Hukum Itu Hidup, Bukan Kaku
Dulu,
banyak ahli berpikir bahwa hukum itu cuma produk akal manusia yang fungsinya
mengatur tingkah laku ke depan. Pemikiran ini mengabaikan masa lalu, seolah
sejarah tidak penting dalam membentuk aturan hari ini. Padahal, anggapan bahwa
hukum itu kaku dan terlepas dari sejarah adalah keliru. Apalagi dalam pajak
yang sangat bergantung pada perubahan ekonomi dan sosial—kalau hukumnya kaku,
keadilan tidak akan tercapai (Wahyudi, 2020).
Kalau
kita patuh buta pada teks undang-undang tanpa melihat latar belakang sejarah
dan perubahan kondisi (misalnya era digital sekarang), hukum jadi tidak
fleksibel. Padahal hukum pajak harus terus beradaptasi supaya ada kepastian dan
keadilan (Bastari et al., 2023).
Hukum Berakar pada Jiwa Bangsa
Sifat
dinamis hukum makin jelas dengan munculnya mazhab sejarah yang diprakarsai
Friedrich Carl von Savigny. Menurut beliau, hukum itu bukan sekadar dibuat
lewat akal dan ditetapkan dalam undang-undang, tapi kesadaran hidup yang terus
berubah—hukum selalu dalam proses menjadi (Volksgeist atau jiwa
bangsa) (Undang: Jurnal Hukum, 2020).
Jadi,
perubahan hukum pajak Indonesia—dari zaman kolonial, masa Official
Assessment, sampai Self-Assessment (Sistem Pemungutan Pajak,
n.d.)—adalah bukti nyata dari Volksgeist yang bertransisi dari sistem
otoriter ke sistem yang lebih demokratis (Dinamika Hukum Perpajakan, 2021).
Karena hukum adalah "kesadaran yang hidup", maka wajar kalau aturan
pajak (sumber hukum substansial) terus disesuaikan dan putusan
pengadilan (sumber hukum formal) harus aktif mengisi kekosongan hukum.
Kenapa Sejarah Hukum Pajak Penting?
Sumber
hukum—baik formal (peraturan dan putusan) maupun substansial (norma dan
asas)—selalu berubah seiring waktu. Makanya, sejarah hukum mutlak diperlukan
untuk memahami isi norma dan kelembagaan hukum saat ini.
Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan
Untuk
memahami hukum (bayangkan seperti pohon), kita harus telusuri dari akar (norma
historis), batang (lembaga), cabang (regulasi), sampai daun (putusan sekarang).
Evolusi peradilan fiskal dari badan administratif kolonial (Raad van Beroep)
jadi Pengadilan Pajak yang yudisial lewat UU No. 14 Tahun 2002 (Julianto, 2025)
adalah bukti konkret—kita tidak bisa paham kelembagaan sekarang tanpa tahu akar
sejarahnya.
Dua Pertanyaan Utama
Kajian
ini fokus pada dua pertanyaan yang mencerminkan dualitas hukum peradilan pajak:
- Mengapa sumber hukum substansial
dan formal peradilan pajak berubah, terutama dalam konflik abadi antara
kepentingan fiskal negara versus perlindungan hak wajib pajak?
- Bagaimana mekanisme perubahan
itu—lewat pola pendulum kebijakan (substansial) dan evolusi kelembagaan
(formal)—membentuk hukum sengketa pajak hari ini dan masa depan?
Pola Pendulum: Hukum Pajak Bergerak
Kiri-Kanan
Jawaban
"Mengapa" aturan pajak berubah ada pada mekanisme
dialektika kehidupan. Hukum pajak bergerak seperti pendulum—ayunan antara
melindungi hak Wajib Pajak (ekstrem kanan) dan mengejar penerimaan negara
(ekstrem kiri).
Aturan
pajak yang berlaku adalah hasil dari konflik abadi antara kebutuhan fiskal
negara versus keadilan bagi wajib pajak. Contohnya, perubahan dari Official
Assessment (semua wewenang di tangan Fiskus sebelum 1983) ke Self
Assessment (sejak 1983) (Sistem Pemungutan Pajak, n.d.) mengubah
paradigma—dari sentralistik (Dinamika Hukum Perpajakan, 2021) jadi model yang
menuntut kepercayaan pada wajib pajak.
Sekarang,
UU Cipta Kerja dan UU HPP mencoba menstabilkan pendulum di posisi
tengah-kanan—mendorong investasi sambil menjamin keadilan (Bastari et al.,
2023). Termasuk penguatan asas ultimum remedium (pidana sebagai jalan
terakhir), yang menunjukkan pergeseran filosofi dari menghukum ke memulihkan
kerugian negara dengan cepat (Safitri et al., 2025).
Tabel 1: Pola Pendulum Perpajakan Indonesia
|
Periode |
Orientasi |
Kecenderungan |
|
Pra-1983 (Official Assessment) |
Penerimaan Maksimal (Sentralistik) |
Ekstrem Kiri (Fiskus Kuat) |
|
1983-2020 (Self Assessment) |
Kepatuhan Mandiri WP |
Bergerak ke Kanan (Perlindungan WP) |
|
Pasca 2021 (UU HPP) |
Keadilan Fiskal & Investasi |
Tengah-Kanan (Keseimbangan) |
Evolusi Yudisial: Dari Administratif ke
Mandiri
Jawaban
"Bagaimana" mekanisme perubahan terjadi terlihat
dari evolusi kelembagaan. Titik balik besar adalah UU No. 14 Tahun 2002, yang
mengubah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) jadi Pengadilan Pajak (PP) yang
bersifat yudisial (Julianto, 2025).
Hukum
acara Pengadila Pajak
(PP) dirancang untuk keadilan
substantif, di mana hakim punya peran aktif (dominus litis) dengan
asas pembuktian bebas (Wahyudi, 2020). Kekuasaan ini memberi Hakim PP wewenang Judicial activism untuk mengatasi kekakuan aturan administratif.
Tapi
selama 2002-2023, PP menghadapi masalah dualisme kelembagaan (pembinaan
organisasi dan administrasi di bawah Kemenkeu) yang dinilai melanggar prinsip
kemandirian peradilan (Mahkamah Konstitusi, 2023; Julianto, 2025). Titik balik
terpenting: Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang mengalihkan seluruh pembinaan
PP ke Mahkamah Agung (Mahkamah Konstitusi, 2023). Ini jawaban Bagaimana
reformasi kelembagaan harus dijalankan—untuk memperkuat independensi dan
menghasilkan putusan yang lebih tepercaya.
Tabel 2: Evolusi Kelembagaan Peradilan Pajak
|
Periode |
Status |
Isu Sentral |
Independensi |
|
Pra-2002 (Raad van Beroep) |
Administratif |
Keadilan Rendah |
Tergantung Eksekutif |
|
2002-2023 (PP Dualisme) |
Yudisial (Teknis MA) |
Dualisme Pembinaan (Kemenkeu vs MA) |
Rentan Intervensi |
|
Pasca MK 26/PUU-XXI/2023 |
Yudisial Penuh (Integrasi MA) |
Penguatan Independensi |
Mandiri Penuh |
Putusan Sebagai Sintesis Penafsiran
Mekanisme
"Bagaimana" putusan dihasilkan adalah lewat proses
dialektika dan interpretasi antara pihak bersengketa dan Hakim. Putusan formal
adalah sintesis yang menafsirkan norma substansial (seperti UU HPP) dalam
konteks ekonomi yang terus berubah (Bastari et al., 2023).
Perubahan
sumber hukum formal dan substansial adalah bagian dari totalitas perkembangan
kehidupan manusia. Putusan hakim mencerminkan bagaimana norma hukum ditafsirkan
oleh Volksgeist pada periode tertentu, terutama saat menghadapi hal
baru seperti transaksi digital.
Belajar dari Kesalahan Masa Lalu
Aspek
"Mengapa" sejarah hukum perlu dipelajari juga
terkait menghindari kesalahan berulang. Dengan menelusuri kejadian masa lalu,
kita bisa evaluasi dampak dari solusi yang pernah diambil.
Penting
untuk kritis menganalisis putusan lama, karena seringkali sejarah—termasuk
sejarah hukum—ditulis oleh pemenang. Pemenang punya kekuasaan meninggalkan
jejak sejarah. Potensi bias penafsiran yang mengutamakan kepentingan fiskal
sangat relevan dipahami ketika menelaah Mengapa norma hukum
berubah, terutama di era pra-integrasi MA (Julianto, 2025). Analisis kritis
terhadap yurisprudensi lama diperlukan untuk bedakan putusan yang murni adil
dari yang mungkin dipengaruhi tekanan struktural fiskal.
Analogi Ombak: Memahami Pola Bersejarah
Mempelajari
putusan peradilan pajak masa lampau seperti mempelajari ombak di lautan. Meski
setiap sengketa berbeda, pergerakan laut secara keseluruhan (siklus kebijakan
antara penerimaan negara dan hak wajib pajak) mengikuti pola pendulum yang
historis.
Memahami
pola ini—kapan sistem cenderung pro-penerimaan dan kapan pro-investasi—menjawab
Bagaimana pembuat kebijakan dan hakim bisa menavigasi proses
hukum masa kini dengan lebih bijaksana (Pakpahan, 2025). Pemahaman bahwa
perubahan hukum adalah bagian dari pola bersejarah membantu memprediksi arah
proses hukum di masa depan, khususnya setelah integrasi penuh PP ke MA. (ldr)
Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.
DAFTAR PUSTAKA
Bastari et al. (2023). Hukum Pajak di Indonesia. PT SADA KURNIA PUSTAKA. Diresume dari https://www.researchgate.net/publication/372165567_Hukum_Pajak_di_Indonesia
Dinamika Hukum Perpajakan. (2021). Dinamika Hukum Perpajakan Di Indonesia
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan
Distribusi Daerah. Diresume
dari(https://www.researchgate.net/publication/354851643_Dinamika_Hukum_Perpajakan_Di_Indonesia_Ditinjau_Dari_Undang-Undang_Nomor_28_Tahun_2009_Tentang_Pajak_Daerah_Dan_Distribusi_Daerah)
Hukum Pajak (Buku Ajar). (2020). Diresume
dari(https://jdih.unsoed.ac.id/app/common/dokumen/BUKU%20AJAR%20HUKUM%20PAJAK.pdf)
Julianto, A. (2025).
Evolusi Peradilan Fiskal Indonesia dari Raad van Beroep hingga Pengadilan
Pajak. Dandapala. Diresume dari https://dandapala.com/opini/detail/evolusi-peradilan-fiskal-indonesia-dari-raad-van-beroep-hingga-pengadilan-pajak
Mahkamah Konstitusi.
(2023). Putusan Nomor 26/PUU-XXI/2023
tentang Pengujian UU Pengadilan Pajak. Diresume dari https://e-journal.trisakti.ac.id/index.php/amicuscuriae/article/view/23011/13172
Pakpahan, N. H. (2025).
Kemandirian Pengadilan Pajak untuk Menangani Sengketa PBB. Marinews Mahkamah Agung. Diresume dari https://marinews.mahkamahagung.go.id/artikel/kemandirian-pengadilan-pajak-untuk-menangani-sengketa-pbb-0ua
Safitri, E. A., Damayanti,
R., & Sulistiyono, T. (2025). Batasan Dan Mekanisme Penerapan Sanksi Pidana
Perpajakan Di Indonesia Dalam Perspektif Asas Ultimum Remedium. Statuta. Diresume dari https://ejournal.upnvj.ac.id/statuta/article/download/11160/3777/38466
Sistem Pemungutan Pajak. (n.d.). Tiga Sistem Pemungutan Pajak yang Paling
Efektif Digunakan Pemerintah. Diresume dari https://news.ddtc.co.id/komunitas/lomba/11825/perlunya-sinergi-wajib-pajak-dan-fiskus
Undang: Jurnal Hukum.
(2020). Friedrich Carl von Savigny tentang Hukum: Hukum sebagai Manifestasi
Jiwa Bangsa. Undang: Jurnal Hukum,
3(1). Diresume dari https://ujh.unja.ac.id/index.php/home/article/view/95
Baca Juga: Evolusi Peradilan Fiskal Indonesia dari Raad van Beroep hingga Pengadilan Pajak
Wahyudi, T. H. (2020).
Keberadaan dan Peran Pengadilan Pajak dalam Memberikan Keadilan Substantif
kepada Wajib Pajak. Jurnal Selisik,
6(1). Diresume dari https://www.dandapala.com/article/detail/2-upaya-hukum-di-pengadilan-pajak-antara-keadilan-substantif-dan-kepastian-hukum-formal
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI