Arsitektur fundamental Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan & PKPU) dibangun di atas dua asas kardinal: paritas creditorum (kesetaraan kreditor konkuren) dan concursus creditorium (penyelesaian utang secara kolektif). Untuk menjamin tercapainya tujuan ini, undang-undang memberikan mandat sentral kepada Kurator.
Pasal 69 ayat (1) UU Kepailitan & PKPU secara imperatif menyatakan
bahwa tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta
pailit. Mandat ini bersifat fidusiari, di mana Kurator wajib bertindak
independen demi kepentingan terbaik seluruh kreditor secara kolektif.
Jantung dari proses kepailitan terletak
pada tahap verifikasi atau pencocokan piutang. Di sinilah tugas fidusiari
Kurator diuji. Namun, dalam pelaksanaan tugas vital ini, Kurator dihadapkan
pada sebuah antinomi norma yang kritis, yakni Pasal 126 ayat (5) UU Kepailitan
& PKPU. Norma ini berbunyi: "Pengakuan suatu piutang yang dicatat
dalam berita acara rapat mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam kepailitan
dan pembatalannya tidak dapat dituntut oleh Kurator, kecuali berdasarkan alasan
adanya penipuan."
Baca Juga: Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan
Jika ditafsirkan secara literal, ketentuan ini memberikan kekuatan absolut pada pengakuan yang diberikan oleh Debitor Pailit. Norma ini seolah mengasumsikan Debitor Pailit selalu bertindak jujur. Realitas yuridis seringkali menunjukkan risiko sebaliknya: adanya kolusi antara Debitor Pailit yang beriktikad buruk dengan kreditor terafiliasi.
Dengan
sekadar "mengakui" piutang fiktif, Debitor Pailit dapat secara
efektif memasukkan tagihan tidak sah ke dalam boedel pailit, yang secara
langsung menggerus porsi yang seharusnya diterima oleh kreditor konkuren
lainnya yang sah. Pasal 126 ayat (5) seolah melumpuhkan Kurator, dengan
hanya memberikan satu dalil perlawanan yang sangat sempit: "penipuan".
Berdasarkan latar belakang antinomi
yuridis tersebut, analisis dalam tulisan ini difokuskan untuk menjawab
permasalahan fundamental. Pertama, apakah frasa "penipuan" dalam
Pasal 126 ayat (5) UU Kepailitan & PKPU harus ditafsirkan secara
limitatif (restriktif) semata-mata sebagai delik pidana bedrog (misalnya,
Pasal 378 KUHP), ataukah dapat ditafsirkan secara ekstensif (teleologis) untuk
mencakup pula perbuatan kolusif, perikatan mala fide, atau tagihan
yang didasarkan pada perjanjian yang mengandung cacat yuridis materiil? Kedua,
bagaimana kedudukan hukum dan kekuatan bantahan Kurator terhadap piutang yang
telah diakui oleh Debitor Pailit, apabila bantahan tersebut didasarkan pada
temuan cacat formil dan materiil dalam perikatan dasarnya, bukan atas dasar
"penipuan" dalam terminologi pidana?
Apabila frasa "penipuan" dalam
Pasal 126 ayat (5) ditafsirkan secara restriktif, yakni sebagai delik
pidana yang harus dibuktikan, maka Kurator akan mengalami kelumpuhan
fungsional. Pembuktian delik penipuan dalam hukum pidana mensyaratkan
pembuktian mens rea serta rangkaian kebohongan yang rumit, yang idealnya
harus terbukti melalui putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Standar pembuktian ini mustahil dipenuhi
dalam koridor proses kepailitan yang bersifat sumir dan cepat. Jika
penafsiran ini dipertahankan, Kurator akan dipaksa untuk menerima dan mencatat
piutang yang secara nyata mencurigakan, fiktif, atau didasarkan pada perjanjian
yang cacat hukum, hanya karena Debitor Pailit telah "mengakuinya".
Hal ini secara langsung mencederai tugas fidusiari Kurator berdasarkan Pasal 69
ayat (1) dan mengkhianati asas paritas creditorum. Oleh karena
itu, penafsiran literal atas frasa "penipuan" adalah disfungsional
dan bertentangan dengan tujuan hukum kepailitan itu sendiri.
Tugas Kurator dalam Pasal 69 ayat (1) bukanlah
sekadar administratif. Kurator adalah penjaga boedel pailit. Kewenangannya
dalam verifikasi piutang tidak hanya bersifat formil, melainkan bersifat materiil (menguji
keabsahan dan kebenaran hakiki dari suatu tagihan). Kurator wajib melindungi
harta pailit dari klaim-klaim yang tidak sah, terlepas dari sikap Debitor
Pailit.
Dalam praktik, Kurator dapat menemukan
kejanggalan fundamental dalam tagihan yang, ironisnya, justru diakui oleh
Debitor Pailit. Sebagai ilustrasi, bayangkan sebuah tagihan konkuren bernilai
puluhan miliar rupiah diajukan kepada Kurator. Debitor Pailit, dalam rapat
verifikasi, secara eksplisit mengakui seluruh tagihan tersebut. Namun,
hasil verifikasi materiil Kurator menemukan fakta-fakta yuridis yang
problematis.
Misalnya, perjanjian pinjaman yang menjadi
dasar tagihan tersebut ternyata melanggar Anggaran Dasar perusahaan Kreditor
itu sendiri, yang mengharuskan persetujuan "Dewan Komisaris" untuk
meminjamkan uang, sementara bukti yang ada hanya persetujuan dari satu orang
Komisaris Utama. Lebih jauh, dari sisi Debitor Pailit, perjanjian itu
mungkin hanya ditandatangani oleh individu-individu yang mengklaim sebagai perwakilan joint
operation, tanpa tanda tangan dari Direktur entitas korporasi yang sah yang
membentuk joint operation tersebut.
Kejanggalan bisa berlanjut pada arah
transaksi. Aliran dana pinjaman sebesar puluhan miliar tersebut mungkin tidak
dapat dibuktikan melalui mekanisme perbankan yang lazim, melainkan hanya didasarkan
pada beberapa lembar kuitansi tunai. Dan ketika Kurator meminta bukti
pembukuan, Debitor Pailit yang tadi "mengakui" utang tersebut, justru
tidak dapat membuktikan bahwa dana tersebut benar-benar pernah masuk ke dalam
kas perusahaan.
Di hadapan fakta-fakta objektif mengenai
cacat yuridis perikatan dan ketidakwajaran transaksi yang ekstrem, haruskah
Kurator terbelenggu oleh pengakuan Debitor Pailit?
Di sinilah letak urgensi penafsiran
ekstensif. Frasa "penipuan" dalam Pasal 126 ayat (5) tidak boleh
direduksi maknanya menjadi bedrog pidana semata. Frasa ini
harus ditafsirkan secara teleologis (sesuai tujuan hukumnya), yakni sebagai constructive
fraud. "Penipuan" dalam konteks ini adalah
penipuan terhadap totalitas kreditor konkuren lainnya. Tindakan Debitor Pailit
yang secara sadar mengakui piutang, yang ia ketahui dasar perjanjiannya cacat
hukum, atau yang ia ketahui dananya tidak pernah benar-benar masuk ke pembukuan
perusahaan, adalah perbuatan mala fide. Perbuatan kolusif
inilah, yang bertujuan memasukkan tagihan tidak sah untuk menggerus boedel
pailit, yang harus dimaknai sebagai "penipuan" dalam terminologi
hukum kepailitan.
Dengan demikian, "penipuan"
dalam Pasal 126 ayat (5) mencakup, namun tidak terbatas pada: transaksi
kolusif, perikatan yang didasari iktikad buruk, dan upaya sadar memasukkan
tagihan yang didasarkan pada perikatan yang terbukti batal demi hukum atau
dapat dibatalkan karena mengandung cacat yuridis materiil atau ketidakwajaran
transaksi yang ekstrem.
Tindakan Kurator yang membantah tagihan
semacam itu, sejatinya adalah pelaksanaan dari pengecualian
"penipuan" itu sendiri. Kewenangan verifikasi materiil Kurator untuk
menguji keabsahan perikatan dasar harus diposisikan lebih tinggi daripada
sekadar pengakuan Debitor Pailit yang mungkin kolusif. Praktik peradilan yang
progresif pun cenderung mengafirmasi kewenangan materiil Kurator ini, dengan
menerima bantahan Kurator yang didasarkan pada temuan cacat yuridis dan
ketidakwajaran transaksi, sekalipun Debitor Pailit telah memberi pengakuan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan,
yaitu:
Pertama,
penafsiran literal dan restriktif terhadap frasa "penipuan" dalam
Pasal 126 ayat (5) UU Kepailitan & PKPU adalah keliru secara
sistematis. Penafsiran demikian akan melumpuhkan fungsi pengawasan Kurator
(Pasal 69 ayat (1)), membuka ruang bagi kolusi Debitor Pailit mala fide,
dan pada akhirnya mencederai asas fundamental paritas creditorum.
Kedua,
kewenangan Kurator dalam proses verifikasi tidak hanya bersifat formil,
melainkan bersifat materiil.
Ketiga,
praktik peradilan telah menunjukkan kecenderungan untuk menerima alasan
"cacat yuridis" pada perjanjian dasar dan "ketidakwajaran
transaksi" sebagai alasan yang sah bagi Kurator untuk memngecualikan kekuatan
pengakuan Debitor Pailit.
Baca Juga: Gandeng Hakim Niaga PN Makassar, UNHAS Gelar Seminar Nasional Kepailitan
Keempat,
secara doktrinal, frasa "penipuan" dalam Pasal 126 ayat (5) harus
ditafsirkan secara ekstensif sebagai constructive fraud, yakni
setiap perbuatan yang beriktikad buruk dan bertujuan memasukkan tagihan yang
tidak sah atau cacat hukum ke dalam boedel pailit, sehingga merugikan
kreditor kolektif lainnya. (asn)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI