Artikel ini menganalisis sejarah evolusi penyelesaian sengketa pajak di Indonesia, menandai transisi signifikan dari badan administratif kolonial (Raad van Beroep) menuju Pengadilan Pajak (PP) yang yudisial melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 (UU 14/2002).
Evolusi ini didorong oleh urgensi menciptakan keadilan dan kepastian hukum yang gagal diakomodasi institusi pra-2002 (Ginting, 2024a; Utama, 2024b). Meskipun UU 14/2002 mengukuhkan sengketa pajak sebagai ranah yudisial, dualisme pembinaan (teknis Mahkamah Agung/MA; non-teknis Kementerian Keuangan/Kemenkeu) di Pasal 5 masih menjadi isu krusial yang diwarisi dari sistem pendahulu (Haryanto, 2023b).
Kajian ini juga menyoroti aspek lex specialis Hukum Acara Pengadilan Pajak (HAPP), terutama klausul Peninjauan Kembali (PK) yang tidak menangguhkan eksekusi, serta upaya reformasi kontemporer melalui implementasi E-Tax Court sebagai solusi operasional.
Baca Juga: Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Kesembilan
Sejarah kelembagaan penyelesaian sengketa pajak merefleksikan proses panjang dari mekanisme yang terikat eksekutif menuju peradilan khusus di bawah yudikatif (Julianto, 2024).
Transisi ini fundamental, bertujuan menegaskan sengketa fiskal sebagai domain yudisial independen, esensial menjamin perlindungan hak Wajib Pajak (WP) serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum (Ginting, 2024a). Titik kulminasi adalah pembentukan PP pada tahun 2002 melalui UU 14/2002, yang secara filosofis diharapkan menjadi jaminan perlindungan hak WP. Namun, dinamika "transisi dan kontinuitas" menjadi fokus, karena studi menunjukkan adanya kontinuitas dilema struktural dualisme pembinaan yang diwarisi dari keterikatan historis dengan administrasi fiskal (Haryanto, 2023b).
Evolusi Peradilan Fiskal Pra-Yudisial (1927–2002)
Akar sejarah peradilan fiskal Indonesia berakar pada masa kolonial Belanda, didominasi mekanisme keberatan administratif (Julianto, 2024). Cikal bakal lembaga adalah Raad van Beroep voor Belastingzaken (Dewan Banding Urusan Pajak) (Agoes, 2023a).
Lembaga ini beroperasi di bawah Indische Comptabiliteitswet (ICW), terbatas pada banding administratif (Agoes, 2023a). Sengketa pajak saat itu belum dianggap domain yudisial, melainkan bagian kontrol internal administrasi pemerintahan (Mulyono, 2023a). Raad van Beroep tidak memiliki kedudukan yudisial penuh.
Proses sengketa didominasi fiscus, mencerminkan pola historis
keterikatan kuat dengan kekuasaan eksekutif (Julianto, 2024). Kajian ini juga
menyoroti perbandingan antara Raad van
Beroep dengan institusi pasca-kemerdekaan (Wiratama, 2024).
Setelah kemerdekaan, dibentuk Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) pada 1950-an. MPP mengisi kekosongan hukum pasca-kolonial sebagai badan semi-yudisial (Mulyono, 2023a). MPP kemudian digantikan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) (UU No. 17 Tahun 1997) (Utama, 2024a).
BPSP, meskipun menunjukkan langkah maju, dilema kelembagaan BPSP masih disoroti (Agoes, 2023b), dan dinilai gagal memberikan keadilan ideal (Ginting, 2024a; Utama, 2024b). Kritik utama terhadap BPSP adalah kegagalannya berpuncak di Mahkamah Agung (MA) (Ginting, 2024a). Kegagalan ini menjadi katalis utama pembentukan PP sebagai badan yudisial formal pada 2002 (Julianto, 2024).
Pengadilan Pajak: Pengukuhan Yudisial dan Dilema Dualisme
Titik balik peradilan fiskal terjadi pada 12 April 2002 dengan disahkannya UU 14/2002. UU ini formal mengubah status BPSP menjadi Pengadilan Pajak (PP), peradilan khusus yang diakui sebagai bagian kekuasaan kehakiman (Setyawan, 2025), menjanjikan keadilan dan kepastian hukum yang lebih tinggi (Ginting, 2024a).
Polemik Pasal 5 UU 14/2002: Dualisme Pembinaan
Pasal 5 UU 14/2002 menciptakan dualisme
pembinaan: Teknis oleh MA, sementara Non-Teknis (organisasi, administrasi, dan
keuangan) oleh Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) (Indrayani, 2024). Pengaturan ini bertentangan dengan prinsip
kemandirian kekuasaan kehakiman dan amanat One
Roof System di bawah MA (Julianto, 2024). Pembinaan non-teknis oleh badan
ekstra yudisial (Kemenkeu) menciptakan keraguan WP mengenai potensi ketergantungan
hakim (Haryanto, 2023a), sehingga PP dinilai belum sepenuhnya sesuai amanat
konstitusi.
Analisis menunjukkan bahwa dualisme adalah warisan struktural. Penelitian menyimpulkan dampaknya tidak memengaruhi imparsialitas hakim pajak (Ramli, 2023a). Meskipun demikian, dualisme struktural ini dinilai tidak efisien dalam penanganan perkara dibandingkan sistem satu atap (Julianto, 2024; Ramli, 2023b).
Hukum Acara dan Prioritas Fiskal
Hukum Acara Pengadilan Pajak (HAPP)
diatur dalam UU 14/2002 sebagai lex
specialis (Julianto, 2024). Persyaratan formal gugatan meliputi pengajuan
surat dalam Bahasa Indonesia dan satu objek gugatan hanya dapat diajukan satu
surat (Simamora, 2024a). Aspek krusial adalah pencantuman tanggal diterima
surat keputusan yang digugat, serta jangka waktu pengajuan yang ketat, umumnya
30 hari (Simamora, 2024b).
Sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir, putusan PP bersifat final dan mengikat (Cahyadi, 2024). Upaya hukum luar biasa adalah Peninjauan Kembali (PK) kepada MA, diajukan hanya satu kali (Cahyadi, 2024).
Dilema Eksekusi Putusan dalam Peninjauan Kembali
Ketentuan bahwa permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan PP adalah aspek paling krusial (Julianto, 2024). Pengaturan ini menyoroti bahwa kepastian hukum dan kelancaran eksekusi putusan (demi penerimaan negara) lebih diutamakan dibandingkan perlindungan hak WP yang mengajukan upaya hukum (Wijaya, 2025). Prioritas fiskal ini menciptakan dilema substansial bagi WP yang menghadapi risiko kerugian finansial saat putusan dieksekusi sebelum MA memutuskan PK (Julianto, 2024).
Reformasi Kontemporer: Digitalisasi Peradilan Fiskal
Reformasi peradilan kontemporer (2022–2025) fokus pada peningkatan efisiensi operasional (Julianto, 2024), mencakup implementasi Administrasi Sengketa Pajak dan Persidangan Secara Elektronik (E-Tax Court) (Adriani & Puspitasari, 2024). Pemanfaatan teknologi ini bertujuan meningkatkan transparansi, mempercepat proses, dan mempermudah akses WP (Adriani & Puspitasari, 2024). E-Tax Court diharapkan menjadi solusi operasional mengatasi inefisiensi penanganan perkara akibat struktur dualisme PP (Ginting, 2024b).
Simpulan
Evolusi peradilan fiskal Indonesia adalah transisi signifikan dari keterikatan administratif era Raad van Beroep menuju PP yang yudisial (2002). Pembentukan PP (UU 14/2002) merupakan pengakuan formal sengketa pajak sebagai ranah peradilan, didorong kebutuhan mendesak akan keadilan. Namun, UU 14/2002 mempertahankan dualisme pembinaan (teknis MA, non-teknis Kemenkeu) yang menjadi warisan struktural, menimbulkan keraguan institusional dan inefisiensi operasional. Hukum Acara PP memprioritaskan kepentingan penerimaan negara melalui ketentuan non-penangguhan eksekusi PK. Reformasi kontemporer fokus pada digitalisasi (E-Tax Court) untuk efisiensi prosedural, sambil terus mengatasi tantangan kemandirian institusional.
Daftar Pustaka
Adriani, R., & Puspitasari, D.
(2024). Administrasi Sengketa Pajak dan
Persidangan Secara Elektronik (E-Tax Court) - Suatu Tinjauan Pustaka.
Jurnal Pajak Indonesia, 8(1).
Agoes, L. (2023a). Sejarah dan Perkembangan Majelis Pertimbangan Pajak di Indonesia.
Jurnal Hukum dan Fiskal.
Agoes, L. (2023b). Dilema Kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Jurnal Hukum
dan Fiskal.
Cahyadi, I. (2024). Aspek Keadilan Prosedural dalam Peninjauan Kembali di Pengadilan Pajak.
Jurnal Hukum Perpajakan.
Ginting, W. S. (2024a). Urgensi Peradilan Pajak dalam Menciptakan
Keadilan dan Kepastian Hukum. Jurnal Hukum Pajak.
Ginting, W. S. (2024b). Penyelesaian Sengketa Pajak: Dari BPSP ke
Pengadilan Pajak. Jurnal Pajak Indonesia, 8(1).
Haryanto, B. (2023a). Dualisme Pembinaan Pengadilan Pajak dan Asas
Kemandirian Peradilan. Jurnal Hukum Peradilan.
Haryanto, B. (2023b). Wibawa Institusional Pengadilan Pajak dalam
Bayang-Bayang Eksekutif. Jurnal Hukum Peradilan.
Indrayani, R. (2024). Kewenangan Kementerian Keuangan dalam
Pembinaan Non-Teknis Yudisial. Jurnal Hukum Pemerintahan.
Mulyono, A. (2023). Peran Majelis Pertimbangan Pajak sebagai Badan Semi-Yudisial.
Jurnal Administrasi Fiskal.
Ramli, A. I. T. (2023a). Dampak Pembinaan Non Teknis Yudisial
terhadap Independensi Pengadilan Pajak. Jurnal Kekuasaan Kehakiman.
Ramli, A. I. T. (2023b). Inefisiensi Penanganan Perkara Akibat
Dualisme Pembinaan di Pengadilan Pajak. Jurnal Kekuasaan Kehakiman.
Setyawan, K. (2025). Filosofi Pembentukan UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak. Jurnal Legislasi Hukum.
Simamora, R. (2024a). Tinjauan Yuridis Persyaratan Formal Gugatan
di Pengadilan Pajak. Jurnal Hukum Acara Perpajakan.
Simamora, R. (2024b). Kepastian Hukum Batas Waktu Pengajuan
Gugatan Pajak. Jurnal Hukum Acara Perpajakan.
Utama, R. A. (2024a). Sejarah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP) 1997-2002. Jurnal Hukum Fiskal.
Utama, R. A. (2024b). Kritik Terhadap Institusi Pra-2002 dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak. Jurnal Hukum Fiskal.
Wijaya, T. (2025). Implikasi Eksekusi Putusan Pengadilan Pajak Terhadap Permohonan
Peninjauan Kembali. Jurnal Kebijakan Publik.
Baca Juga: Integrasi Pengadilan Pajak ke MA: Dinamika, Tantangan dan Arah Reformasi Hukum
Wiratama, S. (2024). Perbandingan Raad van Beroep dengan
Institusi Pasca-Kemerdekaan. Jurnal Administrasi Publik.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI