Cari Berita

Apa yang Tidak Tertulis dalam Putusan? Refleksi atas Dimensi Tersembunyi Peradilan

Muamar Azmar Mahmud Farig-Hakim PN Kotabumi - Dandapala Contributor 2025-06-27 11:30:56
Dok. Penulis. Muamar Azmar Mahmud Farig-Hakim PN Kotabumi

Sebuah Analisis tentang Ruang-Ruang Sunyi dalam Proses Peradilan Tingkat Pertama...

Dalam setiap putusan pengadilan, terdapat lapisan-lapisan makna yang tidak pernah terbaca dalam putusan resmi. Seperti gunung es yang sebagian besar massanya tersembunyi di bawah permukaan. Putusan hukum, khususnya di tingkat peradilan pertama, menyimpan dimensi-dimensi kompleks yang membentuk substansi keadilan namun tidak pernah diartikulasikan secara eksplisit. Fenomena ini bukan sekadar kekosongan tekstual, melainkan ruang dialogis di mana transformasi institusi peradilan berlangsung dalam interaksi dinamis antara hakim dan masyarakat.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Dimensi Hermeneutis: Ruang Interpretasi yang Tak Terekam

Setiap hakim, dalam momen memutus perkara, melakukan tindakan interpretasi yang melampaui sekadar penerapan pasal undang-undang. Di sinilah letak paradoks fundamental peradilan: keputusan yang tampak objektif sesungguhnya lahir dari proses hermeneutis yang sangat subjektif (Martin Heidegger, 1962). Hans-Georg Gadamer pernah mengingatkan bahwa setiap pemahaman adalah perpaduan antara horizon teks dan horizon pembaca.  Dalam konteks ini, horizon hukum dan horizon pengalaman hakim (Hans-Georg Gadamer, 2004).

Dalam putusan pidana, misalnya, ketika hakim mempertimbangkan faktor "penyesalan terdakwa" atau "dampak sosial perbuatan," sesungguhnya ia sedang mengoperasikan seperangkat nilai moral yang tidak pernah terdefinisi secara rigid dalam undang-undang. Begitu pula dalam perkara perdata, ketika menilai "iktikad baik" atau "kelayakan ganti rugi," hakim tidak semata-mata menghitung secara matematis, tetapi melakukan penilaian yang melibatkan intuisi keadilan yang dibentuk oleh pengalaman sosial dan intelektual yang tidak tertulis (Ronald Dworkin, 1986).

Ruang interpretasi ini mencerminkan sifat responsif hukum dalam menghadapi kompleksitas realitas sosial. Philippe Nonet dan Philip Selznick menggambarkan bagaimana hukum yang responsif tidak terpaku pada legalisme sempit, tetapi membuka diri terhadap aspirasi keadilan yang berkembang (Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978). Namun, proses ini justru menjadi tak terlihat karena tradisi positivistik yang mengharuskan putusan tampak "objektif" dan "netral."

Konteks Sosiologis: Dialog Tak Terucap dengan Masyarakat

Setiap putusan adalah produk dari dialog implisit antara hakim dan masyarakat, meski dialog ini tidak pernah tercatat dalam berita acara persidangan. Hakim, meski duduk di atas kursi yang ditinggikan secara simbolis, tidak dapat melepaskan diri dari konteks sosial yang membentuk persepsinya tentang keadilan (Pierre Bourdieu, 1987). Dalam setiap putusannya, terdapat antisipasi terhadap reaksi publik, pertimbangan atas dampak sosial, dan upaya untuk memelihara legitimasi institusi peradilan.

Fenomena ini sangat terasa dalam perkara-perkara yang memiliki dimensi publik. Ketika menangani kasus korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, atau sengketa tanah, hakim tidak hanya berhadapan dengan fakta-fakta hukum, tetapi juga dengan ekspektasi masyarakat yang sering bersifat kontradiktif. Masyarakat menginginkan kepastian hukum sekaligus keadilan substantif, penegakan aturan yang tegas namun juga pertimbangan kontekstual yang humanis (Satjipto Rahardjo, 2006)

Dalam konteks transformasi institusi peradilan, dialog tak terucap ini sesungguhnya merupakan mekanisme pembelajaran adaptif. Ketika masyarakat merespons putusan, baik melalui media sosial, diskusi publik, atau reaksi kelembagaan, hakim dan institusi peradilan secara kolektif menerima feedback yang membentuk pola-pola putusan di masa mendatang. Proses ini mirip dengan apa yang Francis Fukuyama sebut sebagai "political decay and renewal," di mana institusi mengalami tekanan adaptasi untuk mempertahankan legitimasinya (Francis Fukuyama, 2014).

Implikasi Filosofis: Konsepsi Keadilan yang Tersirat

Setiap putusan mengandung konsepsi filosofis tentang keadilan yang tidak pernah dideklarasikan secara eksplisit. Pilihan untuk memberikan hukuman minimal atau maksimal, keputusan untuk mengutamakan kepastian hukum atau keadilan substantif, pertimbangan untuk melindungi korban atau memberikan kesempatan kedua kepada pelaku—semua ini mencerminkan pandangan filosofis yang beroperasi di bawah kesadaran (Martha C. Nussbaum, 1995).

Dalam tradisi hukum modern, kita sering mengasumsikan bahwa keadilan adalah konsep yang sudah settled, padahal setiap era menghadapi ketegangan-ketegangan baru dalam mendefinisikan keadilan. John Rawls dengan "teori keadilan" dan Amartya Sen dengan "the idea of justice" menunjukkan bahwa konsepsi keadilan selalu dalam proses becoming, bukan being (Amartya Sen,2009). Putusan-putusan di tingkat pertama, dengan demikian, adalah laboratorium di mana berbagai konsepsi keadilan diujicobakan dalam konteks kasus-kasus konkret.

Yang menarik adalah bagaimana implikasi filosofis ini beroperasi secara kolektif dalam membentuk "jurisprudence" informal. Meski Indonesia menganut sistem civil law, praktik peradilan menunjukkan bahwa putusan-putusan terdahulu memberikan petunjuk moral bagi putusan-putusan berikutnya. Ini menciptakan semacam "common sense of justice" yang dibentuk melalui akumulasi putusan-putusan individual.

Refleksi Penutup: Menuju Peradilan yang Reflektif

Mengakui dimensi-dimensi yang tidak tertulis dalam putusan bukan berarti meragukan objektivitas hukum, melainkan mengembangkan kesadaran reflektif tentang kompleksitas proses peradilan. Seperti yang diingatkan oleh Jürgen Habermas, legitimasi institusi modern tidak terletak pada klaim objektivitas absolut, tetapi pada transparansi proses dan kemampuan untuk mempertanggungjawabkan keputusan-keputusan yang diambil (Jürgen Habermas, 1996).

Transformasi institusi peradilan di era kontemporer memerlukan pengakuan terhadap dimensi hermeneutis, sosiologis, dan filosofis yang inheren dalam setiap putusan. Ini tidak berarti membuat setiap pertimbangan menjadi eksplisit, karena hal itu akan membuat putusan menjadi tidak praktis, tetapi mengembangkan kultur reflektif di kalangan hakim dan aparatur peradilan.

Relasi kolaboratif antara hakim dan masyarakat dalam proses transformasi ini memerlukan mekanisme-mekanisme baru: forum-forum dialog, program pendidikan hukum publik, dan sistem feedback yang lebih sistematis. Seperti yang diamati oleh Francis Fukuyama dalam analisisnya tentang quality of governance, institusi yang adaptif adalah institusi yang mampu belajar dari lingkungannya tanpa kehilangan integritas normatifnya (Francis Fukuyama, 2013).

Pada akhirnya, yang tidak tertulis dalam putusan adalah apa yang membuat keadilan tetap hidup, kemampuan hukum untuk merespons kompleksitas kehidupan manusia sambil mempertahankan konsistensi prinsip. Dalam ruang-ruang sunyi itulah, keadilan tidak hanya ditegakkan, tetapi juga terus-menerus didefinisikan ulang. (LDR)

Daftar Bacaan

Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 2009)

Francis Fukuyama, "What Is Governance?" Governance 26, no. 3 (2013)

Francis Fukuyama, Political Order and Political Decay (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2014)

Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (London: Continuum, 2004)

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)

John Rawls, A Theory of Justice, revised ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1999)

Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996)

Martha C. Nussbaum, Poetic Justice: The Literary Imagination and Public Life (Boston: Beacon Press, 1995)

Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962)

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (New York: Harper & Row, 1978)

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Pierre Bourdieu, "The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field," Hastings Law Journal 38, no. 5 (1987)

Ronald Dworkin, Law's Empire (Cambridge: Harvard University Press, 1986).

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI