Cari Berita

Menakar Keadilan Lingkungan dalam Kacamata Hukum Pembangunan

Rakhmat Al Amin-Hakim PN Wangi-Wangi, Wakatobi - Dandapala Contributor 2025-12-21 11:40:05
Dok. Penulis.

Wakatobi adalah sepenggal surga yang jatuh ke bumi. Keindahan bawah lautnya bukan sekadar aset pariwisata, melainkan nadi kehidupan bagi masyarakat Sulawesi Tenggara dan identitas maritim Indonesia.

Namun, di balik pesona terumbu karang yang memikat dunia, terdengar dentuman yang menyayat hati: bom ikan. Praktik destruktif ini bukan hanya membunuh ikan, tetapi juga menghancurkan masa depan ekosistem yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih.

Sebuah kasus yang diputus oleh Pengadilan Negeri Wangi Wangi dengan Nomor 10/Pid.B/LH/2022/PN Wgw membuka mata kita tentang dilema penegakan hukum lingkungan di negara berkembang. Dua nelayan lokal, Toni Cangu dan Awi Bin Geni, tertangkap tangan melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak.

Baca Juga: Izin Cerai dari Atasan Bagi PNS, Apakah Mutlak?

Ironisnya, lokasi peledakan tersebut terjadi di perairan Karang Sombano yang secara hukum telah ditetapkan sebagai Zona Pariwisata Taman Nasional Wakatobi. Wilayah ini seharusnya sakral dari aktivitas eksploitatif karena diperuntukkan bagi kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan.

Majelis Hakim pada akhirnya menjatuhkan vonis satu tahun penjara dan denda Rp10 juta kepada para terdakwa. Putusan ini menarik untuk dibedah, bukan hanya dari aspek pasal-pasal yang dilanggar, melainkan melalui pisau analisis Teori Hukum Pembangunan yang digagas oleh begawan hukum Indonesia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Teori ini memandang hukum tidak boleh sekadar menjadi "penjaga malam" yang statis, melainkan harus berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering) dan mengabdi pada kepentingan pembangunan nasional.

Dalam kacamata Mochtar, hukum di negara berkembang memiliki tugas ganda: menjamin kepastian demi pembangunan dan memelihara rasa keadilan masyarakat. Putusan hakim dalam kasus ini tampaknya berusaha meniti buih di antara dua gelombang besar tersebut.

Pertama, mari kita lihat dari aspek hukum sebagai pengawal pembangunan. Wakatobi telah ditetapkan sebagai Taman Nasional dan destinasi wisata prioritas. Ketika terdakwa meledakkan bom di Zona Pariwisata, mereka sejatinya sedang menyabotase infrastruktur ekonomi daerah. Hakim menyadari hal ini dengan menyatakan perbuatan terdakwa sebagai "keadaan yang memberatkan" karena membahayakan kelestarian Sumber Daya Alam dan mengganggu kegiatan pengembangan potensi wisata alam di Taman Nasional Wakatobi.

Langkah progresif terlihat ketika hakim memutuskan untuk merampas barang bukti utama berupa satu unit perahu body batang, mesin penggerak merk Jiandong 26 PK, dan satu unit mesin kompresor untuk negara. Ini adalah manifestasi dari fungsi rekayasa sosial. Dengan mencabut alat produksi kejahatan, hukum berupaya memutus mata rantai kerusakan secara fisik. Dalam perspektif pembangunan, ini adalah langkah taktis untuk sterilisasi alat yang disalahgunakan untuk merusak aset nasional.

*Namun, Teori Hukum Pembangunan juga mengajarkan bahwa hukum harus "membumi" dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Di sinilah letak perdebatan menarik dari vonis tersebut. Jaksa Penuntut Umum awalnya menuntut hukuman dua tahun penjara dan denda yang cukup fantastis, yakni Rp200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Namun, hakim memangkasnya menjadi satu tahun penjara dan denda hanya Rp10 juta subsidair 1 bulan kurungan.*

*Mengapa disparitas ini terjadi? Hakim mempertimbangkan sisi humanis. Dalam pembelaannya, para terdakwa memohon keringanan karena mereka adalah tulang punggung keluarga. Selain itu, faktor bahwa para terdakwa mengakui, menyesali perbuatannya, dan belum pernah dihukum menjadi pertimbangan yang meringankan. Mochtar Kusumaatmadja selalu menekankan bahwa hukum nasional harus sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Menghukum nelayan kecil dengan denda Rp200 juta mungkin dianggap tidak realistis secara sosiologis, yang justru bisa kontraproduktif dengan tujuan pembangunan manusia itu sendiri.*

*Akan tetapi, jika kita kembali pada fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan perilaku, vonis ringan ini menyisakan celah kritik. Apakah denda Rp10 juta cukup memberikan efek jera (deterrent effect) agar masyarakat luas tidak lagi menggunakan bom? Teori Hukum Pembangunan menuntut hukum agar efektif mengubah perilaku kolektif.*

Selain itu, fakta persidangan mengungkap sebuah ironi: Terdakwa I dan II mengaku tidak mengetahui bahwa perairan Karang Sombano adalah kawasan Zona Pariwisata yang dilarang keras untuk menangkap ikan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan belum sampai pada tahap edukasi dan internalisasi nilai di tingkat akar rumput. Hukum baru hadir sebagai "pemukul" di akhir, bukan sebagai panduan perilaku sejak awal. Pembangunan hukum tidak hanya soal mengetuk palu di ruang sidang, tetapi bagaimana regulasi zonasi Taman Nasional itu dipahami hingga ke dapur-dapur nelayan.

Kesimpulannya, Putusan Pengadilan Negeri Wangi Wangi ini adalah cerminan dari upaya kompromi antara ketegasan menjaga aset pembangunan lingkungan dan empati terhadap realitas sosial nelayan. Perampasan perahu dan mesin untuk negara adalah sinyal ketegasan yang tepat, namun edukasi zonasi yang masif adalah pekerjaan rumah yang belum selesai. Agar kelak, ledakan yang terdengar di Wakatobi hanyalah ledakan kekaguman wisatawan, bukan ledakan bom yang menyisakan serpihan karang mati. (ldr/asn)

 

Referensi

Kusumaatmadja, Mochtar. (1986). Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta.

Kusumaatmadja, Mochtar. (2002). Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni.

Prasetyo, T. (2010). Hukum Pidana dan Perspektif Teori Hukum Pembangunan. Jurnal Hukum Progresif.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7651/Kpts-II/2002 tentang Penetapan Kawasan Kepulauan Wakatobi dan Perairan di Sekitarnya sebagai Taman Nasional.

Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP

Putusan Pengadilan Negeri Wangi Wangi Nomor 10/Pid.B/LH/2022/PN Wgw. (2022) 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…