Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyetujui 10 calon hakim agung dan hakim ad hoc mahkamah agung untuk ditetapkan menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) dalam rapat pleno komisi III DPR-RI pada Selasa (16/09/2025).
Bukan nama baru, kesepuluh calon yang terpilih tersebut kiprahnya sudah lama malang melintang di dunia peradilan. mulai dari Panitera dan Panitera Muda Perdata Mahkamah Agung (MA) RI, Hakim Tinggi Badan Pengawasan MA RI yang berasal dari praktisi, sampai ke Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang yang berasal dari akademisi. Supaya lebih kenal dengan kesepuluh Calon Hakim Agung (CHA) yang telah ditetapkan oleh DPR, yuk kita simak profilnya berikut ini:
1. Heru Pramono
Baca Juga: Bikin Merinding! PN Purwokerto Lepas Calon Hakimnya dengan Siraman
Heru Pramono, pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Tahun 1985. Heru, kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mendalami bidang Magister Hukum Bisnis di Universitas Islam Indonesia dan pada tahun 2022, dirinya resmi menyandang gelar Doktor dari Universitas Islam Indonesia.
31 Januari 2024, Heru secara resmi menjabat sebagai Panitera MA RI.
Berbagai inovasi telah dilakukannya selama menduduki jabatan tersebut
diantaranya menerapkan penerimaan perkara kasasi dan Peninjauan Kembali (PK)
secara elektronik, membuat kebijakan penurunan biaya perkara kasasi demi memperluas
akses keadilan bagi masyarakat, dan menerapkan Sistem Manajemen Anti Penyuapan
(SMAP) ISO 37001 di lingkungan Kepaniteraan MA.
Dalam proses seleksi Fit & Proper Test Calon Hakim Agung di Komisi III DPR, Heru memperkenalkan konsep mirror meeting, yakni forum refleksi yang membahas putusan berkekuatan hukum tetap oleh para ahli tanpa kehadiran majelis hakim untuk mengevaluasi kualitas putusan. “Adil berarti memberikan sesuatu sesuai dengan haknya, keadilan adalah nilai abstrak yang harus didekatkan agar nyata dirasakan publik”, tegas Heru.
Heru Pramono (Dok. DPR RI)
2. Ennid Hasanuddin
Lahir di Tasikmalaya pada 10 Juli 1959. Menempuh pendidikan S-1 Ilmu Hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Spesialis Kenotariatan di Universitas Padjajaran, dan S-2 Ilmu Hukum di STIH IBLAM.
Ennid memulai karier sebagai Calon Hakim di Pengadilan Negeri Bale
Bandung pada tahun 1985, kemudian berkontribusi di bidang
pendidikan dan pelatihan dengan menjadi pengajar di
Pusdiklat Teknis Peradilan, BSDK MA selama tujuh tahun.
Dalam uji kelayakan di Komisi III DPR RI, Panitera Muda Perdata MA RI
ini menyampaikan makalah berjudul “Urgensi Unifikasi dan Kodifikasi Hukum
Perdata Nasional”. Menurutnya, Hukum perdata mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia sejak dalam kandungan hingga meninggal dunia, mulai dari hak waris,
kelahiran, perjanjian, hingga pewarisan.
“Kodifikasi hukum perdata sangat mendesak untuk mengatasi fragmentasi
yang bersumber dari empat pilar. Hal tersebut seperti kapal induk yang
kehilangan sekoci-sekocinya”, pungkasnya.
Ennid Hasanudin (Dok. DPR RI)
3. Suradi
Ini adalah kesempatan ketiga Suradi menjalani uji
kelayakan di DPR-RI, setelah dikesempatan sebelumnya Suradi belum mendapatkan
persetujuan dari DPR-RI untuk menjadi hakim agung.
Suradi dikenal sebagai hakim yang tidak hanya
mumpuni namun juga mempunyai rekam jejak integritas yang baik, hal tersebut
membuatnya menduduki jabatan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung sejak
tanggal 30 Juli 2025 hingga saat ini.
Di DPR, Suradi membahas tentang digitalisasi sistem peradilan dapat menjadi kunci untuk menekan disparitas putusan pengadilan. “Digitalisasi sistem peradilan dapat memudahkan masyarakat memperoleh informasi suatu perkara mulai dari perkara tersebut disidangkan sampai dengan dijatuhkannya putusan”, ujarnya.
Suradi (Dok. DPR RI)
4. Lailatul
Arofah
Dari kamar Agama ada sosok Lailatul
Arofah. Sejak masa Tsanawiyah, Lailatul Arofah
sudah meneguhkan cita-cita untuk menjadi hakim. Prinsip hidupnya yang terus
dipegang hingga kini adalah “selalu berikhtiar menuju hari esok yang maslahah
fiddini waddunia wal akhirah”. Prinsip yang terus ia emban, baik sebagai Hakim
Tinggi Badan Pengawasan MA RI maupun kini sebagai calon Hakim Agung Kamar
Agama.
Dalam pemaparannya, ia menekankan rencana aksi
untuk memperkuat reformasi Mahkamah Agung dengan visi mewujudkan lembaga
peradilan yang agung melalui kerja profesional dan berintegritas. Lailatul menekankan
bahwa penguatan iman tetap menjadi pondasi utama dalam menjaga integritas
aparat peradilan.
Baginya, hakim sejati adalah yang mampu menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. “Perlakukanlah sama semua manusia, dalam hadapanmu, di majelismu, dan dalam putusanmu, sehingga orang-orang yang kuat tidak bisa membeli kebenaranmu, dan orang-orang yang lemah tidak berputus asa mendapatkan keadilan”, ujarnya saat mengutip Risalatul Qadha dari Khalifah Umar bin Khattab.
Lailatul Arofah (Dok. DPR RI)
5. Muhayah
Muhayah saat
ini menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. Ia kembali
mencalonkan diri sebagai Hakim Agung Kamar Agama untuk kedua kalinya. Baginya,
ini bukan sekadar karier, melainkan panggilan konstitusional dan kewajiban
moral untuk menjaga marwah hukum serta menghadirkan keadilan substantif bagi
masyarakat.
Muhayah aktif
mendorong reformasi kelembagaan. Dari penguatan teknologi informasi, pengawasan
internal, hingga konsistensi putusan, semua diarahkan demi tercapainya
kepastian hukum. Ia juga
menegaskan prinsip yang tak bisa ditawar yaitu independensi peradilan.
“Hakim tidak boleh diintervensi dalam pembuatan putusan, karena putusan hanya boleh didasarkan pada fakta hukum dan kebenaran”, tegas Muhaya.
Muhayah (Dok. DPR RI)
6. Agustinus
Purnomo Hadi
Berpengalaman
selama 38 tahun di dunia militer membuat Agustinus Purnomo Hadi mantap untuk
ikut Uji Kelayakan Calon Hakim Agung dan AdHoc yang diadakan oleh Komisi III
DPR RI. Ia mengawali
karirnya di dunia peradilan sebagai hakim pegadilan tingkat pertama, kemudian
dilanjutkan sebagai Hakim AdHoc di Pengadilan Tinggi Makassar pada tahun 2020.
Dua kali
gagal dalam seleksi Calon Hakim Agung pada tahun 2018 dan 2019 tidak membuatnya
menyerah. Dengan latar
belakang Pendidikan S1 Hukum Akademi Militer pada tahun 1994 dan Magister Ilmu
Hukum di Universitas Indonesia pada tahun 1999, ia menggagas sinergitas keadilan dan kepastian hukum untuk
penanganan perkara koneksitas dalam bingkai independensi hakim.
“Koneksitas
tindak pidana masih relevan di perkembangan hukum modern sepanjang masih ada
kompetensi absolute di pengadilan militer,” jawab Agustinus Purnomo saat menjawab pertanyaan di DPR.
Agustinus Purnomo Hadi (Dok. DPR RI)
7. Hari
Sugiharto
Ketika uji kepatutan dan kelayakan di
Komisi III DPR RI, Hari
Sugiharto memaparkan makalah berjudul Penguatan Eksekusi Terhadap Putusan
Pengadilan TUN yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap dalam Menjamin Perlindungan
Hak Warga Negara.
“Secara
normatif hanya putusan berkekuatan hukum tetap (BHT) yang memiliki nilai
eksekutorial, dan dalam perkara TUN karakter eksekusinya bersifat administratif
yang dilaksanakan oleh pejabat, dengan Ketua PTUN bertindak sebagai pengawas,”
tegas Hari yang pernah menjabat
sebagai Direktur Bimbingan Tenaga Teknis Peratun.
Hari sekaligus menegaskan komitmennya, “Saya bertekad memperkuat kepatuhan pejabat terhadap putusan, menjaga konsistensi kaidah hukum, mempercepat layanan peradilan, serta mendorong kolaborasi lintas-lembaga demi perlindungan hak warga negara,” pungkasnya.
Hari Sugiharto (Dok. DPR RI)
8. Budi
Nugroho
Budi Nugroho meurupakan CHA terpilih yang berasal dari disiplin akuntansi dan
perpajakan. Ia mempunyai pengalaman
lima tahun terakhir sebagai hakim di Pengadilan Pajak yang menangani sengketa
perpajakan, kepabeanan, dan bea cukai.
“Pajak memang
menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari, namun perlunya
keseimbangan untuk memberikan perlindungan terhadap wajib pajak tanpa
mengorbankan kepentingan fiskal yang harus dijalankan oleh negara”, ungkap Budi dalam paparannya di hadapan jajaran
Komisi III DPR.
Budi Nugroho juga mengusulkan adanya rekomendasi sehubungan rencana bergabungnya pengadilan pajak ke MA. “Pertama, perlu dibentuknya kamar pajak di MA untuk menciptakan konsistensi serta mencegah disparitas putusan, khususnya putusan peninjauan kembali. Kedua, pentingnya penguatan kompetensi hakim pajak agar penanganan sengketa pajak dapat memberikan kepastian hukum bagi negara dan dunia usaha”, tutupnya.
Budi Nugroho (Dok. DPR RI)
9. Diana
Malemita Ginting
Selanjutnya Kamar Tata Usaha Negara (TUN)
Khusus Pajak, hadir Diana
Malemita Ginting. Sosok ini
menarik perhatian karena bukan berasal dari jalur karier hakim, melainkan dari
disiplin keuangan dan pengawasan. Sejak
lama Diana memendam keinginan menjadi hakim karena ia melihat kesamaan pola kerja antara auditor
inspektorat dan hakim yakni menilai berkas, memastikan kesesuaian dengan
aturan, lalu memberikan rekomendasi atau putusan yang berdampak.
Dalam gagasannya, Diana
menyampaikan terkait beban perkara di Mahkamah Agung, khususnya
permohonan peninjauan kembali (PK) di bidang pajak. Ia menawarkan metode
pengelompokan perkara berdasarkan kategori sejenis seperti transfer pricing, CPO, hingga migas, serta mendorong pemerintah segera menyusun peraturan
pelaksanaan pajak karbon, termasuk aturan teknis monitoring, reporting,
verification (MRV), dan sertifikat izin emisi.
Menurutnya,
kebijakan itu perlu didukung sarana sistem yang memadai dan sosialisasi
menyeluruh. “Hasil pajak
karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim,” ujar Diana dalam
fit and proper test di Senayan.
Diana Malemita Ginting (Dok. DPR RI)
10. Moh
Puguh Haryogi
Puguh Haryogi, merupakan satu-satunya calon Hakim Ad Hoc terpilih yang berlatar belakang akademisi. Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang ini bukanlah calon pendatang baru, melainkan sudah pernah beberapa kali mengikuti seleksi calon Hakim Ad Hoc sebelumnya.
Puguh
membagikan pengalamannya yang telah 10 tahun menjadi Hakim Ad Hoc Tipikor di
beberapa wilayah. “Pokok utama dalam tipikor adalah kemiskinan dan juga
ketidakadilan sehingga terjadi korupsi dan di dalamnya kurang ada pengawasan
ketat terhadap pelaku korupsi sehingga yang terjadi demikian,” urainya.
Di depan Komisi
III DPR RI, Puguh mengangkat
isu perihal tanggung jawab korporasi atau organisasi dalam hal terjadinya
pelanggaran HAM dan langkah negara dalam menyikapinya. Ia menggunakan teori tanggung jawab absolut yakni
setiap yang melakukan kejahatan harus bertanggungjawab.
“Ada hak dan kewajiban, ketika terjadi pelanggaran HAM subjek hukum harus mempertanggungjawabkan. Sebagai subjek hukum, korporasi atau organisasi harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM yang dilakukannya”, jelasnya.
Baca Juga: Siapa Saja Hakim Agung Terpilih? Inilah Hasil Rapat Pleno Komisi III DPR
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI