Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan sekadar deklarasi politik, melainkan fondasi pembentukan sistem hukum nasional yang berdaulat dan bebas dari warisan kolonial. Meskipun UUD 1945 menegaskan pentingnya penyelenggaraan kehidupan hukum yang adil, praktik hukum pidana Indonesia lama terkungkung dalam pendekatan yuridis-formal yang lebih mengutamakan legalitas prosedural daripada keadilan substantif[1].
Pengesahan
RKUHP pada 6 Desember 2022 menandai koreksi paradigmatik yang mengakui hukum
yang hidup dalam masyarakat (living law) sebagai sumber hukum yang sah[2],
serta mendorong pergeseran dari legalitas formil menuju legalitas materiil yang
lebih responsif terhadap realitas sosial.
Dalam kerangka pembaruan tersebut, Pasal 411 KUHP mengenai tindak pidana perzinaan muncul sebagai ketentuan yang menimbulkan perdebatan serius. Pasal ini mengkriminalisasi persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istri[3], dan unsur “bukan suami atau istrinya” menjadi problematis ketika diterapkan kepada pasangan yang menikah secara agama atau adat tetapi belum mencatatkan perkawinannya.
Baca Juga: Memaknai Status “Kawin Belum Tercatat” pada Dokumen Kependudukan
Secara sosial dan keagamaan,
mereka telah memenuhi syarat sahnya perkawinan, tetapi dalam perspektif hukum
positif, absennya pencatatan menyebabkan mereka diperlakukan seolah tidak
terikat perkawinan. Ketegangan ini semakin kuat dengan rezim UU No. 1 Tahun
1974 yang mensyaratkan pencatatan sebagai bagian dari sahnya perkawinan secara
hukum negara, meskipun pada hakikatnya keabsahan perkawinan tetap bersumber
dari hukum agama[4].
Penjelasan Pasal 411 ayat (1) KUHP memperluas cakupan perzinaan melalui berbagai bentuk relasi, baik ketika pelaku berada dalam ikatan perkawinan maupun ketika salah satu atau keduanya tidak terikat perkawinan.
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa perzinaan dapat terjadi ketika orang yang menikah melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinannya, ketika seseorang yang tidak menikah melakukan persetubuhan dengan pihak yang terikat perkawinan, maupun ketika kedua belah pihak sama-sama tidak terikat perkawinan.
Namun, penjelasan ini tidak memberikan kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “perkawinan”, apakah merujuk pada definisi sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yakni sah apabila dilakukan menurut hukum agama—atau apakah merujuk pada perkawinan yang dicatatkan secara administratif.
Kekosongan ini mempertegas kecenderungan KUHP untuk menggunakan ukuran
legalitas administratif dalam menentukan status “suami atau istri”, sehingga
berpotensi mengabaikan keabsahan perkawinan menurut agama yang pada prinsipnya
telah diakui oleh hukum nasional.
Ketidaksesuaian antara norma positif dan fakta sosial menjadi semakin relevan ketika mencermati konstruksi Pasal 411 ayat (2) huruf b KUHP. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa terhadap orang yang “tidak terikat perkawinan”, pengaduan dalam tindak pidana perzinaan dapat dilakukan oleh orang tua atau anaknya.
Permasalahan menjadi kompleks ketika suatu perkawinan telah
sah menurut agama tetapi tidak dicatatkan, misalnya karena tidak memperoleh
restu orang tua. Dalam konfigurasi KUHP, pasangan tersebut tetap diperlakukan
sebagai “tidak terikat perkawinan”, sehingga hubungan seksual dalam ikatan yang
sah secara agama dapat dikualifikasikan sebagai perzinaan dan bahkan dapat
diadukan oleh orang tua mereka sendiri.
Kondisi ini menimbulkan anomali normatif: perkawinan
yang sah menurut agama dan seharusnya diakui berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan tidak dioperasionalkan sebagai dasar pengecualian unsur perzinaan.
Akibatnya, Pasal 411 KUHP membuka ruang bagi penggunaan norma pidana sebagai
instrumen kontrol sosial oleh keluarga, sehingga berpotensi mengkriminalisasi
pasangan yang secara substantif telah memenuhi syarat sahnya perkawinan menurut
agama. Situasi tersebut menunjukkan kuatnya dominasi legalitas administratif
dalam pengaturan tindak pidana perzinaan, sekaligus menegaskan urgensi
penafsiran yang tidak terjebak pada formalisme hukum semata.
Dalam konteks inilah pendekatan hukum progresif yang dikembangkan Prof. Satjipto Rahardjo menjadi relevan. Hukum progresif memandang hukum sebagai sarana mencapai keadilan substantif dan menempatkan manusia sebagai pusat orientasi hukum[5].
Landasan teoritis ini diperkuat oleh legitimasi normatif dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat[6].
Dengan
demikian, penafsiran terhadap unsur “bukan suami atau istrinya” tidak dapat
dibatasi pada ukuran administratif semata, tetapi harus mempertimbangkan
keabsahan perkawinan menurut agama dan pengakuan sosial yang melekat pada
pasangan tersebut.
Dalam kerangka tersebut, living law berupa nilai sosial, moral, adat, dan agama menjadi parameter penting dalam menilai keabsahan relasi suami-istri. Hal ini telah ditegaskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 25/Pdt.G/2002/PN.Mdn, yang menyatakan bahwa perkawinan yang sah menurut agama dan menimbulkan akibat hukum sosial tetap harus diakui meskipun tidak tercatat secara administratif[7]. Preseden ini menunjukkan bahwa hukum tidak dapat menutup diri dari kenyataan sosial yang hidup dan berkembang.
Pendekatan progresif terhadap Pasal 411 KUHP tentu
membawa konsekuensi metodologis. Pada satu sisi, pengakuan terhadap perkawinan
sah menurut agama meskipun belum dicatatkan merupakan langkah yang selaras dengan
keadilan substantif. Namun pada sisi lain, fleksibilitas yang tidak terukur
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka ruang subjektivitas. Karena
itu, pendekatan ini harus dirumuskan dengan kehati-hatian dan dibingkai oleh
koherensi antara legalitas formal, keadilan substantif, dan realitas sosial.
Sebaliknya, penerapan Pasal 411 KUHP secara tekstual
tanpa mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan agama berpotensi memperluas
kriminalisasi terhadap pasangan yang sah menurut agama namun belum tercatat
secara negara. Hal ini dapat menciptakan ketimpangan perlakuan hukum, membebani
sistem peradilan, serta memperkuat konflik antara hukum negara dan hukum adat.
Apabila hukum dianggap tidak responsif terhadap nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat, maka legitimasi hukum sebagai alat rekayasa sosial dapat tergerus.
Dengan demikian, Pasal 411 KUHP menghadapi tantangan
serius ketika berhadapan dengan pluralisme hukum Indonesia. Untuk mencegah
kriminalisasi yang bertentangan dengan keadilan substantif, diperlukan
pendekatan interpretatif yang menggali living law dan menempatkan kemanusiaan
sebagai orientasi utama penegakan hukum. Negara perlu menyusun kebijakan
afirmatif yang melindungi perkawinan sah menurut agama atau adat, serta
memastikan bahwa regulasi administratif tidak menjadi hambatan bagi pengakuan
hukum yang berkeadilan. (ldr)
Daftar
Pustaka
[1] I. Sukadi, “Matinya Hukum Dalam Proses
Penegakan Hukum Di Indonesia (The Powerless of Law in the Process of Law
Enforcement in Indonesia),” 2011.
[2] Kristiyadi, “Pergeseran Asas Legalitas
Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia,” Jurnal Dunia Ilmu Hukum (JURDIKUM),
vol. 1, no. 1, hlm. 25–27, Jun 2023, doi: 10.59435/jurdikum.v1i1.100.
[3] Republik Indonesia. (2023). Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
[4] Republik Indonesia. (1974). Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[5] A. Laili dan A. R. Fadhila, “TEORI HUKUM
PROGRESIF (Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.).”
[6] Republik Indonesia. (2009). Undang-undang
Nomor 48 Tahun tentang Kekuasaan Kehakiman
Baca Juga: Fenomena Dispensasi Kawin Pasca Perkawinan Terlaksana Secara Adat dan Agama di Bali
[7] Pengadilan Negeri Medan. (2002). Putusan Pengadilan
Negeri Medan Nomor 25/Pdt.G/2002/PN.Mdn. [Putusan Pengadilan.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI