dalam catatan Sebastiaan Pompe, Kusumah Atmaja, pada tahun 1949 digambarkan sangat miskin dan hanya bisa bertahan dengan menjual harta benda miliknya. Hal ini diperkuat oleh George McTurnan Kahin dalam bukunya Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. George McTurnan Kahin menyatakan bahwa meskipun Ketua MA Kusumah Atmaja, memperoleh gaji pegawai negeri sipil tertinggi, salah satu anaknya mulai menjadi buta karena kekurangan gizi akibat ketidakmampuan sang ayah membeli makanan yang cukup untuk keluarganya.

1900 Vs 2024: Dua Zaman Ruang Sidang Pengadilan di Lampung

article | History Law | 2024-12-21 11:00:37

Jauh sebelum Indonesia merdeka, pengadilan sudah eksis. Salah satunya di Lampung.Karena belum merdeka, sistem hukum masih di bawah penjajah Belanda. Hal itu terlihat dalam sebuah foto yang mengabadikan persidangan tahun 1900 sebagaimana dilansir website wereldmuseum  (https://collectie.wereldmuseum.nl/#/query/6d0797b8-ec34-4732-b70f-bd6b7bc3a244)Altar hakim berlatarbelakang Ratu Belanda, Wilhelmina yang menduduki takhta sejak 1880 hingga 1962. Bukan Burung Garuda Pancasila seperti saat ini. Tampak hakim tunggal yang seorang berkebangsaan Belanda. Sedangkan panitera pengganti merupakan warga lokal.Setelah kemerdekaan, aroma penjajahan Belanda dihapus. Kini di persidangan hanya ada Burung Garuda , lambang negara Indonesia. Posisinya di tengah, di atas Ketua Majelis. Bahkan foto Presiden dan Wapres juga tidak ada dalam ruang sidang. Hal itu untuk menunjukan independensi pengadilan dalam mengadili perkara, tidak bisa diintervensi Kepala Negara sekali pun. "Oleh sebab itu, kemerdekaan merupakan pencapaian yang tidak bisa diganti oleh apapun selain harus dipertahankan dengan darah dan air mata," kata Humas PN Tanjungkarang, Dedy Wijaya Susanto,  kepada Dandapala, Jumat (13/12/2024).