Cari Berita

Sidang Hasto Dengarkan Saksi dari Kubu Terdakwa, Hadirkan Eks Hakim MK

article | Sidang | 2025-06-19 15:30:03

Jakarta- Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar sidang dengan terdakwa Hasto Kristiyanto. Kali ini menghadirkan saksi ahli dari kubu terdakwa yaitu mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan.Sidang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB. Salah satu hakim anggota, Sunoto mencoba menggali konstitusionalitas perbuatan terkait isu materi yang didakwakan.“Berdasarkan UUD 1945 dan sistem hukum Indonesia, apakah setiap warga negara memiliki hak untuk melindungi diri ketika menghadapi penyidikan? Dalam kasus ini, terdakwa dituduh menghalangi penyidikan KPK dengan cara menyuruh orang merendam telepon genggam. Menurut Bapak, apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai 'menghalangi penyidikan' yang melawan hukum, ataukah merupakan hak seseorang untuk melindungi dirinya sendiri yang dijamin oleh konstitusi?" tanya hakim anggota Sunoto dalam sidang di PN Jakpus, Jalan Bungur Raya, Jakpus, Kamis (19/6/2025).Hakim anggota Sunoto juga meminta penjelasan perbuatan koordinasi seorang Sekjen Partai dengan KPU, apakah sebagai tindakan konstitusional atau bisa disebut intervensi. "Apakah tindakan mengajukan permohonan kepada KPU berdasarkan putusan Mahkamah Agung, melakukan pertemuan dengan anggota KPU untuk memohon pertimbangan, dan upaya persuasif agar KPU melaksanakan fatwa MA merupakan mekanisme konstitusional yang proper dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, ataukah dapat dikategorikan sebagai intervensi yang melawan hukum?"Selain itu, sidang itu juga diwarnai teguran ketua majelis Rios Rahmanto ke awak media."Saudara media... dari tujuh yang stand by, siapa yang melakukan live streaming? Bukankah kemarin sudah dijelaskan, silakan saudara melakukan pemberitaan dengan ambil gambar/video tapi tidak boleh live streaming. Ini sebagai peringatan terakhir ya," tegas Hakim Rios setelah menerima informasi dari Jaksa Penuntut Umum bahwa salah satu media melanggar aturan.Teguran ketua majelis tersebut bukan tanpa landasan. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, Pasal 4 ayat (6) dengan tegas menyatakan: "Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan."Lebih lanjut, Pasal 15 ayat (2) memberikan kewenangan kepada "Pimpinan Pengadilan/Ketua Majelis/Hakim melakukan peneguran/tindakan untuk menertibkan hal yang menyimpang" dari ketentuan yang berlaku.Aturan serupa juga tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2012 (SEMA 4/2012) tentang Perekaman Proses Persidangan yang menegaskan bahwa perekaman oleh pihak selain pengadilan harus mendapatkan izin dari Ketua Majelis Hakim, dan tidak boleh mengganggu jalannya persidangan.Insiden ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang tepat mengenai asas "persidangan terbuka untuk umum" dalam konteks era digital. Sebagaimana dijelaskan dalam literatur hukum terkini, pembatasan penyiaran persidangan secara live bukanlah pembatasan terhadap publik untuk mendapatkan akses ke persidangan, tetapi lebih untuk menjaga marwah dan kelancaran persidangan itu sendiri."Keterbukaan lebih merujuk pada aksesibilitas masyarakat untuk menghadiri persidangan secara fisik atau mendapatkan informasi mengenai proses persidangan, tanpa harus melalui tayangan live streaming," demikian penjelasan yang kerap dikemukakan para ahli hukum acara.Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers dalam berbagai kesempatan telah menegaskan bahwa keputusan apakah suatu persidangan dapat diliput secara langsung "sepenuhnya berada pada kewenangan hakim pengadilan atau instansi yang menyelenggarakan persidangan tersebut."Hal ini sejalan dengan SEMA 4/2012 yang memberikan kewenangan kepada Ketua Majelis Hakim untuk membatasi kegiatan perekaman jika dinilai mengganggu persidangan. (asp/asp)

7 Jam Debat Sengit Ahli Vs Pengacara Hasto Soal Pasal 21 UU Tipikor 

article | Sidang | 2025-06-05 16:50:29

Jakarta- Persidangan perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Hasto Kristiyanto diwarnai debat sengit antara ahli hukum dengan penasihat hukum terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Rios Rahmanto didampingi Hakim Anggota Sunoto dan Sigit Herman Binaji menggelar agenda pemeriksaan ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM).Sidang pemeriksaan ahli dalam kasus dugaan menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi ini berlangsung alot dan hampir 7 jam, dengan majelis hakim beberapa kali harus menenangkan suasana agar tetap kondusif.Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M. dari Universitas Gadjah Mada, tampil sebagai satu-satunya ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK untuk memberikan keterangan ahli terkait interpretasi hukum dalam dakwaan terhadap Hasto Kristiyanto. Namun, pemeriksaan ahli tersebut berubah menjadi arena debat akademis yang menarik ketika salah satu penasihat hukum terdakwa, Febridiansyah, mantan Juru Bicara KPK, mempertanyakan penafsiran pasal yang didakwakan kepada kliennya.Perdebatan utama berpusat pada interpretasi Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang berbunyi:"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)."Debat dimulai ketika Febridiansyah mempertanyakan sifat Pasal 21 UU Tipikor. "Apakah Pasal 21 UU Tipikor ini merupakan delik formil atau delik materiel?" tanya Febridiansyah kepada ahli dalam sidang di PN Jakpus, Jalan Bungur Raya, Kamis (5/6/2025).Dr. Fatahillah Akbar dengan tegas menjawab, "Pasal 21 UU Tipikor adalah delik formil, yang berarti tindak pidana dianggap telah selesai ketika perbuatan yang dilarang telah dilakukan, tanpa harus ada akibat tertentu yang timbul.""Dalam konteks obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Pasal 21, yang dilihat adalah perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan proses penyidikan, bukan akibat dari perbuatan tersebut," lanjut ahli hukum tersebut di hadapan majelis hakim.Perdebatan kemudian berlanjut pada interpretasi unsur-unsur dalam pasal tersebut, terutama terkait frasa "penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan". Febridiansyah kembali mempertanyakan, "Apakah unsur 'mencegah, merintangi, atau menggagalkan' dalam pasal tersebut bersifat alternatif atau kumulatif?"Dr. Fatahillah menjelaskan, "Meskipun ada kata 'dan' yang secara gramatikal bermakna kumulatif, dalam praktik penegakan hukum dan yurisprudensi, frasa tersebut dimaknai sebagai alternatif. Artinya, tindakan menghalangi salah satu saja dari ketiga tahapan tersebut sudah memenuhi unsur pasal.""Jadi tidak perlu membuktikan ketiga unsur sekaligus?" tanya Febridiansyah lebih lanjut."Benar. Dalam yurisprudensi yang berkembang, jaksa cukup membuktikan salah satu dari ketiga unsur tersebut," jawab Dr. Fatahillah.Serangan Balik Penasihat HukumFebridiansyah, yang memiliki latar belakang sebagai mantan Jubir KPK, kemudian melancarkan serangan balik yang tajam. "Pasal ini ambigu. Jika memang maksudnya alternatif, seharusnya menggunakan kata 'atau', bukan 'dan'. Ini membingungkan dan dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda," bantah Febridiansyah dengan nada tegas."Dalam hukum pidana, ketidakjelasan norma harus menguntungkan terdakwa. Bagaimana mungkin terdakwa bisa memahami apa yang dilarang jika norma hukumnya saja tidak jelas?" tambahnya sambil menekankan prinsip asas legalitas."Bukankah hal ini menunjukkan bahwa pasal tersebut ambigu dan merugikan terdakwa dalam hal kepastian hukum?" lanjut Febridiansyah.Pembelaan Akademis AhliMenanggapi bantahan keras tersebut, Dr. Fatahillah tetap mempertahankan pendapatnya dengan argumentasi akademis yang kuat. "Interpretasi hukum tidak hanya berdasarkan teks gramatikal, tetapi juga mempertimbangkan tujuan pembentukan undang-undang dan praktik penerapannya.""Tujuan Pasal 21 adalah memberikan perlindungan terhadap setiap tahapan proses hukum. Jika ditafsirkan kumulatif, akan sangat sulit diterapkan karena jarang ada tindakan yang menghalangi ketiga tahapan sekaligus," jelasnya."Yang perlu dipahami adalah bahwa kata 'dan' dalam konteks 'penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan' merujuk pada tahapan-tahapan proses peradilan pidana, bukan sebagai unsur yang harus dipenuhi secara kumulatif," tambah Dr. Fatahillah.Penerapan dalam Kasus HastoKetika ditanya tentang penerapan pasal ini dalam kasus Hasto Kristiyanto, Dr. Fatahillah menjelaskan, "Dalam konteks dakwaan terhadap terdakwa, jaksa mendakwa adanya perbuatan mencegah dan merintangi penyidikan. Berdasarkan teori delik formil, yang perlu dibuktikan adalah perbuatan itu sendiri, yaitu apakah benar terdakwa memerintahkan perendaman telepon genggam dan melarikan diri untuk menghindari penyidikan."Hasto Kristiyanto didakwa melanggar Pasal 21 UU Tipikor karena diduga memerintahkan Harun Masiku melalui Nurhasan untuk merendam telepon genggam milik Harun Masiku ke dalam air setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan, serta memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh Penyidik KPK.Suasana Persidangan yang MemanasSidang yang berlangsung hampir 7 jam ini sempat beberapa kali diwarnai interupsi dari kubu pengacara terdakwa. Majelis hakim beberapa kali harus menenangkan suasana sidang agar tetap kondusif, terutama ketika perdebatan antara Dr. Fatahillah dan Febridiansyah mencapai puncaknya."Setiap pasal hukum memang dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda. Namun dalam praktik peradilan, hakim akan menafsirkan berdasarkan yurisprudensi dan prinsip-prinsip hukum pidana yang berlaku," tutup Dr. Fatahillah di akhir keterangannya.Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan ahli-ahli dari KPK.  (asp/asp)