Cari Berita

Integrasi Pengadilan Pajak ke MA: Dinamika, Tantangan dan Arah Reformasi Hukum

Ari Julianto-Hakim Pengadilan Pajak - Dandapala Contributor 2025-10-24 14:05:21
Dok. Pdenulis.

Integrasi Pengadilan Pajak (PP) ke dalam Mahkamah Agung (MA) merupakan tonggak penting dalam reformasi peradilan fiskal Indonesia. Selama dua dekade, sistem peradilan pajak diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang menempatkan pembinaan teknis yudisial di bawah MA, namun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan (OA&K) berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Dualisme pembinaan ini menciptakan dilema serius terhadap independensi peradilan karena Kemenkeu adalah pihak yang paling sering bersengketa dengan Wajib Pajak di PP (Undang-Undang No. 14 Tahun 2002).

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023, frasa “Departemen Keuangan” dalam Pasal 5 ayat (2) dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI 1945 dan harus dimaknai sebagai “Mahkamah Agung” (Mahkamah Konstitusi, 2023).

Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan

MK memberi batas waktu hingga 31 Desember 2026 bagi pemerintah untuk menyelesaikan proses integrasi. Reformasi ini menandai pergeseran besar dari sistem dua atap menuju satu atap (one roof system) guna memperkuat keadilan fiskal dan imparsialitas yudisial.

Secara politik hukum, integrasi ini mencerminkan pergeseran paradigma dari model birokratik yang subordinatif ke arah sistem yudisial yang independen, transparan, dan akuntabel. Tujuan akhirnya adalah membangun peradilan pajak yang kuat, profesional, dan bebas dari konflik kepentingan.

Dinamika Transisi dan Reformasi

Proses integrasi PP ke MA tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mengandung makna pembangunan hukum dalam tiga dimensi: pemeliharaan, pembaruan, dan penciptaan. Tabel berikut merangkum fokus utama dari masing-masing dimensi pembangunan hukum.

Tabel 1. Tiga Dimensi Pembangunan Hukum dalam Integrasi Pengadilan Pajak

Dimensi

Fokus Utama

Tujuan Hukum

Kebijakan Kunci

Pemeliharaan (Maintenance)

Menjaga independensi, spesialisasi hakim, dan kekhususan hukum acara pajak.

Mempertahankan nilai fundamental sistem peradilan fiskal.

Menjamin rekrutmen hakim ad hoc berbasis keahlian; melestarikan hukum acara pajak khusus (misalnya mekanisme PK satu kali).

Pembaruan (Renewal)

Menghapus dualisme kelembagaan dan memperbarui sistem administrasi.

Menyelaraskan struktur organisasi, SDM, dan anggaran di bawah MA.

Pembentukan Peraturan Presiden dan tim transisi nasional; menjamin prinsip hold harmless bagi pegawai PP yang beralih status.

Penciptaan (Creation)

Menciptakan norma dan hukum acara baru di bawah otoritas MA.

Mengisi kekosongan regulasi pasca-putusan MK.

Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) baru; revisi norma Kuasa Hukum agar selaras dengan UU Advokat.

Pemeliharaan: Menjaga Independensi dan Spesialisasi

Integrasi ke MA diharapkan memperkuat asas independensi yudisial sesuai amanat konstitusi (UUD 1945 Pasal 24 ayat (1)). Hakim Pengadilan Pajak harus terbebas dari pengaruh eksekutif agar putusan bersifat objektif dan imparsial. Selain itu, penguatan spesialisasi hakim menjadi krusial.

Hakim pajak, khususnya yang berasal dari kalangan profesional (hakim ad hoc), memegang peran penting dalam menjaga kualitas putusan. Oleh karena itu, sistem karier di bawah MA harus tetap mengakomodasi keahlian fiskal agar tidak terjadi degradasi kompetensi (Mahkamah Agung, 2024).

Dimensi pemeliharaan juga mencakup pelestarian hukum acara khusus seperti pembatasan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali sebagaimana diatur Pasal 89 dan 90 UU 14/2002. Keunikan ini harus tetap dipertahankan dalam PERMA baru agar proses peradilan pajak tetap efisien dan responsif terhadap kebutuhan fiskal.

Pembaruan: Reformasi Struktural dan Administratif

Dimensi pembaruan menitikberatkan pada sinkronisasi kelembagaan lintas sektor antara MA dan Kemenkeu. Proses ini membutuhkan landasan hukum tingkat tinggi berupa Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur alih SDM, aset, dan anggaran. Tim transisi nasional menjadi aktor kunci dalam memastikan proses berjalan sesuai tenggat waktu.

Isu paling sensitif terletak pada pengalihan SDM dan disparitas penghasilan. Pegawai PP di bawah Kemenkeu memiliki struktur penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pegawai di lingkungan MA. Prinsip hold harmless harus ditegakkan agar tidak ada pegawai yang dirugikan selama proses alih status. Konflik politik anggaran ini memerlukan penyelesaian di tingkat eksekutif untuk menjamin stabilitas kelembagaan (Kementerian Keuangan, 2024).

Selain itu, modernisasi sistem informasi melalui integrasi e-court dan digitalisasi dokumen menjadi bagian penting dari pembaruan, sejalan dengan agenda reformasi peradilan elektronik nasional.

Penciptaan: Legislasi dan Norma Baru

Dimensi penciptaan berfokus pada pembentukan norma hukum baru yang akan menjadi kerangka operasional PP di bawah MA. Tahap pertama dimulai dengan penerbitan Perpres sebagai dasar hukum alih status kelembagaan, diikuti oleh PERMA baru yang mengatur organisasi dan hukum acara Pengadilan Pajak.

Salah satu isu penting adalah revisi norma Kuasa Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU 14/2002. Sebelumnya, ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan “persyaratan lain”, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Meskipun uji materi melalui Putusan MK No. 25/PUU-XXIII/2025 ditolak, MK menekankan perlunya penyusunan norma baru yang selaras dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Mahkamah Konstitusi, 2025).

Dengan demikian, dimensi penciptaan tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga transformasional — menciptakan sistem peradilan fiskal yang modern, transparan, dan terintegrasi dengan sistem yudikatif nasional.

Tantangan dan Implikasi Politik Hukum

Integrasi PP ke MA menghadapi sejumlah tantangan strategis yang mencerminkan kompleksitas hubungan antara cabang kekuasaan negara.

  1. Tantangan Kelembagaan: MA harus mampu mengelola tambahan beban administrasi, anggaran, dan SDM tanpa mengganggu kinerja peradilan lain.
  2. Tantangan Anggaran dan SDM: Disparitas tunjangan pegawai antara PP dan MA menimbulkan potensi resistensi jika tidak diatasi dengan kompensasi yang adil.
  3. Tantangan Yuridis: Diperlukan sinkronisasi antara UU Pengadilan Pajak, UU PTUN, dan UU MA agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
  4. Tantangan Hukum Acara: Kekhasan hukum acara pajak perlu dipertahankan untuk menjaga efektivitas penyelesaian sengketa fiskal.

Secara politik hukum, reformasi ini menunjukkan bahwa putusan konstitusi dapat berfungsi sebagai pendorong utama reformasi struktural, bukan sekadar koreksi yuridis. Integrasi ini menjadi bukti bahwa pembaruan hukum publik tidak bisa dilepaskan dari konteks politik anggaran dan kapasitas birokrasi.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk memastikan keberhasilan integrasi 2023–2026, diperlukan kebijakan lintas sektor yang terukur dan realistis:

  1. Prioritaskan Perpres Transisi: Pemerintah perlu segera menerbitkan Peraturan Presiden yang mengatur alih status pegawai, aset, dan anggaran dengan prinsip hold harmless.
  2. Percepat Penerbitan PERMA Hukum Acara Pajak: MA harus segera menetapkan PERMA baru agar ada kepastian prosedural selama masa transisi.
  3. Perkuat Kamar Tata Usaha Negara di MA: Tambahkan hakim agung spesialis fiskal atau bentuk kamar tersendiri untuk meminimalkan disparitas putusan Peninjauan Kembali.
  4. Dorong Digitalisasi Sistem: Gunakan momentum integrasi untuk membangun e-Tax Court dan sistem yurisprudensi digital yang mempercepat akses publik terhadap putusan.
  5. Bangun Sinergi MA–Kemenkeu: Bentuk Joint Steering Committee untuk menyelesaikan isu tunjangan dan karier secara adil dan terukur.

Refleksi Makna Integrasi

Integrasi Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung bukan sekadar restrukturisasi kelembagaan, tetapi cerminan evolusi sistem hukum Indonesia menuju pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Reformasi ini menegaskan bahwa supremasi hukum harus berdiri di atas kepentingan fiskal jangka pendek.

Dengan menjaga keseimbangan antara independensi yudisial, efisiensi administrasi, dan keadilan fiskal, integrasi ini diharapkan menjadi model bagi penyatuan lembaga hukum lainnya di masa depan. Bila dijalankan konsisten hingga tenggat 31 Desember 2026, reformasi ini akan menandai babak baru kepercayaan publik terhadap peradilan, serta memperkuat pondasi rule of law dalam sistem pajak nasional (Mahkamah Agung, 2026). (ldr)

Baca Juga: Integrasi Kesekretariatan Pengadilan di Bawah Ditjen Badan Peradilan

Daftar Rujukan

Mahkamah Konstitusi. (2023). Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian UU Pengadilan Pajak.
Mahkamah Konstitusi. (2025). Putusan Nomor 25/PUU-XXIII/2025 tentang Kuasa Hukum Pengadilan Pajak.
Mahkamah Agung. (2024). Rencana Strategis Integrasi Pengadilan Pajak.
Kementerian Keuangan. (2024). Nota Keuangan dan Kebijakan SDM Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI