Cari Berita

Kenalkan! Kartini-Kartini Tulang Punggung Benteng Keadilan PN Kayuagung

article | Berita | 2025-04-21 14:50:09

Ogan Komering Ilir- Setiap tanggal 21 April meski tidak menjadi libur nasional, namun setiap tahun diperingati sebagai hari Kartini. Pengakuan atas perjuangan RA Kartini untuk hak dan pendidikan perempuan. Bagaimana peran perempuan di pengadilan?Sebagaimana diketahui, melalui Keppres No 108 Tahun 1964, sosok pejuang kesetaraan RA Kartini  ditetapkan Presiden Soekarno sebagai pahlawan nasional. Sejak saat itu, selain rutinitas perayaan telah pula melahirkan kiprah Kartini-Kartini sesuai zamannya.Tidak terkecuali di dunia hukum, tepatnya peradilan. Kiprah Kartini pada dunia hukum dan peradilan telah banyak diakui. Tercatat nama Sri Widoyati Soekito menjadi hakim agung perempuan pertama di Indonesia pada tahun 1968 dan selanjutnya Mariana Sutadi Nasution (2004-2008) yang mencapai jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA).Saat ini, jumlah dan kiprah Kartini-Kartini di peradilan terus meningkat. Tidak kurang 29 persen pemegang palu keadilan adalah perempuan. Bahkan di PN Kayuagung, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel) dari total 7 orang hakim (termasuk ketua dan wakil), 5 di antaranya adalah perempuan. “Sudah menjadi tulang punggung benteng keadilan, bukan lagi tulang rusuk,” ujar Ketua PN Kayuagung, Guntoro Eka Sekti, kepada DANDAPALA, Senin (21/4/2025).Mengenal Lima Kartini Pemegang Palu KeadilanLalu, siapakah tulang rusuk yang harus menjadi tulang punggung benteng keadilan itu? Yuk berkenalan dengan kelimanya. Sosok kartini di PN Kayuagung tersebut adalah Indah Wijayati, Anisa Lestari, Yuri Alpha Fawnia, Eva Rachmawati dan Nadia Septiani.“Kami satu angkatan,” ucap Anisa Lestari. Kelimanya dilantik menjadi hakim pada 27 April 2020, masa di mana virus Covid-19 merajalela. “Hakim generasi covid,” demikian beberapa rekan hakim menyebut Angkatan Hakim VIII MA, jelas alumnus S2 Universitas Indonesia tersebut.Anisa, sebagaimana Yuri dan Eva menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Sriwijaya Palembang. Sedangkan Indah adalah alumnus Universtias Bengkulu dan Nadia merampungkan S1 di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Kampus-kampus dengan reputasi yang tidak diragukan.Proses pendidikan hakim yang dijalani kelimanya setelah diterima masuk di MA tahun 2017 juga berbeda dibanding sebelumnya. Tidak kurang dua tahun lamanya harus ‘bolak-balik’ dari tempat tugas, tempat magang dan pusdiklat untuk menjalani kawah candra dimuka pendidikan hakim.“On off – on off kami menyebutkan,” ujar Indah Wijayati yang telah menyelesaikan Magister Kenotariatan dari Universitas Brawijaya. "Tidak kurang kami menjalaninya selama dua tahun proses pendidikan hingga akhirnya dilantik menjadi hakim,” sambung lajang kelahiran Musi Rawas tersebut.Tulang Punggung Benteng KeadilanMeski saat kelima Kartini dilantik menjadi hakim, PN Kayuagung masih kelas II, dengan dua wilayah hukum cukup memberikan tantangan. Tidak saja soal kuantitas, kualitas perkara yang disidangkan lumayan membuat kening berkerut. PN Kayuagung, dengan wilayah hukum Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Ogan Ilir termasuk kategori pengadilan dengan volume perkara 500-1000 setiap tahunnya. “Belum termasuk perkara tipiring dan tilang,” jelas Wakil Ketua PN Kayuagung, Agung S Nugroho.Saat ini, setelah tahun lalu mendapat kenaikan kelas menjadi IB, kelima Kartini telah menjadi tulang punggung pengadil selain Ketua dan Wakil Ketua. Beberapa perkara yang menarik perhatian, melibatkan kelimanya baik sebagai hakim anggota maupun ketua majelis.Sepert penanganan perkara narkotika dengan barang bukti hampir 1 kg, gugatan perdata yang menghukum perusahaan Cina hampir Rp 3 triliun, telah melibatkan Kartini-Kartini pemegang palu keadilan di PN Kayuagung. Belum lagi gugatan keberadaan hutan kota dan gugatan lingkungan hidup terkait kebakaran hutan yang menarik perhatian publik juga mendapat sentuhan tangan dingin mereka.Dalam beberapa perkara, kelimanya juga bergantian menjadi ketua majelis. Salah satunya adalah penjatuhan pidana seumur hidup terhadap pelaku pembunuhan berencana di Mesuji, Kayuagung.“Semua perkara tentu harus diperhatikan dengan seksama,” jelas Eva Rachmawati yang saat itu menjadi ketua majelis didampingi oleh Indah Wijayati dan Nadia Septiane. “Masih terdapat hal yang meringankan,” jelasnya sehingga tidak menjatuhkan pidana mati sebagaimana tuntutan jaksa.Luasnya wilayah serta lahan yang mayoritas perkebunan sawit, menjadikan PN Kayuagung memiliki karakteristik tersendiri.“Kami bertiga (perempuan semua) terkadang harus melakukan pemeriksaan setempat dengan lokasi yang sulit dijangkau,” ucap Yuri Alpha Fawnia.“Ada daerah yang lebih mudah dijangkau dengan perahu menyusuri sungai musi, dibanding jalan darat,” jelas Nadia Septianie menimpali.“Cukup membelajarkan buat kami,” jelas Anisa Lestari yang diaminkan rekan-rekannya.Ketika ditanya soal mutasi, kelimanya menjawab tentu pimpinan punya pertimbangan tersendiri. Dengan setengah malu-malu, lima Kartini berharap dapat lebih dekat dengan keluarga. (seg/asp).

Peringati Hari Kartini, Petugas PTSP PN Sinjai Kenakan Kebaya

article | Berita | 2025-04-21 11:50:01

Sinjai - Dalam rangka memperingati Hari Kartini yang jatuh pada 21 April, petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan Negeri (PN) Sinjai, Sulawesi Selatan (Sulsel) tampil mengenakan seragam kebaya.Penggunaan kebaya ini merupakan bentuk penghormatan terhadap perjuangan Raden Ajeng (RA) Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan peran sosial di masyarakat.Menurut pihak PN Sinjai, tradisi mengenakan busana kebaya ini juga bertujuan untuk menumbuhkan rasa bangga terhadap budaya lokal di tengah arus modernisasi serta meneladani semangat emansipasi yang diwariskan oleh Kartini.RA Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879 dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Melalui tulisan-tulisannya, termasuk yang terkenal berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menyuarakan pentingnya pendidikan dan kesetaraan bagi perempuan.Semangat Kartini dinilai tetap relevan hingga kini sebagai inspirasi bagi perempuan Indonesia untuk terus belajar, berkarya, dan berkontribusi dalam berbagai bidang kehidupan. (snr/asp)

Trio ‘Kartini Pengadilan’ Ini Hukum Penambang Emas Ilegal Selama 1 Tahun Bui

article | Sidang | 2025-04-21 09:50:28

Lebak- Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung, Lebak, Banten menjatuhkan hukuman selama 1 tahun penjara kepada Yas’a alias Ojos (46). Warga Cihara, Lebak itu terbukti menambang emas ilegal sehingga merusak lingkungan."Menyatakan Terdakwa tersebut diatas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘melakukan pengolahan, pemurnian, dan penjualan Mineral yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105’ sebagaimana dalam dakwaan tunggal,” demikian bunyi putusan PN Rangkarbitung yang dikutip DANDAPALA, Senin (21/4/2025).Putusan itu diketok oleh trio ‘Kartini Pengadilan’ yaitu ketua majelis Novita Witri dengan anggota Jumiati dan Sarai Dwi Sartika. Mereka menolak tuntutan jaksa yang menuntut terdakwa agar dituntut 10 bulan penjara saja.“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda sejumlah Rp 50 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” ucap majelis hakim.“Berdasarkan pengakuan Terdakwa bahwa ia telah melakukan pengolahan emas tersebut sejak tahun 1997 dan untuk pengolahan emas di lokasi penangkapan Terdakwa di Kampung Cijengkol, Desa Mekarsari, Kecamatan Cihara Kabupaten Lebak Provinsi Banten baru dimulai sejak bulan April 2024,” beber majelis.Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan sebanyak 4  hari dalam seminggu. Dengan jumlah mineral yang diperolehnya secara tanpa izin yaitu sebanyak 0,9 gram emas dan 8,1 gram perak setiap harinya. Dengan demikian kegiatan Pengolahan dan Pemurnian, Pemanfaatan, Pengangkutan, dan Penjualan Mineral tanpa izin tersebut telah dilakukan oleh Terdakwa secara terus menerus selama kurang lebih 27 tahun tentunya telah mengeruk begitu banyak hasil kekayaan alam Indonesia.“Lebih lanjut penggunaan bahan kimia berupa sianida (CN) secara serampangan yang digunakan oleh Terdakwa dalam proses perolehan mineral berupa emas dan perak tersebut juga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Hal mana tentunya menimbulkan kerugian bagi negara,” ungkap majelis.Di mata majelis, terdapat keadaan yang memberatkan terdakwa. Yaitu perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, tidak mendukung pemerintah dalam upaya memberantas tindak pidana di bidang pertambangan mineral dan batubara.“Perbuatan Terdakwa dilakukan secara serampangan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan yang dapat berdampak pada kerusakan lingkungan dan Perbuatan Terdakwa mengakibatkan kerugian terhadap Negara,” urai majelis dalam putusan yang diketok pada Senin (14/4) pekan lalu.Adapun keadaan yang meringankan terdakwa berterus terang mengakui seluruh perbuatannya dan menyesali serta berjanji tidak mengulangi perbuatannya kembali.“Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan terdakwa belum pernah dihukum,” kata majelis menyoal keadaan yang meringankan. (asp/asp).

Tuty Budhi Utami ’Kartini Pengadilan’, Seimbangkan Keadilan dan Kelembutan Hati

article | Berita | 2025-04-21 08:30:20

Yogyakarta- Di balik palu keadilan yang tegas dan sikap bijak seorang pemimpin pengadilan, ada sosok perempuan tangguh bernama Tuty Budhi Utami. Di hari Kartini yang tepat jatuh hari ini, DANDAPALA memilih Tuty Budhi Utami sebagai salah satu ‘Kartini Pengadilan’.Akrab disapa Bu Tuty, ia mulai menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta sejak 3 Januari 2024. Perjalanan hidup dan kariernya tak hanya menggambarkan dedikasi seorang hakim dan ketua pengadilan, tetapi juga cerminan kekuatan seorang ibu dan perempuan Indonesia.Lahir di tengah keluarga sederhana yang berprofesi sebagai polisi dan guru, Ia sebenarnya telah terikat beasiswa ikatan dinas untuk menjadi dosen tetap di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Namun, panggilan nurani membawanya pada jalan yang lain yaitu menjadi hakim. Pilihan itu bukan tanpa sebab. Beliau bercerita saat berkunjung ke PN Boyolali di masa liburan, ia menyaksikan langsung seorang hakim membentak terdakwa di ruang sidang. Momen itulah yang membekas kuat dalam benaknya.“Seharusnya hakim tidak membentak. Hakim itu harus menggali kebenaran, menyelami batin terdakwa dan korban dengan kelembutan hati, bukan menghakimi dengan kemarahan,” kata Tuty Budhi Utami.saat berbincang dengan DANDAPALA, beberapa waktu lalu.Dari situlah muncul cita-cita untuk menjadi hakim yang mampu menegakkan hukum dengan keadilan dan empati. Namun, jalan menuju cita-cita itu penuh tantangan, terutama sebagai perempuan. Salah satu pengalaman paling mengesankan baginya adalah ketika ia pertama kali dimutasi sebagai hakim pertama ke PN Sumbawa Besar. Saat itu, anak pertamanya baru berusia satu tahun. Meninggalkan buah hati demi menjalankan tugas negara bukanlah hal mudah.“Berat rasanya, tapi saya harus menjalaninya sebagai bentuk amanah dan tanggung jawab,” ujar Tuty Budhi Utami.Perjuangan tersebut juga akhirnya terjawab tuntas. Anaknya saat ini berhasil mendapatkan pekerjaan yang baik di sebuah badan auditor negara. Tanggung jawab negara tersebut tidak mengurangi sedikitpun rasa kasih dan perhatiannya kepada anak- anaknya. Baginya kodrat perempuan tak boleh dilupakan. Keluarga tetap menjadi prioritas.Di tengah tantangan sebagai perempuan dalam dunia peradilan yang sering kali dipenuhi stereotipe gender dan terbatasnya peluang, Ia tak pernah surut semangat. Ia meyakini bahwa ketekunan, keikhlasan, dan cara pandang bahwa pekerjaan adalah bentuk ibadah akan membawa hasil.Setelah itu, langkahnya terus berpindah dan karirnya terus menanjak mulai dari PN Sumbawa Besar, PN Rembang, PN Magetan, hingga PN Kepanjen kemudian jabatan struktural dari Wakil Ketua PN Martapura, Wakil Ketua PN Nganjuk, Ketua PN Boyolali, Wakil Ketua PN Klaten dan menjadi ketua disana, hingga kini memimpin PN Yogyakarta. Sentuhan sebagai seorang perempuan pula yang menjadikannya pemimpin yang peduli dan humanis.  Dalam menjalankan tugas, ia memegang prinsip keseimbangan antara tiga pilar penting dalam pengadilan yaitu loyalitas kepada kebijakan lembaga Mahkamah Agung (MA), kepedulian terhadap pelayanan kepada masyarakat, dan perhatian kepada kenyamanan pegawai pengadilan. “Tanpa ketiga pilar tersebut mustahil untuk memberikan yang terbaik” tutur Tuty Budhi Utami.Berbekal prinsip itu pulalah, PN Yogyakarta di bawah kepemimpinannya berhasil meraih berbagai penghargaan prestisius pada tahun 2024. Beberapa di antaranya adalah:Peringkat 3 penilaian keterbukaan informasi publik untuk pengadilan negeri kelas IA.Peringkat 1 pengadilan terbaik dalam keterbukaan informasi untuk kategori beban perkara 1001–2000.Peringkat 2 capaian nilai EIS (Evaluasi Implementasi Sistem) kategori PN kelas IA dengan beban perkara 1001–2000.Peringkat 5 dalam penilaian PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) PN kelas IA.Peringkat 2 dalam pelaksanaan mediasi untuk pengadilan dengan beban perkara 1001–2000.Peringkat 1 dalam Pengadilan Pelaksanaan Peradilan Elektronik untuk kategori beban perkara 1001–2000.Selain penghargaan organsisasi, Penghargaan pribadi pun tak luput dari prestasinya. Ia dinobatkan sebagai Ketua Pengadilan Negeri dengan disiplin kerja terbaik oleh PT Yogyakarta, serta meraih peringkat tiga terbaik dalam Bimbingan Teknis Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.Tak hanya dalam manajemen pengadilan, Ia juga dikenal aktif sebagai narasumber dalam berbagai forum, terutama yang membahas Restorative Justice dan perlindungan anak. Ia percaya bahwa perempuan memiliki keistimewaan empati alami yang jika digali dan dimanfaatkan dengan bijak, dapat memberikan warna bagi sistem peradilan saat ini.Di tengah kesibukannya, Ia tak pernah lupa berbagi pesan bagi perempuan Indonesia, khususnya bagi para hakim perempuan. “Berdikari dengan integritas. Jadilah mandiri. Tapi jangan lupa kodrat kita sebagai perempuan. Keluarga tetap nomor satu.”Sosoknya menjadi inspirasi bahwa menjadi hakim dan ketua pengadilan bukan sekadar tentang memutus perkara dan memimpin pengadilan, tetapi tentang juga menghadirkan rasa keadilan dengan tetap menjaga kelembutan sebagai seorang perempuan dan ibu. Baginya keadilan hadir bukan hanya lewat hukum, tapi juga lewat kelembutan dan hati nurani seorang perempuan. (NJ/asp)

Kenalkan Evi ‘Kartini Modern’ dari PN Magelang: Jadilah Seperti Bunga Teratai

article | Berita | 2025-04-19 12:10:46

Magelang- Semangat pahlawan pejuang emansipasi dan bagi perempuan Indonesia nampaknya tak lekang oleh waktu. Bahkan enantiasa menular kepada perempuan-perempuan muda Indonesia. Buktinya, hingga saat ini banyak perempuan Indonesia yang tak mau hanya diam dan berpangku tangan, mereka terus berusaha menjadi perempuan yang berdaya dan dapat terus berkarya. Evi Dwi Cintya Br. Sembiring adalah salah satu perempuan Indonesia yang hidup di masa kini dengan semangat juang Raden Ajeng (RA) Kartini. Lahir dan besar di Kabanjahe Tanah Karo Sumatera Utara, Evi mengenyam pendidikan dari SD sampai SMA di Tanah Karo serta Perguruan Tinggi di Medan Sumatera Utara (Sumut) hingga dinyatakan lulus CPNS Jabatan Pengelola Perkara pada tahun 2022 dan di tempatkan di PN Magelang, Jawa Tengah (Jateng).Tekad dan semangatnya tak pernah surut demi memperjuangkan karir yang terbaik bagi dirinya dan keluarganya. Memang benar kata pepatah bahwa usaha tidak akan menghianati hasil. Perjuangan untuk dapat berkarir  sebagai PNS di Mahkamah Agung (MA) tidak dapat dikatakan mudah bagi seorang Evi. “Sebelum mendaftar CPNS saya bekerja di salah satu BUMN sambil meneruskan studi S1 saya,” tutur Evi saat berbincang dengan DANDAPALA, Sabtu (19/4/2025). “Selain itu setiap ada pembukaan pendaftaran CPNS selalu saya coba. Saat itu saya sempat gagal pada rekrutmen CPNS tahun 2020. Tapi tahun berikutnya ketika ada pembukaan pendaftaran CPNS lagi, saya coba lagi. Kali ini mencoba MA dengan memanfaatkan peluang kuota yang diterima. Eeh ngga nyangka bisa lolos, dan sampai sekarang masih terus belajar agar bisa memberikan  pelayanan terbaik buat masyarakat pencari keadilan,” cerita Evi sembari mengenang perjuangannya meraih posisi saat ini sebagai Pengelola Perkara di PN Magelang.Menjadi seorang abdi negara harus siap ditempatkan di seluruh Indonesia. Memperoleh penempatan di tanah Jawa pada PN Magelang membuat Evi harus merantau. Hidup seorang diri di negeri orang tanpa sanak saudara, jauh dari keluarga juga bukanlah hal yang mudah untuk dilalui anak gadis nomor 2 dari 3 bersaudara ini. Meski berat, Evi tetap bertahan dengan mengingat pesan dari kedua orangtuanya untuk selalu berpengharapan kepada Tuhan dengan selalu beribadah dan mengikuti kegiatan perkumpulan suku Batak Karo agar selalu mengingat budaya yang sudah ditanam sejak kecil serta untuk selalu rendah hati. Menjadi ASN muda yang berintegritas di era digital memiliki tantangan tersendiri bagi seorang Evi. Tuntutan untuk dapat terus memberikan pelayanan publik yang berkualitas, efektif, transparan dan tepat waktu bagi para pencari keadilan menjadi kewajiban bagi setiap ASN di lingkungan badan peradilan Mahkamah Agung. Untuk itu Evi terus menjaga integritasnya, berusaha memberikan pelayanan setulus hati serta bekerja lebih professional dengan terus mengamalkan visi misi PN Magelang ‘Bermartabat’ dan Visi Misi Mahkamah Agung. “Walau terkadang agak kesulitan memahami bahasa dan budaya yang berbeda pada saat memberikan layanan, karena ada masyarakat pencari keadilan yang menggunakan Bahasa Jawa halus. Tapi lama-lama saya malah bisa belajar bahasa Jawa dan menambah wawasan saya mengenai budaya Jawa,” ungkap Evi dengan senang.Karya dan prestasi yang Evi raih di satuan kerjanya, PN Magelang tidak terbatas hanya pada rutinitas jabatannya sebagai pengelola perkara dan pelayan publik. Namun Evi juga berkarya dan aktif dalam kegiatan organisasi perempuan MA, yaitu Dharmayukti Karini. Dan juga menjadi agen perubahan PN Magelang dalam dua tahun berturut-turut yang selalu berinovasi untuk peningkatan kualitas pelayanan. Evi mempunyai motto hidup:“Jadilah seperti bunga teratai, meskipun berada di tempat yang keruh tetap tumbuh mengagumkan” Pesan dari Evi untuk seluruh perempuan Indonesia yang mengabdikan diri di lingkungan MA yaitu teruslah berkarya, jadilah perempuan yang berdaya, teruskan semangat juang RA Kartini dan jadilah sosok Kartini-Kartini modern apapun profesi dan apapun karya yang dihasilkan. “Jadikan moment peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April menjadi lecutan semangat berjuang menjadi versi terbaik masing-masing bagi para perempuan di Indonesia,” tegas Evi. (aa oka pbg/asp)