Cari Berita

Hukum, Hakim, dan Kemanusiaan: Membaca Paradigma Baru Pemidanaan

article | Opini | 2025-06-22 09:00:28

Adagium “ubi societas ibi ius” menunjukkan hukum sebagai kebutuhan dasar demi keteraturan dan keadilan. Dalam negara hukum, hakim bukan sekadar pelaksana norma, tetapi penjaga keadilan substantif. (Philipus M. Hadjon, 1987) Asas kepasifan hakim juga penting dijaga: ia tidak boleh mencari perkara atau berinisiatif mengadili di luar permohonan yang sah, agar penilaian dan putusannya tidak tercemar oleh prasangka. Karenanya, dalam tradisi hukum Belanda, hakim disebut zittende magistratuur- magistrat yang duduk berbeda dari jaksa yang merupakan staande magistratuur, atau penegak hukum yang aktif menuntut (Sudikno Mertokusumo, 1981). Objektivitas putusan hanya terjamin bila pertimbangannya memuat secara jelas fakta yang terbukti dan norma hukum yang relevan. Hal ini sejalan dengan Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan setiap putusan mencantumkan alasan, dasar hukum, serta pasal atau sumber hukum sebagai dasar pengambilan keputusan. Uraian mengenai fakta dan norma ini harus tercermin secara eksplisit dalam bagian pertimbangan (motivering) yang menjadi inti legitimasi putusan (M. Yahya Harahap, 2008). Dalam kerangka filsafat hukum, posisi hakim tidak sekadar pelaksana teknis norma, melainkan aktor etis yang membawa misi keadilan substantif. Paradigma pemidanaan dalam KUHP Nasional menegaskan bahwa pemidanaan bukan sekadar menyatakan kesalahan dan menjatuhkan sanksi, melainkan bagian dari rekayasa sosial yang memuat dimensi epistemologis (cara pandang terhadap pemidanaan), ontologis (hakikat pemidanaan), dan aksiologis (tujuan serta manfaatnya). Dalam perspektif ini, hukum hadir bukan untuk menghukum semata, melainkan untuk memperbaiki, mendidik, dan memulihkan keseimbangan sosial. 1.     Aspek Epistemologis Paradigma Pemidanaan Pergeseran pemidanaan dalam KUHP Nasional tidak hanya mencerminkan perubahan nilai (aksiologis), tetapi juga transformasi cara pandang dan struktur pengetahuan hukum pidana (epistemologis). Paradigma baru ini lahir dari dialog antara refleksi filosofis, temuan empiris, dan pendekatan multidisipliner yang lebih manusiawi. Satjipto Rahardjo menegaskan hukum bukan sekadar norma, tetapi fenomena sosial bermakna yang menuntut pendekatan multidisipliner dan manusiawi (Satjipto Rahardjo, 2006). Karena itu, lahirnya prinsip diversity of sanctions dan tujuan pembinaan pelaku (Pasal 51 KUHP) mencerminkan pendekatan epistemik yang menggabungkan norma, konteks sosial, dan filsafat. Ini sekaligus menjadi kritik terhadap positivisme hukum yang mereduksi manusia sebagai objek pasif aturan. 2.     Aspek Ontologis: Hakikat Hukum dan Pemidanaan Aspek ontologis dalam filsafat hukum menggali hakikat terdalam dari hukum dan pemidanaan: apa itu hukum, dan mengapa masyarakat membutuhkannya? B. Arief Sidharta menegaskan bahwa hukum bukan sekadar kumpulan norma deklaratif, melainkan perangkat normatif yang dibentuk secara sadar demi menciptakan ketertiban yang adil. Hukum hadir untuk mengarahkan perilaku, menjaga harmoni sosial, dan mengatur relasi antar individu melalui norma yang dapat dipaksakan secara sah, dengan prosedur yang menjamin tidak terjadinya kesewenang-wenangan(B. Arief Sidharta, 2000) Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hukum adalah kaidah yang hidup dalam masyarakat, berfungsi menciptakan keteraturan agar setiap individu dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara setara. Hukum bukanlah entitas yang lahir di ruang hampa, melainkan refleksi dari kesadaran kolektif akan perlunya struktur dan keteraturan. Karena itu, pemidanaan sebagai bagian dari hukum harus dimaknai secara sosial, bukan semata sebagai mekanisme administratif atau represif, melainkan sebagai instrumen yang berakar dalam dinamika masyarakat itu sendiri. (Sudikno Mertokusumo, 2007) Pandangan ini sejalan dengan pendekatan KUHP Nasional yang secara eksplisit menempatkan tujuan pemidanaan dalam kerangka korektif dan edukatif. Pasal 51 KUHP menetapkan lima tujuan pemidanaan: mencegah kejahatan, membina pelaku, menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan sosial, serta menciptakan rasa aman. Secara ontologis, pemidanaan tak lagi dimaknai sebagai balas dendam negara, melainkan sebagai sarana koreksi dan edukasi demi ketertiban yang berkeadilan. Pasal 52–54 memberi kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana secara proporsional, dengan mempertimbangkan usia, latar belakang, dan kondisi sosial pelaku. Pasal 65 ayat (1) huruf e bahkan memungkinkan pidana bersyarat bagi kelompok rentan. Sementara itu, Pasal 40–44 yang mengatur alasan pemaaf, menegaskan bahwa pemidanaan tak dapat dikenakan pada individu yang secara moral atau psikologis tak layak dimintai pertanggungjawaban. KUHP Nasional mencerminkan pergeseran ontologis dari hukum sebagai alat represif menuju sarana korektif, serta perubahan aksiologis dari keadilan prosedural ke arah keadilan substantif yang menempatkan martabat manusia dan pemulihan sosial sebagai orientasi utama. Dalam konteks ini, hakim bukan lagi sekadar pelaksana norma, melainkan aktor etis yang terlibat aktif dalam penciptaan keadilan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum harus menjadi alat pembebasan dan berpihak pada manusia serta realitas sosial. Maka, hukum dan pemidanaan dituntut adaptif terhadap dinamika masyarakat, serta mampu menjamin keadilan yang objektif, manusiawi, dan beradab. 3.      Aspek Aksiologis: Nilai Keadilan, Martabat, dan Kemanusiaan Dalam dimensi aksiologis, hukum tidak lagi dilihat sebagai sistem netral, melainkan sebagai instrumen pembawa nilai. Ia bertugas mewujudkan keadilan, kemanusiaan, dan ketertiban bermartabat. Pemidanaan harus berlandaskan nilai, bukan hanya prosedur. B. Arief Sidharta menegaskan bahwa hakim tidak cukup memahami hukum secara teknis, tetapi harus menghidupinya dengan integritas moral dan kepekaan terhadap keadilan substantif.(B. Arief Sidharta, 2000b) Gustav Radbruch menyatakan bahwa jika kepastian hukum berbenturan dengan keadilan, maka keadilan harus diutamakan. Baginya, hukum ideal mencakup tiga pilar: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, namun keadilan adalah nilai tertinggi. Maka dari itu, sistem pemidanaan tidak cukup hanya menjamin kepastian hukum atau efek jera, tetapi harus berpijak pada penghormatan martabat manusia dan keadilan substantif. (Abdul Aziz Nasihuddin, 2023) KUHP Nasional membawa paradigma baru pemidanaan melalui prinsip diversity of sanctions, yang tidak lagi menempatkan penjara sebagai instrumen utama. Pasal 51 menegaskan bahwa pemidanaan bertujuan untuk membina pelaku, menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan sosial, dan menciptakan rasa aman. Pendekatan ini bersifat korektif dan edukatif. Pasal 54 menekankan pentingnya pelaksanaan pidana yang menjunjung martabat manusia dan proporsional terhadap kesalahan serta kondisi pelaku. Pasal 65 ayat (1) huruf e memberi dasar bagi hakim menjatuhkan pidana bersyarat bagi kelompok rentan. Implementasinya diatur dalam Pasal 70–72, yang mencakup mekanisme pidana bersyarat, pengawasan, dan sanksi atas pelanggaran. Dengan demikian, sistem pemidanaan Indonesia bergerak menuju pendekatan yang lebih humanistik, menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembinaan dan pemulihan, serta menempatkan hakim sebagai penjamin keadilan yang memanusiakan. 4.     Refleksi Penutup: Pemidanaan Sebagai Tanggung Jawab Etis Hakim Hakim adalah agen keadilan yang harus memiliki nurani hukum sebagaimana ditekankan B. Arief Sidharta: putusan harus memuat alasan faktual, yuridis, dan nilai keadilan (B. Arief Sidharta, 2000). Etika hakim menuntut integritas, kebijaksanaan (phronesis), dan kepribadian luhur. KUHP Nasional melalui Pasal 51, 54, 65, dan 70–72 UU No. 1 Tahun 2023 mendorong pemidanaan korektif, edukatif, dan rehabilitatif, menjadikan hukuman sebagai awal pemulihan sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum harus berpihak pada manusia. Hakim adalah penjaga nilai dan empati dalam menegakkan hukum. Dalam paradigma baru ini, pemidanaan menekankan pemulihan, martabat, dan reintegrasi sosial agar hukum benar-benar memanusiakan. (Satjipto Rahardjo, 2006). (YPY/LDR) Daftar Pustaka Hadjon, P. M. (1987). Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia. Bina Ilmu. Harahap, M. Y. (2008). Hukum acara perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar Grafika. Mertokusumo, S. (1981). Hukum dan peradilan: Suatu pengantar. Liberty. Mertokusumo, S. (2007). Penemuan hukum: Sebuah pengantar. Liberty. Nasihuddin, A. A., Sugianto, & Wahyuni, S. (2023). Teori hukum Pancasila. Unsoed Press. Rahardjo, S. (2006). Ilmu hukum. Citra Aditya Bakti. Sidharta, B. A. (2000). Refleksi tentang struktur ilmu hukum. Mandar Maju.