Integrasi Pengadilan Pajak (PP) ke dalam Mahkamah Agung (MA) merupakan
tonggak penting dalam reformasi peradilan fiskal Indonesia. Selama dua dekade,
sistem peradilan pajak diatur oleh Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang menempatkan pembinaan
teknis yudisial di bawah MA, namun pembinaan organisasi, administrasi, dan
keuangan (OA&K) berada di bawah Kementerian
Keuangan (Kemenkeu).
Dualisme pembinaan ini menciptakan dilema serius terhadap independensi peradilan karena Kemenkeu
adalah pihak yang paling sering bersengketa dengan Wajib Pajak di PP
(Undang-Undang No. 14 Tahun 2002).
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26/PUU-XXI/2023, frasa
“Departemen Keuangan” dalam Pasal 5 ayat (2) dinyatakan bertentangan secara
bersyarat dengan UUD NRI 1945 dan harus dimaknai sebagai “Mahkamah Agung”
(Mahkamah Konstitusi, 2023).
Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan
MK memberi batas waktu hingga 31 Desember 2026 bagi pemerintah untuk
menyelesaikan proses integrasi. Reformasi ini menandai pergeseran besar dari sistem
dua atap menuju satu atap (one roof
system) guna memperkuat keadilan fiskal dan imparsialitas yudisial.
Secara politik hukum, integrasi ini mencerminkan pergeseran paradigma dari
model birokratik yang subordinatif ke arah sistem yudisial yang independen,
transparan, dan akuntabel. Tujuan akhirnya adalah membangun peradilan pajak
yang kuat, profesional, dan bebas dari konflik kepentingan.
Dinamika Transisi dan Reformasi
Proses integrasi PP ke MA tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga
mengandung makna pembangunan hukum
dalam tiga dimensi: pemeliharaan,
pembaruan, dan penciptaan. Tabel berikut merangkum
fokus utama dari masing-masing dimensi pembangunan hukum.
Tabel 1. Tiga Dimensi Pembangunan Hukum dalam Integrasi Pengadilan Pajak
Dimensi |
Fokus Utama |
Tujuan Hukum |
Kebijakan Kunci |
Pemeliharaan (Maintenance) |
Menjaga independensi, spesialisasi hakim, dan
kekhususan hukum acara pajak. |
Mempertahankan nilai fundamental sistem peradilan
fiskal. |
Menjamin rekrutmen hakim ad hoc berbasis keahlian;
melestarikan hukum acara pajak khusus (misalnya mekanisme PK satu kali). |
Pembaruan (Renewal) |
Menghapus dualisme kelembagaan dan memperbarui sistem
administrasi. |
Menyelaraskan struktur organisasi, SDM, dan anggaran
di bawah MA. |
Pembentukan Peraturan
Presiden dan tim transisi
nasional; menjamin prinsip hold harmless bagi pegawai PP yang
beralih status. |
Penciptaan (Creation) |
Menciptakan norma dan hukum acara baru di bawah otoritas
MA. |
Mengisi kekosongan regulasi pasca-putusan MK. |
Penyusunan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) baru; revisi norma Kuasa Hukum agar selaras
dengan UU Advokat. |
Pemeliharaan: Menjaga Independensi dan Spesialisasi
Integrasi ke MA diharapkan memperkuat asas independensi yudisial sesuai
amanat konstitusi (UUD 1945 Pasal 24 ayat (1)). Hakim Pengadilan Pajak harus
terbebas dari pengaruh eksekutif agar putusan bersifat objektif dan imparsial.
Selain itu, penguatan spesialisasi hakim menjadi krusial.
Hakim pajak, khususnya yang berasal dari kalangan profesional (hakim ad
hoc), memegang peran penting dalam menjaga kualitas putusan. Oleh karena itu,
sistem karier di bawah MA harus tetap mengakomodasi keahlian fiskal agar tidak
terjadi degradasi kompetensi (Mahkamah Agung, 2024).
Dimensi pemeliharaan juga mencakup pelestarian hukum acara khusus seperti
pembatasan Peninjauan Kembali (PK) hanya satu kali sebagaimana diatur Pasal 89
dan 90 UU 14/2002. Keunikan ini harus tetap dipertahankan dalam PERMA baru agar
proses peradilan pajak tetap efisien dan responsif terhadap kebutuhan fiskal.
Pembaruan: Reformasi Struktural dan Administratif
Dimensi
pembaruan menitikberatkan pada sinkronisasi kelembagaan lintas sektor antara MA
dan Kemenkeu. Proses ini membutuhkan landasan hukum tingkat tinggi berupa
Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur alih SDM, aset, dan anggaran. Tim
transisi nasional menjadi aktor kunci dalam memastikan proses berjalan sesuai
tenggat waktu.
Isu paling
sensitif terletak pada pengalihan SDM dan disparitas penghasilan. Pegawai PP di
bawah Kemenkeu memiliki struktur penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan
pegawai di lingkungan MA. Prinsip hold
harmless harus ditegakkan agar tidak ada pegawai yang dirugikan selama
proses alih status. Konflik politik anggaran ini memerlukan penyelesaian di
tingkat eksekutif untuk menjamin stabilitas kelembagaan (Kementerian Keuangan,
2024).
Selain itu,
modernisasi sistem informasi melalui integrasi e-court dan digitalisasi dokumen menjadi bagian penting dari
pembaruan, sejalan dengan agenda reformasi peradilan elektronik nasional.
Penciptaan: Legislasi dan Norma Baru
Dimensi
penciptaan berfokus pada pembentukan norma hukum baru yang akan menjadi
kerangka operasional PP di bawah MA. Tahap pertama dimulai dengan penerbitan
Perpres sebagai dasar hukum alih status kelembagaan, diikuti oleh PERMA baru
yang mengatur organisasi dan hukum acara Pengadilan Pajak.
Salah satu isu penting adalah revisi norma Kuasa Hukum sebagaimana diatur
dalam Pasal 34 UU 14/2002. Sebelumnya, ketentuan ini memberi kewenangan kepada
Menteri Keuangan untuk menentukan “persyaratan lain”, yang berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan. Meskipun uji materi melalui Putusan MK No.
25/PUU-XXIII/2025 ditolak, MK menekankan perlunya penyusunan norma baru yang
selaras dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Mahkamah Konstitusi,
2025).
Dengan demikian, dimensi penciptaan tidak hanya bersifat normatif, tetapi
juga transformasional — menciptakan sistem peradilan fiskal yang modern,
transparan, dan terintegrasi dengan sistem yudikatif nasional.
Tantangan dan Implikasi Politik Hukum
Integrasi PP ke MA menghadapi sejumlah tantangan strategis yang
mencerminkan kompleksitas hubungan antara cabang kekuasaan negara.
- Tantangan Kelembagaan: MA harus mampu mengelola tambahan beban
administrasi, anggaran, dan SDM tanpa mengganggu kinerja peradilan lain.
- Tantangan Anggaran dan
SDM: Disparitas tunjangan pegawai antara PP dan MA
menimbulkan potensi resistensi jika tidak diatasi dengan kompensasi yang
adil.
- Tantangan Yuridis: Diperlukan sinkronisasi antara UU Pengadilan
Pajak, UU PTUN, dan UU MA agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
- Tantangan Hukum Acara: Kekhasan hukum acara pajak perlu dipertahankan
untuk menjaga efektivitas penyelesaian sengketa fiskal.
Secara politik hukum, reformasi ini menunjukkan bahwa putusan konstitusi dapat berfungsi sebagai
pendorong utama reformasi struktural, bukan sekadar koreksi yuridis.
Integrasi ini menjadi bukti bahwa pembaruan hukum publik tidak bisa dilepaskan
dari konteks politik anggaran dan kapasitas birokrasi.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk memastikan keberhasilan integrasi 2023–2026, diperlukan kebijakan
lintas sektor yang terukur dan realistis:
- Prioritaskan Perpres
Transisi: Pemerintah perlu segera menerbitkan Peraturan Presiden yang mengatur
alih status pegawai, aset, dan anggaran dengan prinsip hold harmless.
- Percepat Penerbitan
PERMA Hukum Acara Pajak: MA
harus segera menetapkan PERMA baru agar ada kepastian prosedural selama
masa transisi.
- Perkuat Kamar Tata Usaha
Negara di MA:
Tambahkan hakim agung spesialis fiskal atau bentuk kamar tersendiri untuk
meminimalkan disparitas putusan Peninjauan Kembali.
- Dorong Digitalisasi
Sistem: Gunakan momentum integrasi untuk membangun e-Tax
Court dan sistem yurisprudensi digital yang mempercepat akses publik
terhadap putusan.
- Bangun Sinergi
MA–Kemenkeu: Bentuk Joint Steering Committee untuk
menyelesaikan isu tunjangan dan karier secara adil dan terukur.
Refleksi Makna Integrasi
Integrasi Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung bukan sekadar restrukturisasi
kelembagaan, tetapi cerminan evolusi sistem hukum Indonesia menuju pemerintahan
yang transparan dan akuntabel. Reformasi ini menegaskan bahwa supremasi hukum
harus berdiri di atas kepentingan fiskal jangka pendek.
Dengan menjaga keseimbangan antara independensi yudisial, efisiensi
administrasi, dan keadilan fiskal, integrasi ini diharapkan menjadi model bagi
penyatuan lembaga hukum lainnya di masa depan. Bila dijalankan konsisten hingga
tenggat 31 Desember 2026, reformasi ini akan menandai babak baru kepercayaan
publik terhadap peradilan, serta memperkuat pondasi rule of law dalam sistem pajak nasional (Mahkamah Agung, 2026). (ldr)
Baca Juga: Integrasi Kesekretariatan Pengadilan di Bawah Ditjen Badan Peradilan
Daftar Rujukan
Mahkamah Konstitusi. (2023). Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023 tentang
Pengujian UU Pengadilan Pajak.
Mahkamah Konstitusi. (2025). Putusan
Nomor 25/PUU-XXIII/2025 tentang Kuasa Hukum Pengadilan Pajak.
Mahkamah Agung. (2024). Rencana
Strategis Integrasi Pengadilan Pajak.
Kementerian Keuangan. (2024). Nota
Keuangan dan Kebijakan SDM Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI