Mempedomani Surat Edaran Nomor 4 tahun 2025 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana Aparatur Peradilan Umum (SE 4/2025) adalah sesuatu hal ikhwal keharusan, bahkan jauh sebelum ditetapkan tanggal 15 Mei 2025 waktu itu pun, semestinya telah terlebih dahulu diterapkan dalam pola kehidupan.
Namun demikian, berbicara mengenai hidup sederhana semenjak dahulu kesederhanaan hidup ataupun hidup berkesahajaan hanyalah cap yang dimiliki warga desa semata, bukan merupakan simbol dari kehidupan warga kota, meskipun tidak semuanya adalah kebenaran, karena ada juga sebagian “orang kota” pada umumnya melakukan penerapan hidup sederhana layaknya mereka yang hidup di desa, entah karena keadaan yang “memaksa” atau karena memang sudah menjadi gaya hidupnya.
Baca Juga: Kesederhanaan Hidup: Benteng Integritas, Nilai Keagamaan dan Perlindungan Sosial
Jika menelisik jauh ke dalam SE 4/2025 ini bagi warga Peradilan Umum adalah kebenaran bukan sebagai pembatasan hak pribadi melainkan salah satu bagian dari harapan pencerminan integritas, tanggung jawab dan keteladanan yang sejak lama digaungkan oleh Mahkamah Agung terkhusus dari Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum.
Pola ini (hidup sederhana) merupakan simbol dari langkah preventif untuk penguatan judicial Integrity, yang akan bermuara kepada upaya ditekannya segala bentuk pelanggaran kode etik, atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Panitera, Juru sita maupun kode etik lainnya bagi seluruh aparatur peradilan umum yang dimaksudkan untuk menjaga intergritas, profesionalitas dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Memaknai itu semua, barangkali kita masih ingat tentang sebuah film yang dulu di episodekan di layar kaca jauh sebelum adanya segala bentuk sosial media seperti sekarang ini, tentang seekor raja kera yang sangat sakti yang menantang surga yang bernama Sun Wukong?.
Kesaktian raja kera yang mandraguna pada akhirnya juga ditaklukkan buddha dengan mendemonstrasikan hukum relativitas universal yang mustahil, lalu memenjarakannya di dalam “gunung lima elemen” dunia materi dan energi, hingga sang raja kera pongah pun menderita akibat kejenakaannya yang arogan.
Ratusan tahun kemudian, akhirnya orang suci Budhis trans-sejarah Guanyin (Kuan Yin) dengan ketradisionalan yang dihormati sebagai bentuk personifikasi welas asih universal, muncul dihadapan raja kera bertobat dengan membacakan syair:
Sayangya si kera ajaib tidak melayani rakyat
Tatkala ia dengan gila memamerkan kepahlawanan di hari-hari dahulu kala
Dengan hati tidak murni ia menciptakan malapetaka
Pada jamuan dewa dewi
Dengan keberanian luar biasa ia menuruti egonya
Menuju langit kebahagiaan
Diatara seratus ribu pasukan
Tidak ada yang bisa menandinginya
Di surga tertinggi di langit
Ia menebarkan aura mengancam
Tapi ia terhalang lantaran berjumpa sang buddha
Kapan ia akan bebas dan memamerkan kebolehannya lagi?
Selanjutnya, sang kera memohon kepada orang suci itu supaya dibebaskan. Orang suci memberikan syarat kesanggupan dengan raja kera harus mendedikasikan dirinya untuk pencarian pencerahan yang lebih tinggi, bukan hanya demi dirinya sendiri melainkan juga untuk umat manusia.
Sebelum melepas
belenggu si raja kera, untuk memulai perjalanan panjang ke depan, sebagai
tindakan pencegahan, orang suci itu memasang simpai dikepalanya sang raja kera,
sebuah cincin yang akan mengencang dan menyebabkan kesakitan amat sangat
manakala mantra tertentu diucapkan
dengan memohon belas kasih
sebagai tanggapan atas setiap kenakalan yang diperbuat si raja kera.
Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP
Demikian mitologi Tiongkok yang telah di-film-kan ini
sepertinya bisa dimaknai betapa ketidak sederhanaan akan membuat orang menjadi
pamer yang terus menerus menyebabkan kesombongan, dan betapa kesombongan menciptakan
malapetaka bagi diri sendiri dan orang lain. Oleh sebab
itu, meninggalkan kehidupan yang demikian dengan kembali pada pola hidup yang
sederhana sebagaimana juga memaknai SE 4/2025, ketradisionalan yang dihormati
sebagai personifikasi welas asih universal patut diterapkan, dan memudahkan judicial
intergrity dimaksudkan tercapai, sehingga tidaklah diperlukan lagi mantra
untuk mengencangkan simpai yang melingkar
di kepala.
(LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI