TUJUAN perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Namun ada kalanya suatu perkawinan tidaklah berjalan sesuai
harapan. Permasalahan yang timbul terlalu kompleks hingga tidak ada ujungnya
menyebabkan perceraian sebagai upaya terakhir untuk mengakhiri ikatan
perkawinan. Secara normatif perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Adapun yang menjadi alasan perceraian adalah Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dalam pasal tersebut dijelaskan terdapat 6 (enam) alasan seseorang
mengajukan gugatan perceraian.
Dari
beberapa alasan perceraian dalam Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 penulis
tertarik untuk membahas alasan pengajuan gugatan perceraian yang sering
digunakan oleh Penggugat yaitu Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 mengenai
adanya perselisihan dan pertengkaran antara suami istri secara terus menerus
hingga tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam membina rumah tangga.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana jika gugatan tersebut pada sidang
pengadilan dapat didamaikan oleh mediator atau gugatan tersebut telah mendapat
putusan dengan amar ditolak karena Penggugat tidak dapat membuktikan dalil
gugatannya dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Pada kemudian hari permasalahan yang sama muncul hingga Penggugat mengajukan
kembali gugatan pada pengadilan dengan alasan yang sama serta para pihak yang
sama pula. Apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai nebis in idem?
Dalam
hukum pengajuan gugatan dengan pokok permasalahan yang sama disebut dengan
istilah nebis in idem. Nebis in idem merupakan salah satu asas dalam
hukum perdata yang telah dijelaskan pada Pasal 1917 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa sebuah perkara tidak boleh
diperiksa kembali untuk kedua kalinya oleh pengadilan yang sama dan putusan
tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) jika
objek perkara, para pihak serta tuntutan didasarkan pada alasan yang sama;
Baca Juga: Jalan Keadilan Itu Bernama Harmonisasi Yurisprudensi dan SEMA Perdata
Untuk
menghindari adanya pengulangan perkara dengan objek dan subjek yang sama serta
telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap Mahkamah Agung menerbitkan
Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara Yang Berkaitan
Dengan Asas Nebis In Idem. SEMA tersebut tidak membahas secara khusus
mengenai nebis in idem dalam gugatan perceraian, namun masih secara umum
sebagai rambu-rambu bagi pejabat pengadilan mulai dari Panitera untuk lebih
cermat memeriksa berkas perkara, ketua pengadilan memberi catatan untuk majelis
hakim mengenai keadaan tersebut dan majelis hakim diberikan kewajiban untuk
mempertimbangkan baik pada putusan eksepsi maupun pada pokok perkara, mengenai
perkara serupa yang pernah diputus di masa lalu. Tidak adanya peraturan khusus
mengenai pedoman mengadili gugatan perceraian untuk menghindari adanya perkara nebis
in idem berakibat pada adanya inkonsistensi putusan pengadilan tentang
penerapan asas tersebut dalam perkara gugatan perceraian;
Menurut
penulis pengajuan gugatan perceraian untuk kedua kalinya dengan alasan
sebagaimana Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 harus dicermati lebih dalam,
sehingga hakim tidak serta merta menyatakan bahwa gugatan tersebut nebis in
idem. Hakim dalam menerima perkara tentunya akan membaca gugatan agar mengetahui
akar permasalahan apa yang timbul sehingga menyebabkan seorang mengajukan
sebuah gugatan di pengadilan. Meskipun pengajuan gugatan perceraian diajukan
dengan alasan yang sama, maka hakim harus menilai apakah terdapat peristiwa
hukum baru dalam pengajuan gugatan perceraian tersebut;
Apabila
diresapi lebih dalam, seorang yang mengajukan perceraian untuk kedua kalinya
dengan alasan yang sama memperlihatkan bahwa Penggugat tidak mampu lagi untuk
mempertahankan perkawinannya karena berbagai faktor. Beberapa faktor penyebab
perselisihan yang sering muncul yaitu faktor ekonomi, agama, pendidikan,
komunikasi, stres, pengaruh keluarga, serta permasalahan keluarga lainnya.
Gugatan perceraian tentunya tidak dapat disamakan dengan gugatan perdata yang
lain. Hal tersebut karena masalah perceraian melibatkan permasalahan hati
nurani, emosi dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Perselisihan yang terjadi secara terus menerus dikarenakan faktor-faktor
tersebut tentunya menyebabkan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal tidak dapat tercapai;
Menurut
penulis, alasan perceraian sebagaimana Pasal 19 huruf f tidak menjelaskan
secara rinci faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pertengkaran secara
terus menerus. Hal tersebut tentunya dapat menjadi celah bagi hakim untuk
menggali lebih dalam fakta hukum yang sebenarnya terjadi, sehingga hakim dapat
memberikan keadilan seadil-adilnya dalam putusan gugatan perceraian meskipun
dengan alasan perceraian yang sama. Karena meskipun dengan alasan perceraian
yang sama bisa jadi faktor utama penyebab perselisihan yang terjadi akan
berbeda. Sebagai contoh pada saat pengajuan gugatan pertama pertengkaran
tersebut bermula karena faktor ekonomi, namun oleh mediator dapat didamaikan
atau pengajuan perceraian ditolak oleh pengadilan. Kemudian karena muncul
permasalahan yang baru berakibat terjadi perselisihan dan pertengkaran secara
terus menerus. Peristiwa hukum baru dalam perselisihan dan pertengkaran pasca
pengajuan permohonan gugatan perceraian yang ditolak oleh pengadilan bukan nebis
in idem, tetapi merupakan kelanjutan peristiwa hukum yang mendeskripsikan
puncak perselisihan sehingga tidak dapat rukun kembali. Tentunya alasan-alasan
yang lebih mendasar itulah yang menjadikan objek alasan perceraian dapat
bergeser.
Hakim
dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan untuk menentukan bagaimana akhir
dari perkara yang ditanganinya. Hakim dapat menggunakan hati nuraninya untuk
memberikan putusan yang seadil-adilnya, bukan hanya sekedar formalitas untuk
mengakhiri sebuah perkara. Sehingga untuk menolak sebuah perkara dengan alasan nebis
in idem harus dinilai lebih mendalam apakah akan bermanfaat jika gugatan
tersebut ditolak dengan pertimbangan karena alasan perceraian yang digunakan
adalah sama dengan perkara yang telah mendapat putusan sebelumnya, sedangkan
dalam sebuah putusan, hakim bukan hanya memberikan formalitas untuk mengakhiri
sebuah gugatan namun juga memberikan putusan yang dapat memberikan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat.
Dari pandangan tersebut menurut hemat penulis meskipun dasar alasan perceraian adalah sama, namun faktor utama yang mendasari adanya pertengkaran terus menerus antara suami istri adalah berbeda, maka alasan tersebut bukanlah nebis in idem. Dalam gugatan perceraian asalkan Penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya maka amar putusan dapat menjadi putusan yang positif, dengan pertimbangan-pertimbangan yang tentunya dapat diterima bagi para pihak. Untuk menghindari adanya inkonsistensi putusan gugatan perceraian dengan alasan yang sama, maka diperlukan pengaturan khusus tentang nebis in idem dalam gugatan perceraian yang dapat dituangkan dalam bentuk SEMA untuk memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan dalam perkara gugatan perceraian. (ASN/LDR)
Iva Amiroch (Calon Hakim PN Jepara)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum