Cari Berita

Kontroversi Sumpah Pocong: Sejarah dan Kedudukan dalam Sistem Peradilan

Eliyas Eko Setyo - Dandapala Contributor 2025-03-27 08:30:31
dok.Google

INGATKAH kalian akan Sumpah pocong dilakukan Saka Tatal di Padepokan Amparan Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat? Dalam sumpah pocong tersebut, Saka Tatal mengaku siap diazab Allah apabila berbohong. Saka Tatal adalah mantan terpidana pembunuhan VinaCirebon.

Jadi mengingatkan kita tentang eksistensi sumpah pocong nge-trend di tahun 90-2010 an dan sempat pernah di Filmkan dengan aktor Rano Karno dan Artis Yessy Gusman Nah bagaimana sejarahnya di Indonesia dan bagaimana kedudukanya di Indonesia?

Baca Juga: Pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat: Ancaman atau Perlindungan terhadap Profesi Advokat?

Sumpah pocong acap kali dibicarakan oleh masyarakat yang masih kental dengan adat istiadat. Istilah sumpah pocong sendiri sudah tidak asing didalam mayoritas masyarakat Indonesia, disamping sering disebut sumpah pocong sendiri sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia umumnya sumpah pocong dilakukan oleh masyarakat yang memeluk agama Islam, sumpah tersebut sudah kental dalam pikiran masyarakat dan mengakar dalam lingkungan.

sumpah pocong adalah sumpah yang disertai tidur membujur ke utara menghadap kiblat (barat) di dalam masjid dan berkafan (dipocong seperti mayat). Jika berbicara secara yurisdiksi sumpah sendiri diakui dalam peradilan perdata dan juga diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 HIR (Herzien Inlandsch Reglement).

Menurut Pasal 177 HIR, Sumpah sendiri dibagi ke dalam 2 (dua) macam. Pertama, sumpah pihak, atau sumpah “decisoir“, yaitu sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak yang lain. Kedua, sumpah jabatan, atau sumpah suppletoir, yaitu sumpah yang menurut jabatan diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara.

Menurut pasal 177 HIR ini ternyata dengan jelas, bahwa sumpah itu baik decisoir maupun suppletoir merupakan bukti yang mutlak, artinya setelah pihak yang bersangkutan mengangkat sumpah, maka hakim harus menetapkan keterangan untuk apa pihak itu telah bersumpah sebagai telah cukup terbukti, meskipun barangkali ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran keterangan itu. Atas dasar ini sangat dimungkinkan mekanisme ini digunakan dalam sistem peradilan yang dikenal sebagai sumpah mimbar. Sumpah ini bisa menjadi alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 177 jo. Pasal 155 dan 156 HIR dan Pasal 1932 dan 1941 Burgerlijk Wetbook (BW).

Sumpah pocong sendiri sebenarnya tidak dikenal atau tidak ada dalam Burgerlijk Wetbook (BW) dan peradilan perdata itu sendiri. Sumpah yang diakui dalam peradilan perdata sendiri yaitu seperti yang sudah dijelaskan yaitu sumpah decisoir dan suppletoir. Sumpah pemutus dapat dikembalikan (pasal 156 ayat 2 HIR). Artinya, pihak yang diminta untuk bersumpah dapat meminta agar pihak lawannya juga bersumpah. Sumpah ini harus bersifat Litis Decissoir, yaitu benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok perselisihan. Sumpah ini bisa digunakan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata dengan syarat diucapkan di depan hakim dalam proses pemeriksaan perkara, dan tidak ada bukti lain yang dapat diajukan para pihak alias pembuktian dalam keadaan buntu.

Jika berkaca pada yurisprudensi sumpah pocong sendiri pernah dilakukan Sumpah ini pernah dipraktikkan di Pengadilan Negeri Ketapang yang dilakukan untuk menuntaskan perkara sengketa tanah. Keberadaan sumpah pocong sendiri seakan sudah menjadi melekat dalam pemikiran masyarakat yang masih bepegang teguh adat istiadat untuk menentukan kebenaran kekuatan pembuktiannya. Tidak hanya itu sumpah pocong pernah dilakukan di Pengadilan Agama Lumajang dengan nomer putusan perkara No: 1252/Pdt.G/1996/PA.Lmj, Pendapat Hakim Pengadilan Agama Lumajang Menjadikan Sumpah Pocong Sebagai sumpah decissoir dapat diterapkan di lembaga Pengadilan Agama menurut Hukum Acara Pengadilan Agama. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, tidak ada praktek sumpah pocong di Pengadilan Agama dan juga tidak ada peraturan yang secara eksplisit mengatur tentang legalitas sumpah pocong. Menurut Majelis Hakim, dalam hal ini merupakan Hakim Tunggal, yaitu Bapak Drs. H. Mafrudin Maliki, SH mengatakan bahwa:

Sebenarnya, pihak Pengadilan Agama tidak melihat apakah itu sumpah pocong, sumpah gereja atau sumpah-sumpah yang lainnya. Karena itu hanyalah bentuknya saja yang menjadi kebiasaan (budaya) masyarakat. Inti dari permohonan sumpah pocong tersebut adalah kalimat sumpahnya, yang nantinya itu baru bisa disebut sebagai sumpah decissoir. Dan bisa menjadi pertimbangan majelis hakim di dalam mengabulkan permohonannya.  

Dari penjelasan diatas, memaparkan tentang argumentasi Hakim untuk bisa menerima sumpah pocong yang dipergunakan sebagai sumpah decissoir di lingkungan Pengadilan Agama. Pihak Pengadilan Agama tidak begitu mempermasalahkan bentuk sumpahnya yang diajukan oleh pihak yang berperkara, yang penting itu bisa disepakati antara kedua belah pihak, baik Termohon sebagai yang memberikan perintah dengan mengajukan Permohonan Sumpah Decissoir yang berbentuk Sumpah Pocong, maupun oleh Pemohon yang dibebani untuk mengucapkan sumpah tersebut. Kesepakatan atau penerimaan tantangan oleh Pemohon inilah terhadap bentuk sumpah pocong yang dimaksud oleh Termohon membuat hakim perlu untuk mengabulkan permohonan sumpah decissoir yang diajukan oleh Termohon. Yang pasti, isi atau kalimat sumpahnya itulah yang nanti akan menjadi bahan pertimbangan hakim apakah sumpah pocong tersebut layak dijadikan sebagai sumpah pemutus yang bersifat litis decissoir. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu perkara hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan atau menunjukkan alat bukti. Apabila hakim menerapkan lain dengan yang diatur dalam perundang-undangan maka tentu disertai dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang logis dan rasional.Jadi menurut Majelis Hakim, yang dilihat adalah sumpahnya, bukan pocongnya. Sehingga, penilaian hakim lebih fokus melalui kalimat sumpah tersebut yang bisa dijadikan sebagai salah satu alat bukti, sedangkan pocong hanya diposisikan sebagai asesoris saja.

Analisis terhadap sumpah pocong diarahkan kepada pendapat Hakim dan juga pertimbangan yang digunakan untuk dapat mengabulkan dan menerima permohonan sumpah decissoir dengan cara sumpah pocong.

Sudikno Mertokusumo pernah mengatakan didalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia yaitu, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (pasal 16 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya menurut asas ius curia novit. Jika hakim tersbut tidak dapat menemukan hukum atau Undang-Undang yang berlaku untuk mengadili maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004).

Maka dalam hal ini sumpah pocong sebagai sumpah pemutus bisa saja dilakukan dan atau dapat dilakukan karena dalam sistem pembuktian Acara perdata kita mengakui suatu keyakinan Hakim sebagai unsur penentuan untuk menentukan kebenaran dalam pembuktian suatu perkara dalam pengadilan. Bisa kita sumpulkan bahwa sumpah pocong pada dasarnya bukanlah sebuah praktik yang dapat ditempuh oleh Hakim pada kasus acara perdata tetapi jika hakim tidak menemukan suatu hukum yang tertulis atau Undang-Undang hakim bolehkan suatu sumpah pocong untuk menjadi alat bukti menurut, pasal 158 ayat (1) HIR, yang membolehkan pelaksanaan sumpah dimasjid, gereja dan klenteng.

Kembali ke kisah Saka Tatal adalah mantan terpidana pembunuhan Vina Cirebon. Saka Tatal telah mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait kasus tersebut. Berikut adalah isi sumpah pocong Saka Tata:"Saya bersumpah bahwa saya tidak melakukan pembunuhan atau pemerkosaan terhadap Eki dan Vina. Demi Allah bahwa saya dan ketujuh terpidana adalah salah tangkap, yang telah disiksa, disetrum, diberi air kencing, dan direkayasa kasus ini oleh Iptu Rudiana.

"Apabila saya berdusta dalam sumpah pocong ini, maka saya siap diazab oleh Allah dengan azab yang teramat pedih sesegera mungkin baik di dunia maupun di akhirat. Allahu Akbar, Allahu Akbar," teriak Saka Tatal.

 

Dari Kasus dan Sejarah Sumpah Pocong atau yang dikenal dalam Bahasa hukumnya sumpah “decisoir“, Maka Hukum adalah untuk rakyat, bukan sebaliknya. Sedangkan seorang hakim bukanlah hanya teknisi undang-undang saja, tetapi juga makhluk sosial. Sehingga segala bentuk permasalahan yang ada di pengadilan pada umumnya merupakan sebuah kegelisahan masyarakat, yang harus segera dicarikan solusi penyelesaiannya oleh penegak hukum. Sudah terdapat aturan di dalam pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004 yang melegalkan hakim untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan hukum yang ada di masyarakat (hukum adat) walapun kini dalam KUHP Baru 2023 Pasal 2 dalam KUHP baru menyiratkan representasi bersama dari perilaku sosial dalam suatu masyarakat tertentu (Living Law). Hal inilah yang seharusnya menjadi prinsip hakim agar tercipta keadilan sosial.(EES)


Sumber Referensi:

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty, 1993)

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta:

Yayasan Al-Hikmah, 2000)

Jurnal Analisis, Desember 2014, Vol.3 No.2 : 115 – 121.

Baca Juga: Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya

https://regional.kompas.com/read/2024/08/10/151700878/isi-lengkap-sumpah-pocong-saka-tatal-bersumpah-tak-terlibat-kasus-vina.
https://www.kompasiana.com/fatkulmujib3229/6607448914709334c92de1c4/penerapan-hukum-adat-dalam-kuhp-baru-uu-no-1-2023-dan-kewajiban-hakim-mensubbstansikan-norma-hukum-adat


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum