Cari Berita

Pengucapan Putusan Pidana Biasa Tanpa Hadirnya Terdakwa, Mungkinkah?

article | Opini | 2025-06-01 12:00:58

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan acara pemeriksaan perkara pidana menjadi tiga jenis, yaitu acara pemeriksaan biasa, singkat, dan cepat. Tujuan dibedakannya jenis acara pemeriksaan tersebut adalah demi tertib beracara dan kepastian hukum dalam proses peradilan pidana. Hukum acara pidana dalam pemeriksaan biasa, singkat, dan cepat berbeda satu dengan yang lain, namun produk akhir dari semua jenis acara pemeriksaan tersebut adalah putusan. Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 angka 11 KUHAP). Berdasarkan ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal KUHAP menentukan lain. Keharusan pengucapan putusan dengan dihadiri oleh terdakwa kemudian dipertegas dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain”.Pengecualian terhadap ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP adalah bagi perkara pelanggaran lalu lintas jalan, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 214 ayat (2) KUHAP putusan perkara pelanggaran lalu lintas jalan dapat diucapkan diluar hadirnya terdakwa. Pengecualian terhadap ketentuan Pasal 196 ayat (1) KUHAP bagi perkara tindak pidana ringan tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, namun Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Nomor 9 Tahun 1985 tanggal 1 Maret 1985 memberikan petunjuk “... Mengingat Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan yang diatur dalam Pasal 205 s/d Pasal 210 KUHAP termasuk dalam Bagian Keenam mengenai Acara Pemeriksaan Cepat, sedang sifat “cepat” itu sendiri menghendaki agar perkara tidak sampai tertunggak, di samping itu situasi serta kondisi masyarakat kita sekarang belum memungkinkan apabila untuk semua perkara-perkara tindak pidana ringan terdakwanya diwajibkan hadir pada waktu putusan diucapkan, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus diluar hadirnya terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat”. Berdasarkan ketentuan tersebut putusan perkara pidana yang diperiksa dengan acara pidana cepat dapat diucapkan diluar hadirnya terdakwa. Lantas bagaimana ketentuan mengenai pengucapan putusan diluar hadirnya terdakwa dalam perkara pidana yang diperiksa dengan acara pidana biasa?Terhadap perkara pidana yang diperiksa dengan acara pidana biasa yang terdakwanya lebih dari satu dan tidak semua terdakwa hadir di persidangan, putusan tetap dapat diucapkan sepanjang ada salah satu terdakwa yang hadir (Pasal 196 ayat (2) KUHAP). Terhadap perkara-perkara tertentu yang oleh undang-undang diperbolehkan dapat diperiksa tanpa kehadiran terdakwa, yang dalam praktik peradilan dikenal dengan istilah perkara in absentia, putusan dapat diucapkan tanpa kehadiran terdakwa. Perkara yang digolongkan sebagai perkara in absentia adalah tindak pidana korupsi (Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana perikanan (Pasal 79 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009), dan tindak pidana pencucian uang (Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).Bertitik tolak dari ketentuan tersebut kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika suatu perkara tidak termasuk kedalam perkara in absentia dan terdakwanya hanya satu, namun terdakwa tersebut tidak hadir pada saat sidang pengucapan putusan karena melarikan diri atau sudah tidak diketahui keberadaannya? Apakah perkara menjadi tertunggak sedangkan dalam ilmu hukum dikenal asas litis finiri oportet yaitu setiap perkara harus ada akhirnya? Sikap apakah yang dapat diambil oleh hakim saat berhadapan dengan situasi yang demikian?Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan mencermati ketentuan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa”. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, putusan pidana dengan acara pemeriksaan biasa dapat diucapkan tanpa dihadiri oleh terdakwa sepanjang pemeriksaan telah dinyatakan selesai. Frasa “pemeriksaan telah dinyatakan selesai” tidak diatur definisinya dalam KUHAP, namun berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP yang berbunyi: “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana” dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan telah dinyatakan selesai adalah telah selesainya proses pembuktian (pemeriksaan alat bukti). Dengan demikian, dalam hal suatu perkara pidana terdakwanya hanya satu tetapi terdakwa tersebut tidak hadir pada saat sidang pengucapan putusan dan pasal yang didakwakan tidak dapat diperiksa secara in asentia, hakim tetap dapat mengucapkan putusan tanpa dihadiri oleh terdakwa sepanjang proses pembuktian telah dinyatakan selesainya. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan pengaturan terhadap pengucapan putusan diluar hadirnya terdakwa dalam perkara pidana yang diperiksa dengan acara pemeriksaan biasa adalah sebagai berikut:Terhadap perkara yang terdakwanya lebih dari satu dan tidak semua terdakwa hadir pada saat sidang pengucapan putusan, hakim dapat mengucapkan putusan sepanjang ada salah satu terdakwa yang hadir (Pasal 196 ayat (2) KUHAP).Terhadap perkara in asentia (tindak pidana korupsi, perikanan, dan pencucian uang) hakim dapat mengucapkan putusan tanpa dihadiri oleh terdakwa.Terhadap perkara yang terdakwanya hanya satu tetapi terdakwa tersebut tidak hadir pada saat sidang pengucapan putusan dan pasal yang didakwakan tidak dapat diperiksa secara in asentia, hakim dapat mengucapkan putusan tanpa dihadiri oleh terdakwa sepanjang proses pembuktian telah dinyatakan selesai (Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). facReferensiUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Buah Beracun dalam Sistem Peradilan Pidana itu Bernama Penyiksaan

article | Opini | 2025-03-22 12:20:51

PENYIKSAAN hanya buah dari sebab “fruit of the poisenous tree”. Selama “pohonnya” tidak disehatkan maka selama itu pula buah-buah beracun itu akan ada setiap saat. Hal tersebut disampaikan oleh Luhut MP Pangaribuan, Advokat Senior dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam Diskusi Penyiksaan dalam Peradilan Pidana yang dilaksanakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan REVISI, pada 21 Maret 2025. Luhut juga melanjutkan pernyataannya bahwa penyiksaan dan peradilan ini secara diametral saling bertentangan. Karena jika berbicara Peradilan maka seharusnya wujudnya adalah suatu pengayoman yang religius. Oleh karena itu adanya “penyiksaan” dalam peradilan, yang religius dan konstitusional di Indonesia, sungguh menjadi hal yang tidak masuk akal.Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 28 September 1998 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut mengedepankan sebuah definisi mengenai tindakan-tindakan yang merupakan “penyiksaan” yang disepakati secara internasional. Pasal ini menetapkan bahwa:istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.Dalam acara yang sama, Ichzan Zikry (Direktur Eksekutif REVISI) memaparkan bahwa dari 150 putusan yang diindeksasi, tercatat hanya 63 perkara yang klaim penyiksaannya diperiksa oleh Pengadilan. Dari 63 perkara hanya 19 perkara yang klaimnya diterima Pengadilan. Data ini didapatkan dari proses indeksasi dan analisa atas 313 putusan pada tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali dalam kurun waktu 2005-2021. Zikry memandang perbedaan sikap Pengadilan ini dalam memeriksa atau tidak memeriksa klaim tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa tidak adanya mekanisme yang jelas untuk memeriksa klaim penyiksaan bahwa keterangan pihak pengaku yang diperoleh merupakan dari tindakan kekerasan.Perihal klaim penyiksaan dan kekerasan yang dialami Terdakwa, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan yang menerima klaim tersebut dan berujung pada bebasnya Terdakwa.Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1565 K/PID/2013, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:putusan Judex Facti telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar bahwa saksi kunci SUANTO Bin SAIFUL HAQ dan saksi ROBY SUGARA Bin SUMADEN telah mencabut keterangan mereka di muka penyidik karena unsur tertekan dan takut, pencabutan keterangan itu beralasan karena mereka ditembak di kaki dalam keadaan mata tertutup. Sedangkan di muka persidangan kedua orang saksi ini menerangkan tidak pernah mencuri dua sepeda motor tersebut dan tidak pernah menyerahkannya kepada Terdakwa untuk dijual, bahkan kedua orang saksi ini telah diadili selaku Terdakwa kasus pencurian dua sepeda motor tersebut dengan putusan bebasDalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menolak kasasi Penuntut Umum yang mengajukan permohonan kasasi atas putusan bebas Pengadilan Negeri Surabaya. Selanjutnya adalah Putusan Nomor 109 K/Pid/2019, Mahkamah Agung menyatakan:Bahwa di persidangan Terdakwa menolak dan menyangkal dengan keras tidak pernah melakukan perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum kepadanya, sewaktu pemeriksaan pendahuluan di penyidikan Terdakwa terpaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya karena tidak tahan dengan penyiksaan yang dilakukan oknum penyidik, Terdakwa dipukuli, ditendang dan bahkan direndam dalam bak mandi;Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Padang Sidempuan telah tepat membebaskan Terdakwa dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum. Putusan lainnya adalah Putusan Nomor 1905 K/Pid.Sus/2017. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan:Saksi Afrizon telah mencabut keterangannya di Berita Acara Penyidikan Polisi (BAP Polisi), demikian juga Terdakwa juga telah mencabutkan keterangannya di BAP Polisi, karena baik Terdakwa maupun saksi Afrizon masih mengalami trauma karena setelah ditangkap Terdakwa dan saksi Afrizon telah dibawa ke suatu tempat dan dipukuli oleh Polisi yang menangkap sehingga pada saat pemeriksaan oleh Penyidik masih merasa tertekan dan ketakutan;Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang telah membebaskan Terdakwa. (YPY)