Cari Berita

Unsur Kesesatan Fakta (Feitelijk Dwaling) dalam Perintah Jabatan yang Sah

Daffa Ladro Kusworo-Staf Kepaniteraan Hukum PN Jakarta Selatan - Dandapala Contributor 2025-12-26 07:05:05
Dok. Penulis.

Bayangkan seorang bawahan berdasar atas perintah yang sah melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana, semata-mata akibat tidak terungkapnya atau tidak diketahui rentetan fakta hukum yang sesungguhnya. Fenomena yang demikian inilah menjadi dasar pembelaan dalam pemeriksaan persidangan, karena tentunya hakim harus memastikan telah ada unsur kesengajaan sebagai dasar penghukuman. Bilamana tidak dijumpai unsur demikian, maka boleh jadi fenomena ini disebut dengan Feitelijk Dwaling¸ atau kesesatan fakta.

Membedah Konsep Feitelijk Dwaling Dalam Tataran Teoritis

Meski istilah Feitelijk Dwaling tidak ditemukan dalam KUHP, serta dalam penjelasannya atau yang disebut Memorie van Toelichting hanya sebatas memuat maksud dolus/ culpa saja, Feitelijk Dwaling dapat diartikan sebagai suatu perkembangan dari bentuk kealpaan, asalnya adalah dari sesuatu yang tidak dapat disadari telah adanya fenomena hukum yang masuk ke dalam ranah tindak pidana, muaranya karena ketidaktahuan meski sudah menerapkan unsur kehati-hatian (Hiariej, 2013).

Baca Juga: Perlindungan Hukum Penyewa Benda Bergerak Objek Jaminan Fidusia

Pasalnya, feitelijk dwaling dititikberatkan sebagai penentu pelaku tidak dikenai pertanggungjawaban pidana. Sebab karena adanya minim fakta, atau ketidaksesuaian fakta yang secara sengaja atau tidak sengaja dikaburkan, sehingga menyesatkan kehendak dari pelaku untuk berbuat yang seharusnya. Maksud dan apa yang ditujukan dari kehendak tidak lagi dapat dibuktikan.

Pisau analisnya dalam menilai perbuatan apakah tergolong sebagai tindak pidana atau tidak adalah dengan membedah unsur kealpaan dan kausalitas. Menentukan perbuatan dengan satu per satu unsur dari kealpaan menjadi penting untuk membuktikan sebab musabab fakta hukum sudah sampai pada taraf tidak lagi dapat membayangkan ketidakhati-hatian tidak yang dapat diduga-duga, sehingga terlanjur mengambil keputusan atau tindakan yang konsekuensi hukumnya mengarah pada tindak pidana.

Ilmiahnya, unsur kealpaan/ culpa itu sendiri dapat dibedah melalui bagaimana pelaku seharusnya atau tidak membayangkan timbul suatu akibat yang terjadi atas perbuatannya, umumnya dengan mengukur kadar "kehati-hatian" dan "penduga-dugaan" sebagai sesuatu yang saling berkelindan, ketika akan dan saat melakukan, atau justru tidak melakukan sesuatu yang menjadi bagian dari tindak pidana. Maka yang dilihat adalah ruangnya masuk ke dalam kategori culpa lata (kurangnya kadar kehati-hatian yang teramat besar) atau justru sebaliknya dalam culpa levis (Meliala, 2020).

Dengan cara lain, menentukan kelalaian yang paling rasional adalah memakai perspektif dolus (kesengajaan) sebagai irisan, dengan unsur yang digunakan adalah menghendaki dan mengetahui (willen an wetten). Dalam menghendaki sebagai suatu maksud (voornemen), ia lahir dari sikap batin yang tentunya sangat sulit untuk diukur secara pasti oleh siapapun. Satu-satunya penilaian terhadap kehendak adalah melihat "tujuan" yang ditujukan dari perbuatan itu, dengan menelisik apa yang menghendakinya dan apa akibat dari yang dikehendakinya.

Sedangkan terhadap unsur pengetahuan, meski tanpa adanya kehendak, tetapi karena dalam kapasitas diri pelaku seharusnya sudah bisa membayangkan bahwa seharusnya sudah dapat menduga-duga tetapi tidak melaksanakan kehati-hatian, maka unsur mengetahui bisa saja sudah terpenuhi. Sebaliknya, jikalau pelaku dibebani suatu kewajiban lain yang semisal berdasar surat perintah, sedang tanpa diketahui ada maksud mengarah pada tindak pidana sebelumnya diluar dari pengetahuannya, maka dapat menjadi alasan pembenar untuk tidak dapat dijerat pemidanaan. Sederhananya, dalam konteks yang sama adalah menggali apa yang diketahui dan apa akibatnya dari diketahuinya pengetahuan itu.

Konsep ketidaktahuan ini tidak bisa dimaknai dengan postulat Ignorantia juris non excusat (ketidaktahuan akan hukum tidak memaafkan), karena ruang ketidaktahuan bukan lagi terhadap persoalan normatif, melainkan sandaran fakta yang disesatkan sehingga tidak dapat dikonstatir sebagai bagian dari tindak pidana. Artinya, dia sebetulnya tidak mengetahui dan menghendaki terjadinya perbuatan yang ia lakukan tersebut. Elemen terpenting dalam hukum pidana yakni kesalahan sudah tidak dapat lagi dibuktikan, sehingga pelaku tidak dikenai pertanggungjawban pidana sebagaimana mestinya.

Mengulik Pemenuhan Unsur Perintah Jabatan yang Sah Sebagai Relevansi

Untuk menentukan ketidaktahuan sebagai hal yang tidak disadari, maka question of law bukan lagi disandarkan terhadap "siapa yang melakukan kesalahan", tetapi kepada "siapa yang menyebabkan". Sehingga sebab musababnya perbuatan perlu dikaji dari muara hulu ke hilir, lewat rentetan fakta untuk menggali unsur kealpaannya. Dengan demikian, membuktikan feitelijke dwaling tidak hanya melihat pada unsur kealpaan, tetapi juga kausalitasnya untuk mencari akar penyebab yang utamanya berasal dari pihak lain, entah dengan maksud sengaja menyesatkan atau tidak terhadap suatu fakta. Umumnya, kesesatan ini ditandai dengan "adanya pembebanan kewajiban lain", yang salah satunya didapati dari “perintah jabatan” yang sah.

Perintah jabatan atau yang dikenal dengan ambtelijk bevel senyatanya telah tertuang dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 KUHP, yang pada pokoknya menegaskan perbuatan yang muaranya berasal dari “penguasa yang berwenang” tidak dipidana, dan “perintah jabatan tanpa wewenang” menyebabkan pidana terhapus, kecuali sudah ada itikad baik yang memperkirakan bahwa perintah telah berdasar pada wewenang yang menjadi lingkup pekerjaannya. Putusan Hoge Raad No. 6603 17 Desember 1899 memperjelas maksud perintah bukan hanya yang bersifat konkret saja, melainkan instruksi yang bersifat umum.

Perintah yang dimaksud tentu haruslah seseorang yang memiliki l’autorite legitime, sehingga unsur barangsiapa antara “perintah” dengan “pelaksana/ penerima perintah” harus dibuktikan jelas bahwa ia memang mengetahui pejabat tersebut berwenang sesuai cakupannya, serta jelas terdapat hubungan hukum diantara keduanya. Barulah kemudian dihubungkan dengan unsur kealpaan dan kausalitas untuk memperoleh adanya Feitelijk Dwaling, meski kehati-hatian dan penduga-dugaan melihatnya sebagai perbuatan biasa dan sudah dilaksanakan sesuai apa yang ia ketahui. (ypy/aar)

 

Daftar Pustaka:

 Hiariej, E. O. (2013). Menakar Ketidaktahuan. Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2013/01/18/02375311/menakar.ketidaktahuan?page=2%0Ahttps://www.hukumonline.com/berita/a/beberapa-catatan-mengenai-unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh--nefa-claudia-meliala-lt5ee99dda4a3d2/?page=3 %0Ahttps://www.hukumonline.com/klinik/a/mencelakai-pelaku-iprank-i-karena-kaget--bisakah-dipidana-lt60a1574f83ab1/ %0A, diakses pada tanggal 22-12-2025.

Baca Juga: Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung

Meliala, N. C. (2020). Beberapa Catatan Mengenai Unsur “Sengaja” dalam Hukum Pidana Oleh: Nefa Claudia Meliala*). Hukumonline. https://www.hukumonline.com/berita/a/beberapa-catatan-mengenai-unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh--nefa-claudia-meliala-lt5ee99dda4a3d2/?page=3, diakses pada tanggal 22-12-2025.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…