Cari Berita

PT Jakarta Kuatkan Hukuman Ganti Rugi Rp 266 Miliar PT HIS Gegara Kebakaran Hutan 

article | Sidang | 2025-10-13 11:05:23

Jakarta- Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menguatkan hukuman ganti rugi sebesar Rp 266 miliar yang dijatuhkan kepada PT Hermes Sugar Indonesia (HSI). Majelis hakim menilai PT HSI bertanggungjawab atas kebakaran di Teluk Sampit dan Mentaya Hilir Selatan, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng).Kasus bermula saat terhadi hotspot (titik panas) di kawasan itu pada 2023 lalu. Ternyata terjadi sejumlah kebakaran. Akhirnya, PT HSI dimintai pertanggungjawaban mutlak. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menggugat PT HSI ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) sebagaimana domisili alamat perusahaan itu.Hasilnya, PN Jakut menyatakan gugatan tersebut menggunakan pembuktian dengan Prinsip Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability). Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil kepada Penggugat secara tunai melalui Rekening Kas Negara, dengan rincian sebagai berikut Kerugian Ekologis sebesar Rp266.927.477.261,10. Atas putusan itu, PT HSI tidak terima dan mengajukan banding. Apa kata majelis tinggi?“Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 687/Pdt.Sus-LH/2024/PN Jkt.Utr tanggal 7 Agustus 2025 yang dimohonkan banding,” demikian bunyi amar putusan PT Jakarta yang dikutip DANDAPALA dari direktori putusan MA, Senin (13/10/2025).Putusan itu diketok oleh ketua majelis Catur Irianto dengan anggota Teguh Harianto dan Khairul Fuad. Putusan itu diketok pada Kamis (9/10) kemarin. Berikut sebagian pertimbangan majelis banding itu:Menimbang bahwa pihak Tergugat adalah penyandang kewajiban untuk melakukan pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran dan dilokasi lahan tersebut, karena Tergugat terikat perjanjian Kerjasama dengan pengelolaan hutan produksi pada lokasi Mentaya Tengah Serunyan Ilir sesuai bukti P-2, SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S-375/Men LHK/Setjen/PLA 2/II/2018 tanggal 9 Nopember 2018;Menimbang bahwa dari SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.375/Men LHK/Setjen/PLA 2/II/2018 tanggal 9 Nopember 2018 PT Hermes Sugar Indonesia diwajibkan antara lain :Pada point 5.1 : “Melaksanakan perlindungan hutan pada areal sekitarnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;Pada point 6 : “PT Hermes Sugar Indonesia dilarang melakukan kegiatan persiapan lahan dengan cara membakar”Bahwa SK Menteri Lingkungan dan Kehutan tersebut mengatur jangka waktu perjanjian Kerjasama paling lama 10 sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan demikian, peristiwa kebakaran di lokasi tersebut masih dalam ikatan Kerjasama antara Penggugat dan Tergugat;Menimbang bahwa tentang tanggung jawab mutlak (Strict lialdility) yang diterapkan kepada Tergugat dalam perkara aquo telah tepat dan benar dan tidak keliru karena Tergugat telah mengakui melakukan kegiatan pembuatan lahan percontohan dumplot pada Tahun 2019 sekalipun belum ada keputusan definitive atas hal pemanfaatan hutan kepada Tergugat, namun telah terdapat perjanjian Kerjasama berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.375/Men.LHK/Setjen/PLA.2/11/2018 tanggal 9 Nopember 2018 (bukti P-2);Menimbang bahwa setiap orang/badan hukum yang melakukan kegiatan di Kawasan hutan tetap berkewajiban untuk melakukan pencegahan terhadap kebakaran. Lagipula tidak terdapat alasan-alasan untuk dapat membebaskan dari tanggung jawab mutlak sebagaimana ketentuan Pasal 501 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu: - Adanya bencana alam;- Adanya keadaan memaksa diluar kemapuan manusia; atau- Akibat perbuatan pihak lain yang menyebabkan terjadiya kerusakan lingkungan hidup.Menimbang bahwa sepanjang putusan tentang ganti rugi dan pemulihan Hakim Tingkat Pertama telah mempertimbangkan berdasarkan bukti ilmiah (scientific evidence) yakni bukti yang merujuk pada bukti yang dikumpulkan melaui suatu proses ilmiah untuk mendukung suatu fakta, data atau hasil observasi yang diharapkan berupa bukti empiris dan dapat diinterpretasikan sesuai metode ilmiah;Menimbang bahwa Tergugat dalam perkara ini harus dibebani kewajiban menanggung semua biaya yang timbul dari kerugian dan pemulihan lingkungan sesuai prinsip pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan. Wajib menanggung semua biaya yang timbul dari kerugian dan prinsip pemulihan lingkungan (Restoration Principle);Menimbang bahwa sepanjang putusan ganti rugi dan pemulihan Hakim Tingkat Pertama beralasan dan berdasarkan hukum 

Ketika Laut Menuntut Haknya, Dari Antroposentris ke Ekosentris

article | Opini | 2025-10-13 08:05:06

GELOMBANG di pesisir Indonesia kini membawa pesan yang getir, di mana hutan mangrove hilang, pantai terkikis reklamasi, dan laut perlahan kehilangan napasnya. Di balik statistik pembangunan ekonomi biru (blue economy) dan jargon ekonomi kelautan dan perikanan, laut kita sedang menuntut haknya, yaitu hak untuk hidup, hak untuk bernapas, dan hak untuk diperlakukan bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai rumah kehidupan bagi seluruh entitas yang terkandung di dalamnya.Laut yang Tak Lagi DiamDari Teluk Jakarta hingga Karimunjawa, dari Batam hingga Balikpapan, dari laut Halmahera hingga perairan perawan Raja Ampat, laut Indonesia menjadi saksi bisu dari komoditi daratan. Proyek reklamasi, penambangan pasir laut, dan ekspansi industri pesisir berjalan atas nama “izin,” padahal izin itu sering kali lebih berpihak pada investasi daripada keberlanjutan.Kita seolah lupa bahwa laut bukan ruang kosong; ia adalah ekosistem hidup dengan jaringan sosialnya sendiri. Ketika lamun tercabut, ikan mati, penyu kehilangan tempat untuk bertelur dan air berubah keruh, yang hancur bukan hanya alam, tetapi juga kebudayaan pesisir, ekonomi nelayan, dan keseimbangan batin kita sebagai bangsa Archipelago.Dari Pohon ke Laut: Hak Hukum bagi AlamPada tahun 1972, profesor hukum lingkungan Amerika, Christopher D. Stone, menulis esai legendaris Should Trees Have Standing? Ia menggugat pandangan hukum yang antroposentris dimana hukum yang hanya mengenal manusia sebagai subjek hukum dan menjadikan alam sebagai benda mati tanpa hak. Stone bertanya: “Jika anak, perempuan, dan korporasi kini diakui memiliki hak hukum, mengapa sungai dan hutan tidak?”Pertanyaan Stone tersebut adalah seruan moral bagi hukum untuk keluar dari dogma antroposentris. Ia mengingatkan bahwa: Keadilan ekologis tidak akan pernah tercapai jika hanya manusia yang diakui sebagai subjek hukum. Melalui prinsip-prinsip hukum lingkungan di mana nilai intrinsik alam, keadilan antargenerasi, dan prinsip kehati-hatian, maka hukum harus berevolusi menuju paradigma di mana: “Alam tidak hanya dilindungi karena berguna, tetapi dihormati karena ia ada.”Gagasannya sederhana tapi radikal: alam harus diberi hak untuk membela diri di pengadilan.Hutan yang ditebang, sungai yang tercemar, atau laut yang dirusak harus bisa diwakili oleh wali hukum (guardian of nature), seperti organisasi lingkungan, lembaga publik, atau bahkan warga yang peduli. Kini, lebih dari setengah abad kemudian, ide itu tidak lagi utopis. Sungai Whanganui di Selandia Baru, Sungai Atrato di Kolombia, dan Gunung Taranaki di Aotearoa telah diakui sebagai “entitas hukum yang hidup.” Laut pun seharusnya memiliki kedudukan serupa di Indonesia, bukan karena romantisme hijau, tapi karena tanpa laut, kita kehilangan jati diri dan masa depan sebagai bangsa Archipelago.Etika Lingkungan: Dari Antroposentris ke EkosentrisSelama ini hukum lingkungan kita berakar pada etika lama yaitu “antroposentrisme” di mana keberadaan alam hanya untuk melayani manusia. Laut dinilai “berharga” hanya jika menghasilkan ikan, minyak, atau pariwisata. Padahal, nilai laut tidak terletak pada manfaatnya bagi manusia, tetapi pada keberadaannya sendiri. Etika lingkungan (environmental ethics) menawarkan jalan lain yaitu “ekosentrisme” sebuah pandangan bahwa seluruh makhluk hidup dan sistem ekologis memiliki nilai intrinsik (intrinsic value).Laut memiliki hak untuk tetap eksis, tetap terpelihara keseimbangan ekologisnya dan memulihkan diri dari luka-luka manusia. Nilai ini sejalan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia. Dalam kearifan Melayu disebut, “laut bukan milik siapa-siapa, ia milik semua yang menghuni.” Dalam kosmologi Bugis, laut dipandang sebagai “wija to rilangi”, yaitu benih kehidupan yang disemai para leluhur.PKKPRL: Instrumen Hukum yang Menentukan Arah LautDalam kerangka hukum nasional, instrumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) seharusnya menjadi benteng utama perlindungan laut. Instrumen ini diatur dalam UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), serta diperjelas dalam PP No. 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Secara ideal, PKKPRL adalah alat penyaring ekologis yang dimaksudkan untuk memastikan setiap kegiatan di laut sesuai dengan daya dukung, daya tampung, dan fungsi ekologisnya.Namun dalam praktik, ia sering tereduksi menjadi “stempel legalisasi kegiatan ekonomi.” Kajian lingkungan hanya menjadi formalitas; partisipasi masyarakat pesisir sering diabaikan. Akibatnya, laut yang seharusnya dilindungi justru dijadikan alas kaki investasi. Padahal, secara filosofis, PKKPRL seharusnya menjadi manifestasi dari etika lingkungan itu sendiri yang menempatkan laut sebagai subjek yang memiliki kepentingan, bukan sekadar objek kebijakan.Laut sebagai Subjek Hukum: Bukan ImajinasiMengakui laut sebagai subjek hukum bukanlah hal mustahil. Prinsipnya sudah tertanam dalam sistem hukum Indonesia melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kata “dikuasai” dalam konteks itu bukan berarti dimiliki, melainkan dijaga dan diamanahkan. Negara bertindak sebagai “wali ekologis” (ecological trustee) dan bertindak sebagai pemegang tanggung jawab untuk melindungi hak-hak lingkungan demi generasi mendatang. Maka, setiap pelanggaran PKKPRL, baik reklamasi tanpa izin, tambang pasir laut, atau pencemaran industri, bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi pengingkaran terhadap amanah konstitusi ekologis bangsa.Ultimum Remedium yang BerkeadilanHukum pidana lingkungan sering disebut sebagai ultimum remedium atau dengan kata lain sebagai jalan terakhir. Namun “terakhir” tidak berarti “tidak pernah digunakan.” Ketika kerusakan laut telah mengancam ekosistem, mata pencaharian nelayan, dan keseimbangan ekologis, maka pidana bukanlah bentuk balas dendam, melainkan bentuk pemulihan moral. Hakim peradilan perikanan atau hakim lingkungan tidak lagi sekedar menimbang kerugian materiil, tetapi harus menakar nilai kehidupan ekologis yang hilang. Putusan hakim yang adil bagi laut bukan yang menghukum pelaku semata, tetapi yang memulihkan laut hingga ia dapat bernapas kembali.Dari Etika ke Kebijakan: Membangun “Keadilan Laut”Sudah saatnya kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia diukur bukan hanya dengan indikator ekonomi, tetapi juga indeks keadilan ekologis. Keadilan ekologis yang dimaksud ini mencakup; partisipasi masyarakat pesisir dalam setiap perencanaan ruang laut, transparansi izin PKKPRL, dan pengakuan terhadap hak-hak ekosistem laut untuk tetap lestari. Sebagaimana pengakuan hak asasi manusia pernah menjadi tonggak moral abad ke-20, maka abad ke-21 harus menjadi abad hak-hak ekologis bumi.Penutup: Mendengarkan Suara LautLaut tidak berbicara dengan bahasa manusia, tapi dengan tanda-tandanya: ombak yang makin tinggi, ikan yang makin sepi, dan pantai yang makin jauh dari bibir daratan. Ia tengah menegakkan gugatannya, meskipun bukan di pengadilan manusia, tapi di ruang nurani bangsa Indonesia yang dua pertiganya adalah entitas dia.  Seperti kata Stone, “Hukum berkembang sejauh manusia memperluas lingkaran simpatinya.” Kini saatnya kita memperluas lingkaran itu, hingga mencakup laut dan segala isinya. Karena ketika laut kehilangan haknya, kita kehilangan masa depan kita sendiri dan masa depan generasi mendatang. (ldr)

PN Sei Rampah Donorkan 14 Kantong Darah

photo | Berita | 2025-02-26 18:20:09

Sei Rampah -Kab. Serdang Bedagai. Pengadilan Negeri (PN) Sei Rampah menggelar kegiatan sosial donor darah di Aula PN Sei Rampah, pada Rabu 26/02/2025. Kegiatan ini bekerjasana dengan RSUD Sultan Sulaiman Sergai. Kegiatan donor darah ini berhasil mengumpulkan 14 Kantong Darah. Donor ini diikuti oleh Ketua, Wakil Ketua, Para Hakim, aparatur PN Sei Rampah serta Hakim Pengadilan Agama (PA) Sei Rampah.

PN Rangkasbitung Denda Perusahaan Rp 3 Miliar karena Cemari Lingkungan

article | Sidang | 2024-12-19 21:10:04

Rangkasbitung - Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung, Lebak, Banten menjatuhkan hukuman pidana denda kepada PT Samudera Banten Jaya sebesar Rp 3 miliar. PT Samudera Banten Jaya dinyatakan mencemari lingkungan atas aktivitas perusahannya.“Menyatakan Terdakwa PT Samudera Banten Jaya yang diwakili oleh 
Muhammad Alwi Djufri tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu air sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu,” demikian bunyi putusan PN Rangkasbitung yang dirangkum dandapala.com, Kamis (19/12/2024).Putusan itu diketok oleh ketua majelis hakim Novita Witri pada siang ini. Duduk sebagai anggota majelis Rahmawan dan Jumiati.“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sejumlah Rp 3 miliar dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, denda tersebut tidak dibayar maka harta benda korporasi disita oleh Penuntut Umum dan dilelang untuk membayar denda,” ujar majelis dengan suara bulat.
Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat bahwa dilihat di dalam amdal yang dimiliki oleh PT Samudera Banten Jaya adalah menggunakan Gold Dressing Agent (GDA). Akan tetapi nyatanya setelah PT Samudera Banten Jaya merasa tidak efektif dan menggunakan sianida serta karbon aktif.“Namun PT Samudera Banten Jaya tidak mengindahkan dengan memperbaharui adendum amdal dan Rencana Kegiatan Pertambangan dan Pengolahan Emas (RKL-RPL),” ujar Novita Witri-Rahmawan-Jumiati.Majelis hakim memiliki pendapat sebagaimana dikatakan oleh ahli Dr Ir Heru Bagus Pulunggono MAgr Sc  yang menjelaskan pencucian sianida oleh air hujan. Air hasil pencucian ini akan mencemari lingkungan dan tererosinya tanah tercemar sianida ke tempat lain karena terbawa oleh limpahan air hujan sehingga akan mencemari lingkungan. “Drum bekas penyimpanan sianida seharusnya disimpan pada fasilitas penyimpanan sementara (TPS) B3 yang telah diberi izin dan diserahkan pada pengolah limbah B3 yang tersertifikasi sesuai dengan peraturan yang berlaku,” papar Novita Witri-Rahmawan-Jumiati.Akibat dari penambangan yang dilakukan oleh PT Samudera Banten Jaya, ujar majelis, yang mana warga Kampung Cimentung Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak terdampak 33 tiga kepala keluarga yang sawahnya gagal panen.“Hal tersebut disebabkan limbah pengolahan tambang berupa butiran tambang/batu kerikil yang disimpan dipinggir sungai dan oleh karena lokasi tambang lebih tinggi dari lokasi sawah milik masyarakat Cimentung dan aliran sungai Cikidit yang melewati lokasi tambang mengalir k esawah milik warga Cimentung sehingga air yang mengaliri sawah warga Cimentung terdapat lumpur yang menyebabkan sawah milik warga Cimentung menjadi gagal panen,” urai majelis soal dampak limbah tersebut.Selain itu, tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil titik koordinat dan menelusuri sungai-sungai yang ada di lokasi. Namun setelah tim verifikasi melakukan pemeriksaan terhadap wilayah penambangan dan pengolahan mineral emas, di mana ditemukan kegiatan operasi pada blok pasir ella (Batulawang) telah menutup mata air/saluran sungai.“Sehingga mengakibatkan aliran sungai daerah setempat menurunkan kualitas air pemukaan dan selain itu ditemukan adanya kemasan bekas B3 NaCN (Sianida) B107d di blok pertambangan Ella pada koordinat 06o 20’42 BT yang tidak dikelola pada koordinat 06o51’33,94 LS dan 106o20’30,93 BT terdapat penimbunan kemasan bekas B3 NaCN (sianida),” beber majelis hakim.Sebelum memutus, majelis hakim PN Rangkasbitung mempertimbangkan keadaan yang memberatkan. Yaitu perbuatan Terdakwa PT Samudera Banten Jaya bertentangan dengan program pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.“Keadaan yang meringankan Terdakwa telah melakukan pergantian rugi terhadap warga yang terdampak dari limbah PT. Samudera Banten Jaya. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan akan memperbaiki izin-izin yang terkait dengan penambangan,” ucap Novita Witri-Rahmawan-Jumiati. (WI/ASP)