Ne Bis In Idem merupakan asas hukum, yang mana orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap, dan mengenai prinsip ini telah diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP. Adapun dasar pikiran atau ratio dari asas ini adalah: a. untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan negara); b. untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan (Barda Nawawi Arief: 2012:97).
Penerapan Ne Bis In Idem dalam praktik peradilan mengacu pada beberapa syarat. Pertama, harus ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, baik berupa putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging), maupun putusan pemidanaan (veroordeling) yang telah melalui tahapan pemeriksaan pokok perkara. Kedua, orang yang diadili dalam perkara sebelumnya haruslah pihak yang sama dengan perkara yang diajukan kembali. Ketiga, perbuatan yang dituntut harus identik dengan perbuatan yang telah diputus sebelumnya.
Perlu diketahui, Ne Bis In Idem dalam perkara pidana juga dapat terjadi dalam hal apabila perkara yang termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) namun penuntutan diajukan secara terpisah, sedangkan dari salah satu perkara tersebut telah ada yang diputus oleh Hakim dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Perbuatan berlanjut (Vorgezette Handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) itu sendiri merupakan salah satu bentuk perbarengan tindak pidana (concursus).
Dalam konteks perbuatan berlanjut, penerapan asas Ne Bis In Idem menjadi semakin kompleks. Pasal 64 ayat (1) KUHP mengatur bahwa jika seseorang melakukan beberapa perbuatan yang memiliki keterkaitan erat sehingga harus dianggap sebagai satu kesatuan, maka perbuatan tersebut dikualifikasikan sebagai perbuatan berlanjut. Perbuatan berlanjut berbeda dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP. Adapun dalam perbuatan berlanjut, sistem pemidanaan yang digunakan adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana dengan ancaman pidana terberat dari perbuatan yang dilakukan. Sementara itu, dalam concursus realis sistem pemidanaannya adalah absorbsi yang dipertajam, di mana ancaman hukuman tertinggi masih dapat ditambah sepertiga dari maksimum pidana yang berlaku.
Perbedaan antara perbuatan berlanjut dan perbarengan perbuatan kerap menimbulkan perbedaan penafsiran dalam praktik peradilan. Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah ketika perkara yang seharusnya dituntut sebagai satu kesatuan dalam perbuatan berlanjut justru diajukan secara terpisah. Hal ini dapat mengakibatkan terdakwa menghadapi tuntutan ganda untuk perbuatan yang secara substansi merupakan satu rangkaian tindak pidana, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan serta bertentangan dengan asas Ne Bis In Idem.
Sekilas antara perbuatan berlanjut (vorgezette handling) sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan perbarengan perbuatan (concursus realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP memang terdapat kemiripan karakteristik yaitu berkaitan dengan ciri “perbarengan beberapa perbuatan”. Namun, perlu menjadi catatan bahwa salah satu karakteristik dalam perbuatan berlanjut adalah perbuatan-perbuatan itu haruslah ada hubungan sedemikian rupa. Terkait dengan “hubungan sedemikian rupa”, MvT telah memberikan tiga kriteria, yaitu: 1. Harus ada suatu keputusan kehendak, 2. Masing-masing perbuatan harus sejenis, dan 3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama.
Menilik dari praktik putusan pengadilan, terdapat beberapa putusan pidana baik itu putusan pada tingkat judex fakti dan putusan pada tingkat judex juris berkaitan dengan Ne Bis In Idem dalam perbuatan berlanjut (vorgezette handling) yang diajukan penuntutan secara terpisah, di antaranya:
1. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 6/Pid.B/2012/PN Pky;
Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 15 Januari 2012 dan 16 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 16 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor Nomor 5/Pid.B/2012/PN Pky, namun kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 15 Januari 2012. Dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mempertimbangkan bahwa perkara tersebut termasuk dalam kategori perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga dalam putusannya kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/hapus karena Ne Bis In Idem;
2. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Pasangkayu Nomor 9/Pid.B/2012/PN Pky;
Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian pada tanggal 25 Januari 2012 dan 30 Januari 2012, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 25 Januari 2012 terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 8/Pid.B/2012/PN Pky. Kemudian perkara serupa kembali diajukan oleh penuntut umum yaitu berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 30 Januari 2012. Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum gugur/ hapus karena Ne Bis In Idem;
3. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 2/Pid.B/2019/PN Spn;
Putusan ini merupakan putusan perkara tindak pidana pencurian, yang mana terdakwa melakukan beberapa kali tindak pidana pencurian dari kurun waktu 20 Maret 2018 sampai dengan 27 Maret 2018, atas tindak pidana yang dilakukan pada tanggal 20 Maret sampai dengan 27 Maret 2018 tersebut terhadap terdakwa telah diputus dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan Nomor 58/Pid.B/2018/PN Spn. Kemudian penuntutan terhadap terdakwa kembali diajukan berkaitan dengan tindak pidana pencurian yang juga dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 20 Maret 2018. Oleh karena Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah pada pokoknya adalah perbuatan yang sama sebagai rangkaian perbuatan berlanjut dari perkara yang pernah diputus, secara Ex Officio dalam pertimbangan putusannya Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem;
4. Putusan Pidana Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 7/Pid.Sus/2024/PN Pts;
Putusan ini merupakan putusan perkara pidana Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, yang mana terdakwa pada kurun waktu bulan Juni 2023 sampai dengan bulan Agustus tahun 2023, telah melakukan tindak pidana melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia secara perseorangan tanpa izin dari pihak berwenang, atas perbuatan yang dilakukan pada bulan Agustus 2023 tersebut terdakwa telah diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Kemudian Penuntut Umum kembali mengajukan terdakwa dalam persidangan sehubungan dengan perkara yang serupa terkait dengan perbuatan pidana yang dilakukan pada bulan Juni 2023. Atas hal tersebut kemudian dalam putusannya Majelis Hakim secara Ex Officio mengkualifikasikan bahwa perkara yang diajukan kembali tersebut adalah merupakan rangkaian perbuatan berlanjut dari tindak pidana yang sebelumnya pernah diadili dan diputus dalam putusan perkara Nomor 74/Pid.Sus/2023/PN Pts. Sehingga dalam putusannya, kemudian Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima karena Ne Bis In Idem. Terhadap putusan tersebut telah dilakukan upaya hukum banding dan pada tingkat banding putusan tingkat pertama telah dikuatkan sebagaimana putusan nomor 142/Pid.Sus/2024/PT Ptk, kemudian pada tingkat kasasi/judex juris melalui putusan Nomor 6975 K/Pid.Sus/2024 Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dengan pertimbangan yang pada pokoknya putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang;
Dengan melihat berbagai putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana yang masuk dalam kategori perbuatan berlanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP, maka penuntutan seharusnya dilakukan secara bersamaan dalam satu perkara. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan penerapan hukuman yang berlebihan serta memberikan perlindungan hukum bagi terdakwa dari risiko tuntutan ganda. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep perbuatan berlanjut dan perbedaannya dengan concursus realis menjadi kunci dalam menegakkan keadilan. Oleh karena itu, dalam setiap proses penuntutan, aparat penegak hukum perlu menelaah secara cermat hubungan antara setiap perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan, hak-hak terdakwa tetap terlindungi, dan prinsip Ne Bis In Idem dapat diterapkan secara konsisten sesuai dengan asas kepastian hukum.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum