Cari Berita

Mencermati Nebis In Idem dalam Perkara Perceraian

Iva Amiroch (Calon Hakim PN Jepara) - Dandapala Contributor 2025-04-16 09:05:03
Iva Amiroch Calon Hakim PN Jepara

TUJUAN perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun ada kalanya suatu perkawinan tidaklah berjalan sesuai harapan. Permasalahan yang timbul terlalu kompleks hingga tidak ada ujungnya menyebabkan perceraian sebagai upaya terakhir untuk mengakhiri ikatan perkawinan. Secara normatif perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Adapun yang menjadi alasan perceraian adalah Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut dijelaskan terdapat 6 (enam) alasan seseorang mengajukan gugatan perceraian.

Dari beberapa alasan perceraian dalam Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 penulis tertarik untuk membahas alasan pengajuan gugatan perceraian yang sering digunakan oleh Penggugat yaitu Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 mengenai adanya perselisihan dan pertengkaran antara suami istri secara terus menerus hingga tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam membina rumah tangga. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana jika gugatan tersebut pada sidang pengadilan dapat didamaikan oleh mediator atau gugatan tersebut telah mendapat putusan dengan amar ditolak karena Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pada kemudian hari permasalahan yang sama muncul hingga Penggugat mengajukan kembali gugatan pada pengadilan dengan alasan yang sama serta para pihak yang sama pula. Apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai nebis in idem?

Dalam hukum pengajuan gugatan dengan pokok permasalahan yang sama disebut dengan istilah nebis in idem. Nebis in idem merupakan salah satu asas dalam hukum perdata yang telah dijelaskan pada Pasal 1917 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa sebuah perkara tidak boleh diperiksa kembali untuk kedua kalinya oleh pengadilan yang sama dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) jika objek perkara, para pihak serta tuntutan didasarkan pada alasan yang sama;

Baca Juga: Jalan Keadilan Itu Bernama Harmonisasi Yurisprudensi dan SEMA Perdata

Untuk menghindari adanya pengulangan perkara dengan objek dan subjek yang sama serta telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara Yang Berkaitan Dengan Asas Nebis In Idem. SEMA tersebut tidak membahas secara khusus mengenai nebis in idem dalam gugatan perceraian, namun masih secara umum sebagai rambu-rambu bagi pejabat pengadilan mulai dari Panitera untuk lebih cermat memeriksa berkas perkara, ketua pengadilan memberi catatan untuk majelis hakim mengenai keadaan tersebut dan majelis hakim diberikan kewajiban untuk mempertimbangkan baik pada putusan eksepsi maupun pada pokok perkara, mengenai perkara serupa yang pernah diputus di masa lalu. Tidak adanya peraturan khusus mengenai pedoman mengadili gugatan perceraian untuk menghindari adanya perkara nebis in idem berakibat pada adanya inkonsistensi putusan pengadilan tentang penerapan asas tersebut dalam perkara gugatan perceraian;

Menurut penulis pengajuan gugatan perceraian untuk kedua kalinya dengan alasan sebagaimana Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 harus dicermati lebih dalam, sehingga hakim tidak serta merta menyatakan bahwa gugatan tersebut nebis in idem. Hakim dalam menerima perkara tentunya akan membaca gugatan agar mengetahui akar permasalahan apa yang timbul sehingga menyebabkan seorang mengajukan sebuah gugatan di pengadilan. Meskipun pengajuan gugatan perceraian diajukan dengan alasan yang sama, maka hakim harus menilai apakah terdapat peristiwa hukum baru dalam pengajuan gugatan perceraian tersebut;

Apabila diresapi lebih dalam, seorang yang mengajukan perceraian untuk kedua kalinya dengan alasan yang sama memperlihatkan bahwa Penggugat tidak mampu lagi untuk mempertahankan perkawinannya karena berbagai faktor. Beberapa faktor penyebab perselisihan yang sering muncul yaitu faktor ekonomi, agama, pendidikan, komunikasi, stres, pengaruh keluarga, serta permasalahan keluarga lainnya. Gugatan perceraian tentunya tidak dapat disamakan dengan gugatan perdata yang lain. Hal tersebut karena masalah perceraian melibatkan permasalahan hati nurani, emosi dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Perselisihan yang terjadi secara terus menerus dikarenakan faktor-faktor tersebut tentunya menyebabkan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat tercapai;

Menurut penulis, alasan perceraian sebagaimana Pasal 19 huruf f tidak menjelaskan secara rinci faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pertengkaran secara terus menerus. Hal tersebut tentunya dapat menjadi celah bagi hakim untuk menggali lebih dalam fakta hukum yang sebenarnya terjadi, sehingga hakim dapat memberikan keadilan seadil-adilnya dalam putusan gugatan perceraian meskipun dengan alasan perceraian yang sama. Karena meskipun dengan alasan perceraian yang sama bisa jadi faktor utama penyebab perselisihan yang terjadi akan berbeda. Sebagai contoh pada saat pengajuan gugatan pertama pertengkaran tersebut bermula karena faktor ekonomi, namun oleh mediator dapat didamaikan atau pengajuan perceraian ditolak oleh pengadilan. Kemudian karena muncul permasalahan yang baru berakibat terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus. Peristiwa hukum baru dalam perselisihan dan pertengkaran pasca pengajuan permohonan gugatan perceraian yang ditolak oleh pengadilan bukan nebis in idem, tetapi merupakan kelanjutan peristiwa hukum yang mendeskripsikan puncak perselisihan sehingga tidak dapat rukun kembali. Tentunya alasan-alasan yang lebih mendasar itulah yang menjadikan objek alasan perceraian dapat bergeser.

Hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan untuk menentukan bagaimana akhir dari perkara yang ditanganinya. Hakim dapat menggunakan hati nuraninya untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya, bukan hanya sekedar formalitas untuk mengakhiri sebuah perkara. Sehingga untuk menolak sebuah perkara dengan alasan nebis in idem harus dinilai lebih mendalam apakah akan bermanfaat jika gugatan tersebut ditolak dengan pertimbangan karena alasan perceraian yang digunakan adalah sama dengan perkara yang telah mendapat putusan sebelumnya, sedangkan dalam sebuah putusan, hakim bukan hanya memberikan formalitas untuk mengakhiri sebuah gugatan namun juga memberikan putusan yang dapat memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat.

Dari pandangan tersebut menurut hemat penulis meskipun dasar alasan perceraian adalah sama, namun faktor utama yang mendasari adanya pertengkaran terus menerus antara suami istri adalah berbeda, maka alasan tersebut bukanlah nebis in idem. Dalam gugatan perceraian asalkan Penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya maka amar putusan dapat menjadi putusan yang positif, dengan pertimbangan-pertimbangan yang tentunya dapat diterima bagi para pihak. Untuk menghindari adanya inkonsistensi putusan gugatan perceraian dengan alasan yang sama, maka diperlukan pengaturan khusus tentang nebis in idem dalam gugatan perceraian yang dapat dituangkan dalam bentuk SEMA untuk memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan dalam perkara gugatan perceraian. (ASN/LDR)


Baca Juga: Nebis In Idem Dalam Perkara Pidana Perbuatan Berlanjut (Vorgezette Handling)Yang Diajukan Penuntutan Secara Terpisah

Iva Amiroch (Calon Hakim PN Jepara)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum