Cari Berita

Mengenal Kusumah Atmaja Ketua MA Pertama yang Disegani Presiden Soekarno

article | History Law | 2025-02-25 12:45:47

Jakarta- Jika kita berjalan di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), tampak sebuah patung yang seolah menjadi simbol MA. Banyak yang mengetahui patung tersebut adalah Ketua MA pertama, Prof Dr Kusumah Atmaja SH. Namun banyak yang tidak mengetahui keteladanannya. Kusumah Atmaja lahir di Purwakarta, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Kusumah Atmaja memperoleh gelar diploma dari Rechtsschool pada tahun 1913. Kariernya di dunia pengadilan dimulai sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun 1919, Kusumah Atmaja melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda dan mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid pada tahun 1922. Kembali ke Hindia Belanda, beliau dipercaya menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia dan setelahnya diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu. Pada masa penjajahan Jepang, Kusumah Atmaja pernah menjabat Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang, Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang. Kusumah Atmaja kemudian menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, selama 7 tahun, sejak tahun 1945 sampai wafat pada tahun 1952. (Lembaga Kajian dan Independensi Peradilan, 2016)Tantangan Selama Jadi Ketua MAKusumah Atmaja selaku Ketua MA pertama menghadapi tantangan-tantangan zaman Revolusi. Di mana masih belum ada kejelasan tugas dan kewenangan MA. Namun demikian, keteguhan hati Kusumah Atmaja dalam memegang prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman, membuat Presiden Soekarno segan kepadanya. Daniel S. Lev dalam wawancara dengan Tempo pada November 1989, mengatakan bahwa akan sulit menemukan kembali figur seperti Kusumah Atmaja di dunia pengadilan.Sebastiaan Pompe, Penulis Buku Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, mencatat sebuah insiden pada tahun 1951 ketika Kusumah Atmaja, dalam sebuah jamuan resmi kenegaraan, tidak diberi tempat duduk sesuai dengan posisinya. Sebagai pemegang prinsip tentang pentingnya martabat kelembagaan MA, Kusumah Atmaja marah dan mengancam akan meninggalkan jamuan jika tidak diberi tempat sesuai dengan martabat jabatannya, yaitu tepat di sebelah Presiden.   Sebastiaan Pompe memandang insiden ini penting untuk para hakim dalam berjuang untuk mendapatkan perlakuan hormat bagi jabatan mereka. Pada saat awal kemerdekaan tersebut, para pemimpin politik Indonesia tidak menerima begitu saja kedudukan dan peran MA dan dalam kenyataannya MA mendapat sikap diremehkan.  Dalam penanganan perkara, MA mendapat tekanan dari Presiden yaitu pada perkara percobaan kudeta Sudarsono dan penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada 26 Juni 1946 di Solo. Berdasarkan penelusuran Tempo dan Sebastiaan Pompe, percobaan kudeta tersebut gagal dan tokoh-tokohnya yang terlibat diadili. Beberapa Terdakwa memiliki hubungan dekat dengan Presiden Soekarno dan ada dugaan bahwa Soekarno menekan agar MA bersikap lunak. Meskipun demikian, Ketua MA Kusumah Atmaja menentang tekanan ini, serta mengancam akan mundur dari jabatannya kalau Soekarno berkeras. Bahkan dalam tiga pertimbangan putusannya, Kusumah Atmaja merasa perlu menekankan dengan tegas bahwa MA adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas dari campur tangan politik.  Akhirnya pada 27 Mei 1984, Kusumah Atmaja memvonis 18 bulan penjara untuk Sudarsono dan kawan-kawan. Dari sisi internal MA, Kusumah Atmaja menghadapi tantangan tuduhan korupsi. MA nyaris memecat salah seorang Hakim Agung pada awal 1950-an, ketika terdapat dugaan kuat bahwa salah seorang Hakim Agung terlibat korupsi. Meskipun baru dugaan korupsi saja, hal tersebut sudah cukup membuat Kusumah Atmaja untuk membentuk sebuah tim komite, yang menyertakan pihak luar, untuk menyelidiki masalah tersebut. Dalam pandangannya, integritas kelembagaan sedemikian penting hingga harus ditopang dengan pengawasan publik. Dugaan korupsi tersebut timbul karena perkara penyelundupan yang ditangani Hakim Agung tersebut, di mana ia diperkirakan memberi saran kepada presiden menyangkut amnesti. Kusumah Atmaja sangat keras dan tegas dalam menangani korupsi dan menegaskan bahwa semua hakim agung harus mutlak bersih. Ia melarang Hakim Agung tersebut memasuki gedung Mahkamah Agung dan melarangnya bertugas sebagai hakim sampai masalahnya selesai. Hakim Agung tersebut pun akhirnya hanya berdiam di rumah, dan tidak bekerja. Namun akhirnya, kasus dugaan korupsi Hakim Agung tersebut menguap, terutama karena Ketua MA Kusumah Atmaja, yang menangani masalah itu dengan tegas, keburu wafat.Prinsip integritas dan independensi ini dipegang teguh oleh Kusumah Atmaja meskipun dihimpit persoalan ekonomi. Dalam catatan Sebastiaan Pompe, Kusumah Atmaja, pada tahun 1949 digambarkan sangat miskin dan hanya bisa bertahan dengan menjual harta benda miliknya. Hal ini diperkuat oleh George McTurnan Kahin dalam bukunya Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. George McTurnan Kahin menyatakan bahwa meskipun Ketua MA Kusumah Atmaja, memperoleh gaji pegawai negeri sipil tertinggi, salah satu anaknya mulai menjadi buta karena kekurangan gizi akibat ketidakmampuan sang ayah membeli makanan yang cukup untuk keluarganya.

4 Fakta Sejarah Mahkamah Agung Yang Tidak Banyak Diketahui Orang

article | History Law | 2025-02-23 17:45:18

Sebelum merdeka, negara kita dijajah oleh Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang lembaga yudikatif dikenal dengan nama Badan Kehakiman Tertinggi yang disebut Saikoo Hooin, yang kemudian dihapuskan pada tahun 1944 dengan Osamu Seirei (Undang-Undang) Nomor 2 Tahun 1944, sehingga segala tugasnya dilimpahkan kepada Kooto Hooin (Pengadilan Tinggi).Gambar Osamu Seirei (Undang-Undang) Nomor 2 tahun 1944Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diikuti dengan diundangkannya konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945, eksistensi dari lembaga yudikatif di negara kita semakin kuat. Salah satu lembaga negara yang diatur secara khusus dalam UUD adalah Mahkamah Agung. Melalui pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung langsung diberikan kewenangan sebagai pemegang kekuasan kehakiman tertinggi. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, tempat kedudukan dari Mahkamah Agung selanjutnya diatur oleh Pemerintah melalui Penetapan Pemerintah Nomor 9/S.D. Tahun 1946 yang isinya menunjuk Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah Agung Republik Indonesia.Gambar: Gedung Mahkamah Agung tahun 1946, gedung bersejarah terletak di Jalan Lapangan Banteng Timur 1 JakartaSebagai sebuah lembaga negara yang sudah lama berdiri, terdapat 4 fakta sejarah Mahkamah Agung yang tidak diketahui banyak orang. Ingin tahu faktanya? Berikut kami uraikan:1.   Mahkamah Agung Pernah Berkedudukan di YogyakartaOleh karena situasi Jakarta yang tidak aman pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka pada tahun 1946 ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Dengan berpindahnya ibu kota negara tersebut, maka kedudukan Mahkamah Agung ikut berpindah ke Yogyakarta sejak bulan Juli 1946 dan kembali lagi ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950.2.   Pernah Ada 2 Pengadilan Tertinggi di Indonesia          Pada tanggal 12 Desember 1947 Pemerintah Belanda Federal mendirikan Pengadilan Tertinggi yang dinamakan Hooggerechtshof yang beralamat di Jalan Lapangan Banteng Timur 1 Jakarta di samping istana Gubernur Jenderal yang sekarang adalah gedung Kementerian Keuangan. Pada saat yang bersamaan pula, Mahkamah Agung masih tetap berkuasa di daerah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan telah dipulihkannya kembali kedaulatan Republik Indonesia atas seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat), maka pekerjaan Hooggerechtshof, diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai satu-satunya Badan Peradilan Tertinggi. Pada tanggal 1 Januari 1950, para anggota Hooggerechtshof dan Procureur General meletakkan jabatan masing-masing dan menyerahkan pekerjaannya termasuk gedung dan personil kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat yang saat itu dipimpin oleh Dr. Mr. Kusumah Atmadja.Gambar: Lukisan Gedung Hooggerechtshof Hindia Belanda, berdampingan dengan Istana Gubernur Jenderal di Batavia, 1828.3.   Kejaksaan Agung Pernah Berada Satu Atap Dengan Mahkamah Agung di bawah Departemen KehakimanPada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidangnya menetapkan pembentukan 12 (dua belas) Departemen di Republik Indonesia termasuk di dalamnya Departemen Kehakiman. Adapun tugas yang diemban oleh Departemen Kehakiman mencakup hal-hal mengenai Pengadilan, Penjara, Kejaksaan dan Kadaster.Dengan kewenangan yang luas, yang dimiliki Departemen Kehakiman tersebut, menjadikan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung saat itu berada satu atap di bawah Departemen Kehakiman. Tak heran jika dulu Kejaksaan Agung disebut dengan Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung dan Kejaksaan Negeri disebut dengan Kejaksaan Pengadilan NegeriNamun dengan lahirnya Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, maka Kejaksaan Agung memisahkan diri dari Mahkamah Agung.4.   Para Pejabat Mahkamah Agung Dulu Diberikan Pangkat TitulerBerdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1946 Tentang Pemberian Pangkat Militer Kepada Ketua, Wakil Ketua, Anggota-Anggota Mahkamah Tentara Agung, Jaksa Tentara Dan Panitera Mahkamah Tentara, para pejabat Mahkamah Agung saat itu diberikan pangkat militer tituler. Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara. Adapun yang dimaksud dengan pangkat titular adalah suatu gelar atau pangkat yang diberikan kepada seseorang yang dibutuhkan untuk keperluan-keperluan bersifat sementara, yang diterima dalam rangka melakukan tugas yang berkaitan dengan gelar/pangkat yang diberikan.Gambar: Dr. Mr. Kusumah Atmadja (Ketua Mahkamah Agung Pertama) Sumber Referensi:Mahkamah Agung RI, Sejarah Berdirinya Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1986https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Republik_Indonesiahttps://kc.umn.ac.id/id/eprint/21204/4/BAB_II.pdfhttps://id.wikipedia.org/wiki/Titulerhttps://dandapala.com/article/detail/pengadilan-era-kolonial-belanda-dari-landraad-sampai-hooggerechtshof