Bayangkan
seorang bawahan berdasar atas perintah yang sah melakukan perbuatan yang
tergolong tindak pidana, semata-mata akibat tidak terungkapnya atau tidak
diketahui rentetan fakta hukum yang sesungguhnya. Fenomena yang demikian inilah
menjadi dasar pembelaan dalam pemeriksaan persidangan, karena tentunya hakim
harus memastikan telah ada unsur kesengajaan sebagai dasar penghukuman.
Bilamana tidak dijumpai unsur demikian, maka boleh jadi fenomena ini disebut
dengan Feitelijk Dwaling¸ atau kesesatan fakta.
Membedah
Konsep Feitelijk Dwaling Dalam Tataran Teoritis
Meski istilah Feitelijk
Dwaling tidak ditemukan dalam KUHP, serta dalam penjelasannya atau yang
disebut Memorie van Toelichting hanya sebatas memuat maksud dolus/ culpa
saja, Feitelijk Dwaling dapat diartikan sebagai suatu perkembangan dari
bentuk kealpaan, asalnya adalah dari sesuatu yang tidak dapat disadari telah
adanya fenomena hukum yang masuk ke dalam ranah tindak pidana, muaranya karena
ketidaktahuan meski sudah menerapkan unsur kehati-hatian (Hiariej, 2013).
Baca Juga: Perlindungan Hukum Penyewa Benda Bergerak Objek Jaminan Fidusia
Pasalnya, feitelijk
dwaling dititikberatkan sebagai penentu pelaku tidak dikenai
pertanggungjawaban pidana. Sebab karena adanya minim fakta, atau
ketidaksesuaian fakta yang secara sengaja atau tidak sengaja dikaburkan,
sehingga menyesatkan kehendak dari pelaku untuk berbuat yang seharusnya. Maksud
dan apa yang ditujukan dari kehendak tidak lagi dapat dibuktikan.
Pisau
analisnya dalam menilai perbuatan apakah tergolong sebagai tindak pidana atau
tidak adalah dengan membedah unsur kealpaan dan kausalitas. Menentukan
perbuatan dengan satu per satu unsur dari kealpaan menjadi penting untuk
membuktikan sebab musabab fakta hukum sudah sampai pada taraf tidak lagi dapat
membayangkan ketidakhati-hatian tidak yang dapat diduga-duga, sehingga
terlanjur mengambil keputusan atau tindakan yang konsekuensi hukumnya mengarah
pada tindak pidana.
Ilmiahnya,
unsur kealpaan/ culpa itu sendiri dapat dibedah melalui bagaimana pelaku
seharusnya atau tidak membayangkan timbul suatu akibat yang terjadi atas
perbuatannya, umumnya dengan mengukur kadar "kehati-hatian" dan
"penduga-dugaan" sebagai sesuatu yang saling berkelindan, ketika akan
dan saat melakukan, atau justru tidak melakukan sesuatu yang menjadi bagian
dari tindak pidana. Maka yang dilihat adalah ruangnya masuk ke dalam kategori
culpa lata (kurangnya kadar kehati-hatian yang teramat besar) atau justru
sebaliknya dalam culpa levis (Meliala, 2020).
Dengan cara
lain, menentukan kelalaian yang paling rasional adalah memakai perspektif dolus
(kesengajaan) sebagai irisan, dengan unsur yang digunakan adalah menghendaki
dan mengetahui (willen an wetten). Dalam menghendaki sebagai suatu
maksud (voornemen), ia lahir dari sikap batin yang tentunya sangat sulit
untuk diukur secara pasti oleh siapapun. Satu-satunya penilaian terhadap
kehendak adalah melihat "tujuan" yang ditujukan dari perbuatan itu,
dengan menelisik apa yang menghendakinya dan apa akibat dari yang
dikehendakinya.
Sedangkan
terhadap unsur pengetahuan, meski tanpa adanya kehendak, tetapi karena dalam
kapasitas diri pelaku seharusnya sudah bisa membayangkan bahwa seharusnya sudah
dapat menduga-duga tetapi tidak melaksanakan kehati-hatian, maka unsur
mengetahui bisa saja sudah terpenuhi. Sebaliknya, jikalau pelaku dibebani suatu
kewajiban lain yang semisal berdasar surat perintah, sedang tanpa diketahui ada
maksud mengarah pada tindak pidana sebelumnya diluar dari pengetahuannya, maka
dapat menjadi alasan pembenar untuk tidak dapat dijerat pemidanaan.
Sederhananya, dalam konteks yang sama adalah menggali apa yang diketahui dan
apa akibatnya dari diketahuinya pengetahuan itu.
Konsep
ketidaktahuan ini tidak bisa dimaknai dengan postulat Ignorantia juris non
excusat (ketidaktahuan akan hukum tidak memaafkan), karena ruang ketidaktahuan
bukan lagi terhadap persoalan normatif, melainkan sandaran fakta yang
disesatkan sehingga tidak dapat dikonstatir sebagai bagian dari tindak pidana.
Artinya, dia sebetulnya tidak mengetahui dan menghendaki terjadinya perbuatan
yang ia lakukan tersebut. Elemen terpenting dalam hukum pidana yakni kesalahan
sudah tidak dapat lagi dibuktikan, sehingga pelaku tidak dikenai
pertanggungjawban pidana sebagaimana mestinya.
Mengulik
Pemenuhan Unsur Perintah Jabatan yang Sah Sebagai Relevansi
Untuk
menentukan ketidaktahuan sebagai hal yang tidak disadari, maka question of
law bukan lagi disandarkan terhadap "siapa yang melakukan
kesalahan", tetapi kepada "siapa yang menyebabkan". Sehingga sebab
musababnya perbuatan perlu dikaji dari muara hulu ke hilir, lewat rentetan
fakta untuk menggali unsur kealpaannya. Dengan demikian, membuktikan feitelijke
dwaling tidak hanya melihat pada unsur kealpaan, tetapi juga kausalitasnya
untuk mencari akar penyebab yang utamanya berasal dari pihak lain, entah dengan
maksud sengaja menyesatkan atau tidak terhadap suatu fakta. Umumnya, kesesatan
ini ditandai dengan "adanya pembebanan kewajiban lain", yang salah
satunya didapati dari “perintah jabatan” yang sah.
Perintah
jabatan atau yang dikenal dengan ambtelijk bevel senyatanya telah
tertuang dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 KUHP, yang pada pokoknya menegaskan
perbuatan yang muaranya berasal dari “penguasa yang berwenang” tidak dipidana,
dan “perintah jabatan tanpa wewenang” menyebabkan pidana terhapus, kecuali
sudah ada itikad baik yang memperkirakan bahwa perintah telah berdasar pada
wewenang yang menjadi lingkup pekerjaannya. Putusan Hoge Raad No. 6603
17 Desember 1899 memperjelas maksud perintah bukan hanya yang bersifat konkret
saja, melainkan instruksi yang bersifat umum.
Perintah yang
dimaksud tentu haruslah seseorang yang memiliki l’autorite legitime,
sehingga unsur barangsiapa antara “perintah” dengan “pelaksana/ penerima
perintah” harus dibuktikan jelas bahwa ia memang mengetahui pejabat tersebut
berwenang sesuai cakupannya, serta jelas terdapat hubungan hukum diantara
keduanya. Barulah kemudian dihubungkan dengan unsur kealpaan dan kausalitas
untuk memperoleh adanya Feitelijk Dwaling, meski kehati-hatian dan
penduga-dugaan melihatnya sebagai perbuatan biasa dan sudah dilaksanakan sesuai
apa yang ia ketahui. (ypy/aar)
Daftar
Pustaka:
Hiariej, E. O. (2013). Menakar Ketidaktahuan. Kompas.
https://nasional.kompas.com/read/2013/01/18/02375311/menakar.ketidaktahuan?page=2%0Ahttps://www.hukumonline.com/berita/a/beberapa-catatan-mengenai-unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh--nefa-claudia-meliala-lt5ee99dda4a3d2/?page=3
%0Ahttps://www.hukumonline.com/klinik/a/mencelakai-pelaku-iprank-i-karena-kaget--bisakah-dipidana-lt60a1574f83ab1/
%0A, diakses pada tanggal 22-12-2025.
Baca Juga: Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung
Meliala, N. C. (2020). Beberapa
Catatan Mengenai Unsur “Sengaja” dalam Hukum Pidana Oleh: Nefa Claudia
Meliala*). Hukumonline.
https://www.hukumonline.com/berita/a/beberapa-catatan-mengenai-unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh--nefa-claudia-meliala-lt5ee99dda4a3d2/?page=3,
diakses pada tanggal 22-12-2025.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI