Cari Berita

Perlindungan Korban Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga Atas Viktimisasi Berganda

Bintoro Wisnu Prasojo – Hakim PN Serui - Dandapala Contributor 2025-08-22 08:00:47
dok. ist.

Kekerasan seksual dalam rumah tangga masih menjadi masalah serius dalam sistem hukum dan sosial di Indonesia. Dalam banyak kasus, korban tidak hanya mengalami penderitaan fisik dan psikis, tetapi juga menghadapi situasi berulang yang memperparah kondisi mereka.

Sebuah fenomena yang dikenal sebagai viktimisasi berganda. Fenomena ini mengacu pada korban yang mengalami kekerasan secara berulang dalam konteks rumah tangga, dengan pelaku yang seringkali adalah orang terdekat suami, ayah, atau kerabat.

Kekerasan seksual yang terjadi di dalam rumah tangga seringkali disertai dengan berbagai bentuk kekerasan lain, seperti kekerasan fisik dan psikologis, sehingga menimbulkan fenomena viktimisasi berganda—suatu kondisi di mana korban mengalami tekanan dan penderitaan yang berlapis dari berbagai sisi.

Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia

Ironisnya, perlindungan hukum yang seharusnya menjamin rasa aman dan keadilan bagi korban justru kerap tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak dari mereka justru mengalami reviktimisasi oleh sistem hukum, masyarakat, bahkan keluarga mereka sendiri. Padahal, negara memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk melindungi warganya dari segala bentuk kekerasan.

Menurut Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2024 , ditemukan fakta sebagai berikut:

  • Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) menunjukkan, pada 2024 ada 31.947 kasus pengaduan. Sebagian besar kasus kekerasan tersebut (27.658 kasus) dialami oleh perempuan. Pengaduan kasus kekerasan ini banyak dialami oleh perempuan yang berusia 13-17 tahun (33 persen) dan usia 25-44 tahun (25,7 persen). Dari latar belakang pendidikan, laporan kekerasan ini banyak diadukan oleh perempuan dengan tingkat pendidikan SLTA ke bawah. Adapun menurut tempat kejadian, kekerasan ini banyak dilaporkan terjadi dalam lingkup rumah tangga (60,6 persen), tempat umum (10,1 persen), dan tempat pendidikan (6,3 persen).
  • Ragam kekerasan terhadap perempuan ini juga tertangkap dari laporan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan.  Komnas Perempuan mencatat, pada 2023, total pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 4.374 kasus. Berbagai bentuk kekerasan pada perempuan masih didominasi pada kekerasan seksual sebanyak 2.363 kasus atau 34,8 persen dari total kasus. Lainnya, kekerasan psikis (28,5 persen), kekerasan fisik (27,2 persen), dan kekerasan ekonomi (9,5 persen). Di ranah personal, kekerasan terhadap istri tercatat 674 kasus.
  • Korban kekerasan seksual dalam rumah tangga yang melapor ke polisi hanya sekitar 15%, sebagian besar disebabkan oleh ketakutan akan diskriminasi dan viktimisasi.
  • Dari pelapor, sekitar 40% mengalami perlakuan yang kurang empati dan lambat dalam proses peradilan.

Konsep viktimisasi berganda menyoroti kondisi korban yang terus-menerus menjadi objek kekerasan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual, dalam jangka waktu yang panjang. Tidak jarang, kekerasan tersebut dimulai sejak usia dini dan berlanjut hingga bertahun-tahun. Kondisi ini diperparah oleh sikap pasif lingkungan sekitar yang memilih bungkam, dengan alasan bahwa persoalan rumah tangga adalah urusan privat.

Viktimisasi berganda terjadi ketika korban tidak hanya mengalami kekerasan primer tetapi juga tindakan yang memperburuk keadaan mereka oleh lingkungan sosial dan institusi. Contohnya:

  • Stigma sosial dan diskriminasi: Korban dianggap aib keluarga, menanggung malu, atau bahkan disalahkan atas kekerasan.
  • Pengabaian dan pelecehan dari keluarga: Dalam beberapa kasus, keluarga pelaku menekan korban untuk tidak melapor supaya nama baik keluarga tetap terjaga.
  • Respon aparat hukum yang kurang sensitif: Penyidik dan petugas sering menunjukkan kurangnya empati, bahkan mempertanyakan integritas korban.
  • Trauma berlapis: Korban mengalami trauma akibat kekerasan dan pengabaian/post-kekerasan yang memperburuk kondisi mental dan fisik.

Secara normatif, Indonesia telah memiliki beberapa instrumen hukum yang menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Kedua peraturan ini secara eksplisit menyebut hak-hak korban, mulai dari perlindungan fisik, bantuan hukum, hingga pendampingan psikologis.

Namun, dalam praktiknya, perlindungan tersebut sering kali tidak dapat diakses oleh korban. Hambatan struktural seperti kurangnya sosialisasi, terbatasnya layanan pendampingan di daerah, serta rendahnya sensitivitas aparat penegak hukum menjadi penyebab utama lemahnya implementasi. Belum lagi faktor budaya yang menyalahkan korban dan menormalisasi kekerasan dalam relasi personal.

Dalam ilmu hukum, viktimologi adalah studi yang berfokus pada korban kejahatan, termasuk hak-haknya dan peranannya dalam sistem peradilan pidana. Viktimologi menyoroti pentingnya mengubah pendekatan sistem hukum yang selama ini lebih offender-oriented menjadi victim-oriented. Artinya, sistem tidak hanya fokus pada hak dan proses hukum terhadap pelaku, tetapi juga memperhatikan keadilan dan pemulihan bagi korban.

Asas-asas hukum seperti keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum seharusnya tidak hanya diterapkan pada pelaku kejahatan, tetapi juga pada korban. Dalam konteks viktimisasi berganda, asas keadilan bahkan harus diberi porsi lebih besar mengingat kompleksitas penderitaan yang dialami korban, termasuk trauma jangka panjang yang memerlukan pemulihan menyeluruh.

Perbandingan dengan Thailand dan Filipina memperlihatkan bahwa persoalan kekerasan seksual dalam rumah tangga serta viktimisasi berganda bukan hanya masalah di Indonesia. Kedua negara tersebut juga menghadapi tantangan serupa: lemahnya implementasi hukum, budaya patriarki yang kuat, dan minimnya pendampingan terhadap korban.

Namun demikian, beberapa kebijakan progresif di negara-negara tersebut seperti penyediaan shelter berbasis komunitas, pelatihan aparat dalam perspektif gender, serta integrasi sistem perlindungan korban ke dalam sistem peradilan dapat menjadi inspirasi untuk reformasi kebijakan di Indonesia.

Baca Juga: Hipnoterapi sebagai Model Pembinaan Bagi Anak Pelaku Kekerasan Seksual

Untuk menciptakan sistem hukum yang adil dan berpihak pada korban, perlu dilakukan sejumlah langkah strategis:

  • Revisi regulasi agar lebih sensitif terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang kompleks, termasuk kekerasan berulang dan kekerasan dalam bentuk pasif (pengabaian).
  • Pelatihan aparat hukum dan petugas layanan terkait perspektif gender dan viktimologi agar dapat menangani korban dengan empati dan kompetensi.
  • Peningkatan akses layanan korban, baik dalam bentuk bantuan hukum, konseling psikologis, maupun tempat perlindungan yang aman.
  • Sosialisasi hukum ke masyarakat, guna mengikis anggapan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan privat yang tidak boleh diintervensi.
  • Penerapan sanksi terhadap pihak yang membiarkan atau menutup-nutupi kekerasan, termasuk anggota keluarga yang pasif atau aparat yang lalai.

Perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Terlebih ketika korban mengalami viktimisasi berganda, ketidakhadiran negara dalam bentuk perlindungan konkret tidak hanya menciptakan ketidakadilan hukum, tetapi juga memperpanjang penderitaan korban secara sosial dan psikologis.

Sudah saatnya sistem hukum Indonesia menempatkan korban sebagai subjek utama perlindungan. Bukan hanya karena itu adalah amanat undang-undang, tetapi karena keadilan sejati hanya bisa tercapai ketika suara korban benar-benar didengar dan penderitaan mereka sungguh-sungguh dipulihkan. (zm, ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI