Cari Berita

Kontinuitas Filosofis Pembatasan Kekuasaan Negara: Dari Liberalisme Kolonial ke Kontrol Yudisial Fiskal

Ari Julianto (Hakim Pengadilan Pajak) - Dandapala Contributor 2025-12-14 10:30:10
Dok. Penulis.

Artikel ini secara khusus membahas Kontinuitas Filosofis dalam Pembatasan Kekuasaan Negara: Dari Isu Liberalisme Kolonial menuju Kontrol Yudisial Fiskal, dengan merujuk pada sumber-sumber yang tersedia.

Lahirnya konsep negara hukum (Rechtsstaat) di Hindia Belanda merupakan tonggak sejarah yang didorong oleh pergulatan ideologi politik, khususnya pengaruh kelompok liberal pada pertengahan abad ke-19. Filosofi inti dari gerakan ini adalah tuntutan pembatasan kekuasaan pemerintah yang tidak terbatas, karena kekuasaan tersebut rentan menyebabkan tindakan kesewenang-wenangan. Kontinuitas filosofis ini terwujud dalam pendirian Pengadilan Pajak (PP) di Indonesia, yang secara fungsional bertindak sebagai mekanisme kontrol yudisial untuk membatasi kekuasaan fiskal negara dan menjamin keadilan bagi Wajib Pajak.

A. Akar Filosofis Liberalisme dan Tuntutan Pembatasan Kekuasaan Kolonial

Baca Juga: Evolusi Peradilan Fiskal Indonesia dari Raad van Beroep hingga Pengadilan Pajak

Setelah Hindia Belanda diserahkan kembali oleh Inggris kepada Belanda pada tahun 1816, pemerintah Belanda menghadapi realitas baru di bidang ketatanegaraan, perpajakan, dan susunan peradilan. Seiring berjalannya waktu, kelompok liberalis—yang dipengaruhi oleh budaya hukum Perancis yang liberal dan material, serta pemikiran aufklarung—berkembang menjadi kekuatan politik yang signifikan di Belanda.

Isu politik utama yang diangkat oleh kelompok liberal ini adalah kritik bahwa kekuasaan raja yang tidak terbatas akan menyebabkan tindakan kesewenang-wenangan, karenanya perlu adanya pembatasan. Kritik ini diperkuat dengan isu mengenai eksploitasi kasar yang dilakukan pemerintah dan perlunya perlindungan bagi warga di daerah jajahan. Liberalisme menuntut pola pemerintahan yang lebih demokratis, di mana kekuasaan tidak terbatas harus diakhiri dengan membuat batasan terhadap luasnya kekuasaan, termasuk kekuasaan raja, serta menekankan peran rakyat untuk melakukan kontrol terhadap pemerintahan.

Kemenangan politik kelompok liberal yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen Belanda pada akhirnya memaksa pemerintah menyusun dan memberlakukan Grondwet (Undang-undang Dasar) pada tahun 1848. Penekanan ini kemudian berlanjut pada pembangunan hukum di daerah jajahan, yang ditandai dengan lahirnya negara hukum di Hindia Belanda melalui Regering Reglement (RR) tahun 1854. Secara filosofis, RR 1854 menjadi tonggak sejarah yang menginstitusionalisasi pembatasan kekuasaan administrator kolonial, meletakkan fondasi bahwa kekuasaan, termasuk dalam urusan fiskal dan administrasi, harus dijalankan berdasarkan hukum.

B. Pengadilan Pajak sebagai Instrumen Kontrol Yudisial Modern

Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Meskipun pembangunan nasional memerlukan dana yang memadai terutama dari sumber perpajakan, pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat Wajib Pajak, yang berujung pada Sengketa Pajak.

Pengadilan Pajak (PP) dibentuk berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai manifestasi negara hukum modern untuk mengatasi ketidakpastian hukum yang timbul dari penyelesaian sengketa di masa lalu. PP adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Sengketa Pajak yang diperiksa dan diputus oleh PP adalah sengketa antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang (Direktur Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, Gubernur, Bupati/Walikota, dll.).

Secara filosofis, fungsi PP untuk memeriksa dan memutus Banding atau Gugatan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang adalah perwujudan modern dari tuntutan liberal abad ke-19: membatasi dan mengawasi kekuasaan administrator. Jika di masa kolonial perlindungan diberikan terhadap kekuasaan administrator daerah jajahan yang tidak terawasi, di masa kini, perlindungan diberikan terhadap potensi ketidakadilan yang timbul dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan oleh pejabat yang berwenang.

PP menjamin kepastian hukum karena putusannya adalah putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan ini memuat penetapan besarnya Pajak terutang, memastikan Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum.

C. Dualisme Pembinaan sebagai Ketegangan Kontrol dan Kebebasan

Kontinuitas ketegangan historis mengenai batasan kekuasaan terlihat jelas dalam struktur pembinaan Pengadilan Pajak. UU 14/2002 mengatur adanya dualisme pembinaan:

  1. Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
  2. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan (Menteri).

Struktur ini menempatkan PP di bawah dua otoritas kekuasaan negara yang berbeda—yudikatif (MA) dan eksekutif (Menteri Keuangan). Meskipun Hakim, Ketua, dan Wakil Ketua adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman, pembinaan administratif di bawah eksekutif secara inheren membawa risiko konflik kepentingan, mengingat kepentingan fiskal negara sangat besar.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023 menegaskan Pengadilan Pajak harus berada satu atap di bawah Mahkamah Agung, mengakhiri dualisme pembinaan yang selama ini menempatkan PP di bawah pembinaan administratif Kementerian Keuangan dan teknis peradilan MA.

Namun, sebagai jaminan filosofis atas kemerdekaan peradilan—sebagaimana yang diperjuangkan kaum liberal terhadap absolutisme—Undang-Undang secara tegas menyatakan bahwa pembinaan teknis maupun administrasi tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Kebebasan ini diperkuat oleh:

  • Sumpah Jabatan: Hakim diwajibkan bersumpah untuk menjalankan jabatan seadil-adilnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
  • Keterikatan Ideologis: Hakim harus setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan setiap putusan harus berkepala "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Tuntutan untuk tidak mengurangi kebebasan Hakim di tengah pembinaan oleh eksekutif adalah refleksi struktural dari upaya historis untuk memastikan bahwa kekuasaan negara (dalam hal ini, fiskal) tidak berujung pada kesewenang-wenangan, melainkan tunduk pada pengawasan yudisial yang independen.

Analoginya: Pengadilan Pajak sebagai Katup Pengaman Mesin Negara 

Interaksi antara kontinuitas filosofis liberalisme kolonial dan fungsi modern Pengadilan Pajak (PP) dapat dianalogikan sebagai Katup Pengaman pada Mesin Uang Negara. Analogi ini bermula dari pengakuan historis bahwa kekuasaan absolut yang tidak terawasi menyebabkan kesewenang-wenangan dan eksploitasi. Tuntutan Tekanan Liberalisme Historis yang mengkritik kekuasaan raja tidak terbatas di Belanda abad ke-19 menjadi akar perjuangan membatasi kekuasaan, termasuk perlindungan bagi warga daerah jajahan. Dalam konteks modern, negara memerlukan dana memadai dari perpajakan yang dikelola oleh Mesin Uang Negara—sistem administrasi perpajakan dan eksekutif. Namun, pemungutan pajak yang tidak sesuai undang-undang menimbulkan ketidakadilan, sehingga diperlukan mekanisme yang menjamin keadilan dan kepastian hukum.

Pengadilan Pajak didirikan sebagai Katup Pengaman tersebut, memeriksa dan memutus Sengketa Pajak antara Wajib Pajak dengan pejabat berwenang. Fungsi kontrol yudisial dioperasikan oleh Hakim yang terikat sumpah jabatan untuk setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Terdapat ketegangan struktural dalam Dual Kontrol Katup: pembinaan teknis peradilan oleh Mahkamah Agung (yudikatif), sedangkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan oleh Departemen Keuangan (eksekutif). Struktur ganda ini memastikan kebebasan Hakim tidak dikurangi oleh kepentingan finansial negara.

Dengan demikian, PP modern yang muncul dari BPSP secara filosofis melanjutkan perjuangan historis sejak lahirnya negara hukum di Hindia Belanda melalui Regering Reglement 1854. PP bukan hanya badan teknis perpajakan, melainkan institusi yang melanjutkan perjuangan membatasi kekuasaan administratif negara dan memberikan perlindungan hukum kepada warga, sejalan dengan semangat liberalisme awal yang menuntut perlindungan dari kekuasaan administrator yang tidak terawasi. (AL)

Daftar Pustaka

Atmadjaja, D. I. (2025). Sejarah hukum [Handout kuliah]. Universitas Widyagama Malang.

Mahkamah Konstitusi. (2023). Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian UU Pengadilan Pajak.

Baca Juga: Dialektika Pendulum dan Yudisialisme: Menelusuri Dinamika Sumber Hukum Peradilan Pajak

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. (2002).

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…