Bicaralah kebohongan secara terus menerus, maka kebohongan itu akan menjadi kebenaran. Sebuah penggalan kalimat yang tentu sudah sangat sering kita dengar. Dalam bahasa yang lebih ilmiah hal diatas disebut sebagai Illusory Truth Effect, yaitu kecenderungan seseorang untuk mempercayai informasi yang sering diulang meskipun informasi tersebut salah. Teori Illusory Truth Effect ditulis dalam jurnal yang berjudul Frequency And The Conference Of Referential Validity terbitan tahun 1977 yang diteliti oleh Lynn Hasher, David Goldstein, dan Thomas Toppino. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa kecenderungan seseorang untuk mempercayai informasi yang salah sebagai benar setelah paparan berulang.
Illusory Truth Effect menjadi tantangan signifikan di era informatika seperti sekarang ini. Jika dikaitkan dalam konteks penegakan hukum, efek ini dapat berakibat terpengaruhinya opini publik terhadap suatu perkara yang sedang berjalan, legitimasi putusan hakim, atau bahkan kredibilitas institusi hukum. Informasi yang salah atau bias, jika terus-menerus disebarkan melalui media, dapat menciptakan persepsi yang keliru di masyarakat tentang suatu peristiwa hukum yang terjadi namun dianggap sebagai suatu kebenaran dalam masyarakat.
Berhati- Hati dalam Menyebarkan Informasi
Baca Juga: Paralax Dalam Hukum: Sumbangsih Pemikiran Lacan, Baudrillard, Zimbardo, dan Becker Untuk para Jurist
Penyebab utama Illusory Truth Effect adalah dari tindakan aparatur penegak hukum tersebut sendiri terhadap pengelolaan informasi kepada masyarakat. Konferensi pers yang sering kali menyampaikan informasi dengan detail kejadian yang terjadi, motif pelaku, siapa saja yang terlibat atau bahkan sudah melakukan klaim sepihak terhadap besarnya kerugian Negara. Seluruh penegak hukum harusnya memahami hal-hal tersebut hanya dapat dipastikan kebenarannya melalui proses persidangan yang transparan dan imparsial.
Selain penyebab utama di atas, kurangnya respon cepat dari aparat penegak hukum untuk menangkis pemberitaan yang keliru dapat menjadi penyebabnya. Dalam era informatika seperti sekarang ini, dalam hitungan detik seluruh informasi dapat menyebar dengan cepat sehingga perlu adanya tindakan yang responsif untuk mengatasi hal tersebut. Disisi lain media juga sering kali menggunakan narasi yang menarik perhatian untuk meningkatkan jumlah pembaca atau penonton dengan judul yang clickbait atau substansi berita yang didramatisir. Masyarakat dalam hal ini tentunya harus meningkatkan literasi hukum untuk menghindari dampak dari Illusory Truth Effect.
Tekanan untuk Aparat Penegak Hukum
Illusory Truth Effect juga dapat menimbulkan tekanan pada aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Jika penegak hukum tidak dapat menjawab harapan masyarakat tersebut maka citra buruk dan narasi negatif akan dicap kepada lembaga tersebut. Padahal harapan tersebut dapat jadi bersumber dari informasi yang salah namun karena disampaikan berulang akan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat.
Semisal dalam praktik, tindakan penuntut umum yang melakukan konferensi pers menjelaskan tentang informasi detail substantif dalam perkara, padahal informasi harus diuji terlebih dahulu kebenarannya melalui sebuah proses persidangan. Namun, informasi tersebut kemudian disampaikan berulang-ulang dan pada akhirnya membentuk sebuah opini dan harapan di masyarakat. Dalam proses persidangan ternyata terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sehingga terdakwa dinyatakan bebas. Harapan masyarakat yang bersumber pada konferensi pers tersebut akan menjadi sirna dan tentunya hal ini kemudian dapat mencoreng kinerja lembaga tersebut yang gagal membuktikan klaimnya sendiri dalam konferensi pers.
Tindakan dengan sengaja menciptakan fenomena Illusory Truth Effect dalam penegakan hukum bukanlah hal yang arif dan bijaksana. Seluruh pihak harusnya menahan diri dan menghormati proses penegakan hukum yang berlaku. Konferensi pers bukanlah ajang untuk membentuk opini sehingga dapat mendongkrak popularitas semu suatu lembaga. Bahkan, jika dikaji lebih jauh lagi, dapat mencederai semangat supremasi hukum dalam Negara.
Pengadilan Sebagai Otoritas Tunggal Penafsir Kebenaran
Pengadilan berperan sebagai institusi negara yang memiliki wewenang untuk menafsirkan dan memutuskan kebenaran berdasarkan hukum yang berlaku. Kewenangan tersebut didasarkan pada prinsip negara hukum, bahwa segala perselisihan ataupun perkara harus diselesaikan melalui mekanisme hukum sesuai pasal 1 ayat 3 UUD 1945.
Dalam hal memutuskan suatu perkara di pengadilan, para pihak di proses persidangan menghadirkan alat bukti masing- masing. Alat bukti tersebut kemudian diuji dan dilakukan konstatir oleh hakim yang kemudian dituangkan menjadi fakta hukum dalam putusan. Fakta hukum inilah yang harus diyakini sebagai kebenaran menurut hukum positif yang berlaku karena melalui proses yang transparan, imparsial dan sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Penemuan Hukum terdapat asas res judicata pro veritate habetur yang berarti putusan hakim harus dianggap benar. Hal ini kemudian memberi penegasan terhadap legitimasi putusan hakim dalam sebuah peristiwa terkait sengketa kebenaran dalam sistem hukum Indonesia.
Demi Tercapainya Tujuan Hukum
Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum menyatakan bahwa ada 3 (tiga) tujuan hukum yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam konteks pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran juga dimaksudkan demi tercapainya kepastian hukum di tengah masyarakat. Tanpa kepastian hukum maka sistem hukum akan menjadi kacau, dapat jadi semua pihak akan mengklaim kebenaran mereka sendiri. Semua pihak merasa berhak untuk melakukan segala hal atas kebenaran yang mereka klaim sendiri. Jika hal tersebut sudah terjadi, banyak konflik yang akan terjadi di tengah masyarakat. Tanpa kepastian hukum maka dapat jadi Negara dalam keadaan bahaya.
Dalam kaitannya dengan kemanfaatan hukum, pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran bertujuan agar adanya kesatuan pemahaman hukum sehingga proses hukum dapt segera diselesaikan secara efektif dan tidak berlarut- larut, sehingga bermanfaat bagi proses rekonsiliasi secepatnya di masyarakat dan dapat memberikan solusi yang dapat diimplementasikan oleh para pihak dan mencegah terjadinya perselisihan serupa di masa depan.
Dalam kaitannya dengan keadilan maka pengadilan sebagai otoritas tunggal penafsir kebenaran bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan. Hal tersebut dikarenakan proses persidangan mengedepankan prinsip- prinsip ideal dalam hukum yaitu prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial), prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence), prinsip mendengar kedua belah pihak (audi et alteram partem), prinsip transparansi dan prinsip independensi.
Semangat Penegakan Hukum yang Integratif sebagai Solusi
Semangat penegakan hukum yang integratif menjadi pendekatan strategis untuk menghadapi tantangan Illusory Truth Effect. Penegakan hukum yang integratif melibatkan sinergitas antara berbagai elemen dalam sistem hukum, yaitu KPK, Kepolisian, Kejaksaan dan juga Pengadilan.
Dengan semangat integrasi, tiap lembaga penegakan hukum memahami bahwa ada batas- batas kewenangan yang dimiliki dalam penyampaian informasi. Penyampaian informasi dalam konferensi pers juga tentunya dibatasi pada hal yang sifatnya formal prosedural bukan pada informasi substansi yang secara hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan.
Baca Juga: Kasus Google Didenda Rp 202 Miliar Bergulir ke PN Jakpus
Pemahaman terhadap batas kewenangan masing-masing antar lembaga penegak hukum, transparansi proses hukum, serta edukasi publik yang baik menjadi pilar penting untuk memastikan bahwa masyarakat memahami dan menghormati prinsip hukum yang berlaku, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh Illusory Truth Effect. Dengan demikian, keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan secara objektif untuk menghalau Illusory Truth Effect di tengah kompleksitas era digital (FAC, AAR, Yunus)
*Hakim PN Kefamenanu
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum