Cari Berita

Paradoks Kinerja, Ketika Kompetensi Tidak Lagi Dipamerkan

Wisnu Sadewo - Dandapala Contributor 2025-10-12 08:00:43
Dok. Penulis.

Pernahkah Anda sengaja berpura-pura tidak bisa, padahal sebenarnya bisa? Kalau iya, Anda tidak sendirian semakin banyak orang yang melakukannya demi menjaga kewarasannya di tempat kerja.

Ada fenomena paradoks yang terjadi saat ini, quiet covering namanya. Bukan soal mereka yang kurang kompeten lalu menyembunyikan kelemahannya, melainkan tentang para pekerja andal yang justru memilih memendam kemampuannya. Mereka terlalu pandai, hingga takut kepandaian itu akan menjadi beban tambahan.

Seorang rekan kerja pernah berbisik, "Kalau pada tau gue bisa desain pasti setiap ada acara, yang ditunjuk gue lagi, gue lagi." Pernyataan lirih ini bukan sekadar keluhan pribadi, melainkan cerminan dari kegelisahan kolektif. Ada ketakutan mendalam bahwa kompetensi akan berubah menjadi beban, bukan aset. Data pun mengamini.

Baca Juga: Strategi Jadi Mediator Perkara Lingkungan Hidup yang Profesional

Deloitte University Press (2019) mencatat, 61% pekerja secara sadar menyembunyikan sebagian identitas atau potensinya. Riset Harvard Business Review (2022) menambahkan, hampir separuh pegawai berprestasi menahan diri karena takut diberi tanggung jawab ekstra tanpa apresiasi yang sepadan.

Mereka yang punya ide brilian memilih untuk menyimpannya rapat-rapat. Mereka yang seharusnya bersinar, memilih meredup. Bukan karena kekurangan sumber daya manusia, melainkan karena kekurangan keberanian untuk unjuk gigi.

Organisasi memang tetap berjalan, tetapi stagnan, tanpa terobosan. “Sialnya” budaya ini menyebar. Pegawai baru yang melihat seniornya bekerja dengan "aman" dan "terukur" akan mengikuti jejak yang sama. Mereka belajar bisa selamat dan aman aman saja. Lahirlah generasi pekerja yang cermat dalam bekerja, tetapi sangat berhati-hati agar tidak terlihat "terlalu hebat."

Lalu, bagaimana kita mengubah keadaan ini?

Jawabannya bukan terletak pada aturan baru, sekedar himbauan. Ini tentang cara kita memperlakukan inisiatif. Ketika seseorang mencoba membantu, jangan langsung diberi label "mampu" lalu dijejali segudang tugas baru.

Ketika ada ide segar, jangan didengarkan hanya untuk kemudian seluruh pelaksanaannya dilimpahkan pada satu orang. Inisiatif harus lebih dulu dihargai sebelum dijadikan tanggung jawab.

Organisasi harus hadir sebagai pelindung, bukan sekadar penuntut. Ada beberapa langkah sederhana yang bisa diambil. Ciptakan lingkungan yang aman bagi mereka yang ingin berinisiatif. Bangun budaya tim, Jika seseorang menawarkan ide atau kemampuan, tim harus bergerak mengawal dan mendukung, bukan membiarkan ia menanggung seluruh pekerjaan sendirian.

Tunjukkan secara nyata bahwa kontribusi membawa penghargaan, bukan hukuman. Apresiasi tidak selalu harus berupa uang atau piagam. Terkadang, cukup dengan kalimat, "Kalau lo butuh bantuan, kita siap, hal tersebut cukup untuk menumbuhkan rasa percaya diri.

Karena bakat yang terus disembunyikan bukan hanya kerugian pribadi, tapi juga kerugian institusi. Inovasi tidak lahir dari orang yang bisa, tetapi dari orang yang merasa merdeka untuk berkarya.

Baca Juga: Paradoks Formulasi Pidana Mati Dalam KUHP Nasional, Dapatkah Menjerakan Pelaku?

Mungkin, sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Apakah saya sedang menahan potensi? Apakah saya sungguh-sungguh bekerja dengan baik, atau sekadar bermain aman?

Mari kita mulai perubahan dari hal yang paling sederhana: berhenti berpura-pura tidak bisa. (ldr)




Wisnu Sadewo Analis SDM Aparatur Ahli Pertama Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI