Cari Berita

Miranda Rule ‘Anda Berhak Diam!’ dan Pasal 56 KUHAP

article | History Law | 2025-04-04 07:25:00

MIRANDA Rule adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka atau terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat yang bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan dan atau dalam semua tingkat proses peradilan. Lalu bagaimana di Indonesia?Miranda Rule sendiri berawal dari sebuah kasus di Arizona, Amerika Serikat, 1963. Saat itu Arturo Ernesto Miranda, (23), ditangkap polisi atas dugaan kasus penculikan dan pemerkosaan. Setelah diinterogasi penyidik sekitar 2 jam, akhirnya Miranda mengaku sebagai pelaku. Lantas Miranda pun menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP).Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab pertanyaan penyidik dengan sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Lalu kasus pun memasuki tahap persidangan. Di pengadilan Arizona, Miranda diganjar 20 tahun hukuman penjara. Dia langsung banding.Kasus ini berlarut hingga naik ke Supreme Court of the United State (MA-nya Amerika Serikat). Di tingkat Supreme Court tersebut, sekitar tahun 1966, mayoritas hakim Supreme Court berpendapat hak-hak Miranda sebagai tersangka tidak dilindungi. Selain itu, saat pemeriksaan Miranda tidak didampingi pengacaraDi tingkat Supreme Court inilah, Miranda dihukum lebih ringan, 11 tahun penjara dengan suara juri 5 banding 4. Akhirnya, Miranda dibebaskan secara bersyarat pada 1973.Sekeluarnya dari penjara, Miranda malah tewas dalam perkelahian bersenjata tajam. Berbeda dengan saat Miranda ditangkap, kepada tersangka penusuk, polisi membacakan kalimat:”You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense,”.Kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia terjemahan bebas berarti:“Anda berhak diam. Apa pun yang Anda katakan bisa digunakan sebagai bukti di pengadilan. Anda berhak untuk menunjuk pengacara yang hadir saat diperiksa. Jika Anda tidak mampu menghadirkannya, seorang pengacara akan ditunjuk untuk Anda oleh pemerintah,”Nah, kini kalimat di atas kerap muncul dalam film-film Hollywood saat adegan penangkapan polisi terhadap penjahat.Bagaimana di Indonesia?Sebagaimana DANDAPALA kutip dari M Sofyan Lubis,Prinsip Miranda Rights Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan (Pustaka Yustisia 2010), Jumat (4/4/2025). Miranda Rule juga merupakan hak konstitusional yang bersifat universal di hampir semua negara yang berdasarkan hukum.Komitmen terhadap penerapan Miranda Rule telah dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ke dalam sistem Hukum Acara Pidana, yaitu sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Secara umum prinsip Miranda Rule (Miranda Principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada dalam Bab VI  KUHAP, sedangkan secara khusus Prinsip Miranda Rule atau Miranda Principle terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP.Yang ingin ditegakkan dalam Prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair terhadap diri tersangka atau terdakwa. Sebab dengan hadirnya penasihat hukum untuk mendampingi dan membela hak-hak hukum bagi terdakwa dalam pemeriksaan di Pengadilan dimaksudkan untuk dapat berperan memberikan fungsi kontrol. Sehingga proses pemeriksaan terhindar dari adanya tindakan-tindakan yang tidak wajar yang dilakukan oleh penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Di samping itu dimaksudkan agar adanya kontrol oleh penasihat hukum terhadap jalannya pemeriksaan selama dalam proses persidangan di pengadilan.Pada sisi lain Ketentuan yang di konstantir dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut bersifat imperatif, yang apabila diabaikan mengakibatkan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.Sejarah Diadopsinya Prinsip Miranda Rule dalam KUHAPBerawal dari kasus yang terjadi Miranda Rule di Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1966 di atas, sejak saat itu, Miranda Rule menjadi pijakan dalam sistem hukum Amerika Serikat, yang kemudian mengarah pada penerapan prinsip serupa di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.Hak-Hak yang Dilindungi dalam Miranda Rule meliputi penerapan dalam pasal 56 KUHAP  hak dasar yang wajib diberikan kepada tersangka sebelum dimulai pemeriksaan oleh penyidik, antara lain:1. Hak untuk diam: Segala hal yang diungkapkan oleh tersangka bisa digunakan untuk melawannya dalam pengadilan, sehingga hak untuk diam menjadi nilai krusial bagi tersangka.2. Hak untuk mendapatkan penasihat hukum: Tersangka berhak menghubungi atau didampingi oleh pengacara yang memiliki kewajiban untuk melindungi hak-haknya selama proses pemeriksaan.3. Hak atas bantuan hukum jika tidak mampu (Pro Bono): Jika tersangka tidak mampu menyediakan pengacara, penyidik harus menyediakan penasihat hukum yang akan dibiayai oleh negara.Dari hal hal tersebut karena diabaikanya hak tersangka maka Prinsip Miranda Rule melahirkan Miranda Rights, yang merinci hak-hak tersangka yang perlu diketahui sebelum pemeriksaan dimulai.Selain Miranda Rule dan Miranda Rights, dewasa ini ada pula yang dikenal sebagai Miranda Warning, yaitu peringatan yang wajib disampaikan oleh penyidik kepada tersangka pada saat penangkapan atau sebelum interogasi. Peringatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa tersangka memahami hak-haknya, yang selanjutnya demi kepentingan proses hukum yang adil.Adapun bunyi Pasal 56 penerapan dari Miranda Rule sebagai berikut:Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. (EES/asp).

Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda

article | History Law | 2025-02-18 07:25:19

Pranata hukum tidaklah dapat dilepaskan dari sejarah. Ia tidak berdiri di ruang kosong, melainkan beranjak secara berkesinambungan dari konstelasi normatif sebelumnya. Demikian halnya sistem hukum Indonesia mewarisi karakteristik dari sistem hukum kontinental yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Baik kodifikasi hukum semacam Wetboek van Strafrecht, Burgerlijk Wetboek, maupun berbagai konsep yang akrab di telinga, seperti onrechtmatige daad, atau derden verzet, berasal dari khazanah hukum Belanda yang telah disesuaikan dalam tatanan hukum Indonesia.  Bagi pengemban profesi hukum, Hoge Raad atau Mahkamah Agung Belanda, juga tidaklah asing. Putusannya yang dikenal sebagai Arrest kerap dijadikan referensi. Begitu pun pimpinan Mahkamah Agung melakukan studi ke Hoge Raad Belanda untuk mempelajari sistem kamar di pucuk lembaga peradilan Belanda ini. Namun demikian, ada padanan Hoge Raad yang dulu pada masa kolonial pernah ada di Indonesia yang jarang terdengar gaungnya, yakni Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië. Pertama kali menjalankan fungsinya pada 1 Februari 1819, Hooggerechtshof menjadi lembaga peradilan tertinggi di Hindia Belanda sampai dengan kedatangan Jepang di Indonesia pada Maret 1942. Bagaimanakah cikal bakal lembaga ini dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari riwayat keberadaannya di nusantara?Berawal dari Upaya Mewujudkan Kemandirian PeradilanAlkisah, pada akhir abad ke-18, Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC), yang menguasai wilayah nusantara selama hampir dua abad, menjadi ambyar karena merugi. Perang yang berkepanjangan dan korupsi mengakibatkan kinerjanya centang perenang. (Anne Doedens & Liek Mulder, De Memoires van Hendrik Breton ofwel de Duistere Zijde van de VOC, De Prom, Amsterdam, 2003, hlm. 24-27). Meskipun sempat adikuasa di awal berdirinya, maskapai multinasional pertama di dunia ini harus dibubarkan sehingga segala asetnya diambil negara Belanda, termasuk fungsi pemerintahan di nusantara. Urusan peradilan yang dijalankan VOC juga setali tiga uang. Sebagai maskapai dagang, penerapan hukum disesuaikan untuk memenuhi kepentingan dagang (J.La Bree, De Rechterlijke Organisatie en Rechtsbedeeleing te Batavia in de XVIIe Eeuw, Nijgh & Van Ditmar N.V., Rotterdam, 1951, hlm. 73). Meskipun terdapat prekursor lembaga peradilan seperti Raad van Justitie, Gubernur Jenderal tetap memiliki kewenangan untuk sewaktu-waktu mendirikan dewan peradilan tersendiri. Pada tahun 1609, Gubernur Jenderal bahkan memperoleh kewenangan mengurusi fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga pemisahan kekuasaan praktis tidak dikenal pada era VOC (N.S. Efthymiou, De Organisatie van Regelgeving voor Nederlands Oost-Indië: Stelsels en Opvattingen (1602-1942), disertasi, Universiteit van Amsterdam, 2005, hlm. 51). Setelah VOC gulung tikar pada tahun 1795, pemerintah Belanda mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan. Pembahasan mengenai lembaga kehakiman turut menjadi perdebatan penting. Dirk van Hogendorp, seorang mantan pejabat tinggi kolonial, dalam laporannya pada 1799, menuliskan bahwa untuk mewujudkan peradilan yang baik, dibutuhkan hakim yang melalui penggajian yang layak akan menjadi benar-benar terbebas dari pemerintah (Kees Briët, Het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië 1819-1848, Potret van een Vergeten Rechtscollege, Amsterdam University Press B.V., Amsterdam, 2015, hlm. 27-28).Usulan tersebut memantik diskusi hangat perihal lembaga kehakiman yang mandiri. Menarik bahwa lebih dari dua ratus tahun yang lalu, konsep independensi peradilan sudah digodok bahkan dalam tatanan kolonial sekali pun. Saat itu, komisi untuk mereformasi peradilan menyebutkan bahwa lembaga peradilan harus diatur secara terhormat sehingga pemerintah tidak dapat memengaruhinya (Kees Briët, 2015, hlm. 33).Demikian halnya dengan Hooggerechtshof, sebagai pucuk lembaga kehakiman, ia harus mendapatkan kepercayaan paripurna (absoluut vertrouwen) dari seluruh penduduk Hindia Belanda. Dalam kiasan puitis, perancang reformasi bahkan menuliskan: “Het moest met één woord, het Palladium der Gerechtigheid [zijn], in dat gedeelte der waereld”. (Dalam satu kata, lembaga ini harus menjadi Garda Keadilan di bagian dunia tersebut, Kees Briët, 2015, hlm. 35). Namun demikian, upaya reformasi terhenti pada tahun 1811 karena Belanda harus memberikan kekuasaannya kepada Inggris. Akan tetapi, keberadaan Inggris di nusantara hanya seumur jagung karena pada tahun 1814, kekuasaan dikembalikan lagi kepada Belanda yang menunjuk Komisaris Jenderal untuk merancang reformasi peradilan. Sayangnya, meskipun konstitusi Belanda tahun 1815 mencantumkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Komisaris Jenderal berpendapat bahwa independensi kekuasaan yudikatif tidak perlu diterapkan secara ketat di Hindia Belanda. Adapun kekuasaan kehakiman yang terlalu merdeka justru akan mencederai wibawa pemerintah kolonial di mata kawula pribumi (Kees Briët, 2015, hlm. 316). Prinsip ini dijadikan acuan dalam pendirian Hooggerechtshof sebagai lembaga kehakiman tertinggi di Hindia Belanda yang pada akhirnya ditetapkan oleh Komisaris Jenderal dalam keputusannya (Besluiten) tanggal 10 Januari 1819. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya terlihat dari kewenangan Gubernur Jenderal untuk memindahkan atau memberhentikan hakim apabila dianggapnya perlu (Kees Briët, 2015, hlm. 105). Prinsip ini terus dianut hingga dicantumkan dalam Staatsblad Nomor 23 tahun 1847 tentang Reglement op de Regterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie, yang menjadi landasan kekuasaan kehakiman di Hindia Belanda hingga Belanda pada akhirnya menyerahkan kekuasaan di Indonesia kepada Jepang pada tahun 1942.Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Tertinggi di Hindia BelandaPada awal berdirinya, Hooggerechtshof memiliki fungsi utama sebagai lembaga peradilan tertinggi, dan pengawas pelaksanaan peradilan yang baik. Fungsi sebagai pengadilan tertinggi, yang salah satunya disebut sebagai Revisie, memberikan kewenangan untuk mengurangi, atau membatalkan pemidanaan yang diputus pengadilan di bawahnya. Adapun fungsi ini sejatinya ditujukan sebagai sarana untuk memoderasi (verzachtend middel) penerapan hukum yang amburadul oleh pegawai administratif Belanda (Thermorshuizen-Arts Revisie en Herziening, De Continuïteit in de Indonesische Rechtspleging, Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde, 150, (1994), hlm. 341).Meskipun independensi peradilan tidak diterapkan konsekuen, pada perkembangannya prinsip ini tetap diusahakan untuk diimplementasikan. Pada tahun 1869, Menteri Koloni Belanda mengupayakan agar kewenangan pemerintah dalam peradilan pribumi diserahkan sepenuhnya kepada hakim profesional (C. Fasseur, De Indologen, Ambtenaren voor de Oost, 1825-1950, Uitgeverij Bert Bakker, Amsterdam, 1993, hlm. 240-241). Namun, sedikitnya petugas kehakiman yang memiliki kompetensi hukum membuat prinsip ini tidak dapat diterapkan. Pada tahun 1879 hanya terdapat tiga puluh sembilan sarjana hukum pada pengadilan pribumi. (C. Fasseur, 1993, hlm. 241). Dengan kata lain, pegawai administratif kolonial tetap memegang kendali dalam urusan peradilan.Dalam iklim semacam itu, keadaan ini tidak berarti kekuasaan kehakiman selalu diwarnai intervensi. Pada praktiknya, hakim Hooggerechtshof menjalankan fungsi yudisialnya dengan idealismenya tersendiri yang membuatnya bertentangan dengan kekuasaan kolonial (Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 339). Hooggerechtshof kerap menggunakan kewenangannya untuk melindungi penduduk pribumi dari penerapan hukum yang tidak layak oleh pegawai pemerintah. Uniknya, sikap hakim kolonial semacam ini membuat geram pengambil kebijakan di Belanda sehingga muncul usulan di Parlemen Belanda untuk membubarkan badan peradilan ini (R.H.T. Jansen, Het Hof is Dood, Leve het Hof! Over de Ontbinding en de Heroprichting van het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië (1901), Rechtsgeleerd Magazijn Themis, 185, 1, (2024), hlm.12). Lebih unik lagi, usulan ini diterima Parlemen Belanda sehingga Hooggerechtshof memang dibubarkan pada tanggal 24 Agustus 1901, tetapi didirikan kembali pada hari yang sama dengan pengurangan jumlah hakim dan pegawainya.Pengawas Pelaksanaan Peradilan Ada satu fungsi unik Hooggerechtshof yang bahkan tidak dikenal di Hoge Raad Belanda, yakni pengawasan dengan surat edaran. Pasal 157 Staatsblad Nomor 23 tahun 1847 tentang Reglement op de Regterlijke Organisatie memberikan fungsi pengawasan terhadap setiap bentuk peradilan kolonial melalui edaran (rondgaande brieven) yang disebut circulaire. Surat edaran ini dapat mencakup petunjuk dalam mengisi kekosongan hukum, ataupun penafsiran kaidah hukum tertentu. Berbeda dengan Hoge Raad di Belanda, karakteristik peradilan di Hindia Belanda menuntut adanya kontrol yang lebih ketat dari Hooggerechtshof terhadap pengadilan yang lebih rendah (PH. Kleintjes, Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indië, De Bussy, Amsterdam, 1933, hlm. 273). Kewenangan pengawasan ini memainkan peran penting hingga disebut sebagai “wetgeving per circulaire”, atau pembentukan undang-undang melalui surat edaran (Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 338). Keberadaan circulaire sesungguhnya serupa dengan kewenangan Mahkamah Agung saat ini dalam memberikan pengaturan atau petunjuk terhadap hal yang diperlukan untuk kelancaran jalannya peradilan dalam berbagai SEMA dan PERMA. Thermorshuizen-Arts menyebut kewenangan semacam ini merupakan sebuah kewenangan yang bahkan tidak akan berani dimimpikan sekalipun oleh Hoge Raad Belanda (waarvan de Nederlandse Hoge Raad niet zou durven dromen, Thermorshuizen-Arts, 1994, hlm. 336).Gedung lama Hooggerechtshof yang sempat ditempati Mahkamah Agung (1980)Sumber: collectie.wereldmuseum.nlLembaga Kehakiman yang TerlupakanHooggerechtshof terus menjalankan fungsinya hingga Belanda angkat kaki dari Indonesia setelah kalah dari Jepang pada tahun 1942. Setelah perang dunia usai, Belanda, yang berusaha menancapkan kembali kukunya di nusantara, sempat mendirikan kembali lembaga ini pada tahun 1947 (Hanneke van Katwijk & Albert Dekker, Nederlands-Indische Jurisprudentie, Register op de Geannoteerde Rechtspraak in het Indisch Tijdschrift van het Recht en de Mededelingen van het Documentatiebureau voor Overzees Recht, KITLV Uitgeverij, Leiden, 1993, hlm. 24). Namun, penyerahan kedaulatan kepada Indonesia pada tahun 1949 menjadi penanda definitif berakhirnya riwayat keberadaan Hooggerechtshof sebagai badan peradilan tertinggi kolonial di Indonesia.Demikian sejarah singkat pendahulu Mahkamah Agung ini. Pada hakikatnya, Hooggerechtshof dapat dibilang lahir sebagai bentuk upaya memisahkan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan kehakiman di masa kolonial. Penelaahan terhadap sejarahnya mengajarkan bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan prinsip universal yang tidak lekang oleh waktu, bahkan dalam konteks kolonial sekalipun. Meskipun prinsip ini tidak berhasil diwujudkan sepenuhnya, namun Hooggerechtshof tetap berupaya mewujudkan fungsinya sebagai pucuk lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan pemerintah. Dengan cara demikian, Hooggerechtshof sejatinya telah memberikan warna tersendiri dalam khazanah sejarah hukum Indonesia yang masih sedikit diketahui orang. Penelusuran lebih lanjut terhadap sejarah lembaga ini, sesungguhnya menarik, namun masih kurang dilakukan. Sayangnya, putusan atau pun arsip yang berhubungan dengan Hooggerechtshof yang mungkin masih tersimpan di Jakarta sudah musnah dimakan rayap (Kees Briët, 2015, hlm. 17). Sebagaimana yang disebut Kees Briët,  Hooggerechtshof tidak lain adalah sebuah lembaga kehakiman yang terlupakan (vergeten rechtscollege).Gedung Hooggerechtshof saat ini menjadi bagian dari kompleks Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng (2023)Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/Daftar Referensi: Anne Doedens & Liek Mulder, De Memoires van Hendrik Breton ofwel de Duistere Zijde van de VOC, De Prom, Amsterdam, 2003.C. Fasseur, De Indologen, Ambtenaren voor de Oost, 1825-1950, Uitgeverij Bert Bakker, Amsterdam, 1993.H.T. Jansen, Het Hof is Dood, Leve het Hof! Over de Ontbinding en de Heroprichting van het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië (1901), Rechtsgeleerd Magazijn Themis, 185, 1, (2024).Hanneke van Katwijk & Albert Dekker, Nederlands-Indische Jurisprudentie, Register op de Geannoteerde Rechtspraak in het Indisch Tijdschrift van het Recht en de Mededelingen van het Documentatiebureau voor Overzees Recht, KITLV Uitgeverij, Leiden, 1993.J. La Bree, De Rechterlijke Organisatie en Rechtsbedeeleing te Batavia in de XVIIe Eeuw, Nijgh & Van Ditmar N.V., Rotterdam, 1951.Kees Briët, Het Hooggerechtshof van Nederlands-Indië 1819-1848, Potret van een Vergeten Rechtscollege