Pernahkah
Anda sengaja berpura-pura tidak bisa, padahal sebenarnya bisa? Kalau iya, Anda
tidak sendirian semakin banyak orang yang melakukannya demi menjaga
kewarasannya di tempat kerja.
Ada
fenomena paradoks yang terjadi saat ini, quiet covering namanya. Bukan
soal mereka yang kurang kompeten lalu menyembunyikan kelemahannya, melainkan
tentang para pekerja andal yang justru memilih memendam kemampuannya. Mereka
terlalu pandai, hingga takut kepandaian itu akan menjadi beban tambahan.
Seorang
rekan kerja pernah berbisik, "Kalau pada tau gue bisa desain pasti setiap
ada acara, yang ditunjuk gue lagi, gue lagi." Pernyataan lirih ini bukan
sekadar keluhan pribadi, melainkan cerminan dari kegelisahan kolektif. Ada
ketakutan mendalam bahwa kompetensi akan berubah menjadi beban, bukan aset.
Data pun mengamini.
Baca Juga: Strategi Jadi Mediator Perkara Lingkungan Hidup yang Profesional
Deloitte
University Press (2019) mencatat, 61% pekerja secara sadar menyembunyikan
sebagian identitas atau potensinya. Riset Harvard Business Review (2022)
menambahkan, hampir separuh pegawai berprestasi menahan diri karena takut
diberi tanggung jawab ekstra tanpa apresiasi yang sepadan.
Mereka
yang punya ide brilian memilih untuk menyimpannya rapat-rapat. Mereka yang
seharusnya bersinar, memilih meredup. Bukan karena kekurangan sumber daya
manusia, melainkan karena kekurangan keberanian untuk unjuk gigi.
Organisasi
memang tetap berjalan, tetapi stagnan, tanpa terobosan. “Sialnya” budaya ini
menyebar. Pegawai baru yang melihat seniornya bekerja dengan "aman"
dan "terukur" akan mengikuti jejak yang sama. Mereka belajar bisa
selamat dan aman aman saja. Lahirlah generasi pekerja yang cermat dalam
bekerja, tetapi sangat berhati-hati agar tidak terlihat "terlalu
hebat."
Lalu, bagaimana kita mengubah
keadaan ini?
Jawabannya
bukan terletak pada aturan baru, sekedar himbauan. Ini tentang cara kita
memperlakukan inisiatif. Ketika seseorang mencoba membantu, jangan langsung
diberi label "mampu" lalu dijejali segudang tugas baru.
Ketika
ada ide segar, jangan didengarkan hanya untuk kemudian seluruh pelaksanaannya
dilimpahkan pada satu orang. Inisiatif harus lebih dulu dihargai sebelum
dijadikan tanggung jawab.
Organisasi
harus hadir sebagai pelindung, bukan sekadar penuntut. Ada beberapa langkah
sederhana yang bisa diambil. Ciptakan lingkungan yang aman bagi mereka yang
ingin berinisiatif. Bangun budaya tim, Jika seseorang menawarkan ide atau
kemampuan, tim harus bergerak mengawal dan mendukung, bukan membiarkan ia
menanggung seluruh pekerjaan sendirian.
Tunjukkan
secara nyata bahwa kontribusi membawa penghargaan, bukan hukuman. Apresiasi
tidak selalu harus berupa uang atau piagam. Terkadang, cukup dengan kalimat,
"Kalau lo butuh bantuan, kita siap, hal tersebut cukup untuk menumbuhkan
rasa percaya diri.
Karena
bakat yang terus disembunyikan bukan hanya kerugian pribadi, tapi juga kerugian
institusi. Inovasi tidak lahir dari orang yang bisa, tetapi dari orang yang
merasa merdeka untuk berkarya.
Baca Juga: Paradoks Formulasi Pidana Mati Dalam KUHP Nasional, Dapatkah Menjerakan Pelaku?
Mungkin,
sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Apakah saya sedang menahan
potensi? Apakah saya sungguh-sungguh bekerja dengan baik, atau sekadar bermain
aman?
Mari kita mulai perubahan dari hal yang paling sederhana: berhenti berpura-pura tidak bisa. (ldr)
Wisnu Sadewo Analis SDM Aparatur Ahli Pertama Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI