Cari Berita

Mengabulkan yang Tidak Diminta dalam Petitum, Apakah Ultra Petita?

Gerry Geovant Supranata Kaban-Hakim PN Wamena - Dandapala Contributor 2025-08-01 09:05:53
dok. penulis.

Dalam suatu gugatan, petitum merupakan salah satu syarat formil yang wajib ada pada formulasi gugatan agar gugatan dikatakan sah dan tidak mengandung cacat formil. Petitum gugatan memuat pokok tuntutan penggugat berupa deskripsi yang jelas dan menyebut serta merincikan satu per satu dalam bagian akhir gugatan mengenai hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.

Singkatnya, petitum gugatan berisi permohonan kepada pengadilan agar menyatakan atau menetapkan hak-hak penggugat, atau menjatuhkan hukuman bagi tergugat, atau bahkan kepada kedua belah pihak.

Baca Juga: Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung

Sebagai pilar utama penegakan hukum, pengadilan hanya terbatas mengabulkan hal-hal yang diminta secara tegas dalam petitum gugatan. Meskipun penggugat mampu membuktikan suatu fakta atau hak yang telah dijelaskan secara rinci dalam posita gugatan, hal tersebut tetap tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan jika tidak secara spesifik diminta atau dimohonkan dalam petitum.

Putusan hakim yang mengabulkan suatu hal yang tidak diminta atau melebihi apa yang diminta dalam petitum gugatan dianggap melanggar asas ultra petitum partium (ultra petita) yang ditentukan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR juncto Pasal 189 ayat (3) RBg.

Putusan tersebut dalam doktrin hukum disebut mengandung ultra vires, yaitu bertindak melampaui batas kewenangan mengadili (beyond the power) dan oleh karenanya dianggap cacat hukum serta dapat dibatalkan oleh pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi.

Pertanyaannya adalah, apakah terdapat pengecualian bagi hakim untuk mengabulkan petitum yang tidak secara eksplisit diminta atau dimohonkan oleh penggugat dalam gugatannya sehingga tidak secara otomatis dikatakan sebagai putusan yang melanggar asas ultra petita?

Ketentuan hukum dalam Pasal 178 ayat (1) HIR juncto Pasal 189 ayat (1) RBg menyatakan bahwa hakim karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan hukum atau menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh pihak-pihak.

Ketentuan ini dapat menjadi dasar bagi hakim untuk mengabulkan petitum yang tidak secara eksplisit diminta oleh penggugat dalam gugatannya, asalkan terdapat norma hukum yang secara eksplisit mewajibkan hakim untuk mengabulkan hal tersebut.

Hal yang dapat menjadi contoh (berdasarkan pengalaman Penulis) adalah dalam perkara gugatan perceraian, di mana penggugat dalam petitum gugatannya hanya meminta agar hakim yang mengadili perkara a quo: (1) Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; (2) Menyatakan perkawinan antara penggugat dengan tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya; dan (3) Membebankan biaya yang timbul dalam perkara a quo menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Apabila mencermati norma hukum dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP Perkawinan) disebutkan bahwa panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan mengenai gugatan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi (apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang sama dengan daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan) dan dikirimkan pula kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan (apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan), atau bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan tersebut disampaikan kepada pegawai pencatat di Jakarta.

Selain norma hukum dalam PP Perkawinan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan khususnya pada bagian Rumusan Hukum Kamar Perdata Umum huruf c memberikan kaidah hukum bahwa “Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, maka dalam amar putusan perkara perceraian, sekurang-kurangnya memuat perintah kepada Panitera untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kepada Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil, di tempat peristiwa perkawinan dilangsungkan dan tempat terjadinya perceraian”.

Oleh karena itu, berdasarkan norma dan kaidah hukum a quo, meskipun penggugat dalam gugatannya tidak mencantumkan petitum mengenai perintah kepada panitera untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) kepada pegawai pencatat yang berwenang, hakim berkewajiban untuk menambahkan hal tersebut dalam amar putusannya walaupun tidak diminta dengan dasar bahwa hakim karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan hukum atau menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh pihak-pihak sebagaimana digariskan dalam Pasal 178 ayat (1) HIR juncto Pasal 189 ayat (1) RBg.

Contoh lainnya (masih berdasarkan pengalaman Penulis) adalah dalam perkara permohonan ganti nama, di mana pemohon dalam petitum permohonannya hanya meminta agar hakim yang mengadili perkara a quo: (1) Menerima dan mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya; (2) Memberikan izin kepada pemohon untuk merubah nama Pemohon dari semula bernama … menjadi …; dan (3) Membebankan biaya permohonan kepada pemohon.

Apabila kita mencermati norma hukum dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) disebutkan bahwa pencatatan perubahan nama wajib dilaporkan oleh Penduduk (WNI atau WNA yang bertempat tinggal di Indonesia) kepada instansi pelaksana yang menerbitkan akta pencatatan sipil paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan negeri oleh Penduduk.

Meskipun pemohon dalam permohonannya tidak mencantumkan petitum mengenai kewajiban pelaporan kepada instansi pelaksana yang bersangkutan, hakim tetap memiliki kewajiban untuk menambahkan hal tersebut dalam amar penetapannya, walaupun tidak diminta oleh pemohon.

Hal-hal demikian didukung pula dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 556 K/Sip/1971, 1043 K/Sip/1971, dan 425 K/Sip/ 1975 [GG1] yang pada pokoknya seakan-akan membenarkan putusan hakim yang melanggar asas ultra petita dengan dasar argumentasi bahwa menambahkan alasan-alasan hukum yang tidak diajukan oleh pihak-pihak merupakan kewajiban hakim atau sepanjang hal yang dikabulkan tetapi tidak diminta dalam petitum tersebut masih sesuai dengan kejadian materiil atau posita, dengan berlandaskan pada perspektif bahwa hakim memiliki sifat dan peran aktif dalam hukum acara perdata [1]. 

Di samping itu, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2024 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan khususnya pada bagian Perdata Umum poin nomor 1 memberikan kaidah hukum bahwa memperhatikan ketentuan Pasal 178 HIR/189 RBg yang pada pokoknya mengatur: “karena jabatannya Hakim wajib waktu bermusyawarah mencukupkan alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak” maka hakim diperbolehkan untuk memberikan pertimbangan hukum dalam putusannya dengan mendasarkan pada data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan yang ada dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP).

Berdasarkan kaidah hukum tersebut, apabila terdapat tuntutan subsidair pada petitum gugatan atau permohonan yang pada pokoknya menyatakan apabila majelis hakim berpendapat lain maka penggugat atau pemohon memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono), maka hal demikian dapat pula menjadi dasar bagi hakim untuk memberikan putusan di luar dari petitum primair sehingga hakim menjatuhkan putusan atau penetapan yang dipandang memenuhi rasa keadilan.

Salah satu contoh yang sering ditemukan dalam praktik peradilan adalah dalam perkara Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), di mana penggugat yang merupakan pekerja di-PHK secara sepihak oleh tergugat (pemberi kerja), kemudian ia mengajukan gugatan yang dalam salah satu petitum primairnya meminta agar tergugat mempekerjakan penggugat kembali seperti semula, yang dilengkapi pula dengan petitum subsidair.

Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, majelis hakim berpendapat bahwa apabila hubungan kerja antara penggugat dan tergugat dilanjutkan justru tidak akan membawa kemanfaatan bagi kedua belah pihak karena hubungan kerja yang demikian sudah tidak harmonis dan bila dipaksakan maka hanya akan menimbulkan suatu kasus atau persoalan lain kembali, sehingga dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berbunyi “Dalam mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan” maka majelis hakim menyatakan hubungan kerja tersebut putus, dengan tetap memperhatikan dan memberikan hak-hak penggugat sebagai pekerja sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.

Pertimbangan hukum yang demikian sejalan pula dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 016 K/Pdt.Sus/2010, 514 K/Pdt.Sus-PHI/2015, dan 823 K/Pdt.Sus-PHI/2023 yang masing-masing telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan diterapkan secara konsisten dalam mengadili perkara dengan mengacu pada tuntutan subsidair demi memastikan terciptanya suatu kemanfaatan dan keadilan.

Kesimpulannya, putusan hakim yang mengabulkan suatu hal yang tidak diminta dalam petitum tidak selalu dapat dikatakan melanggar asas ultra petita, sebab hakim karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan hukum atau menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh pihak-pihak sebagaimana digariskan dalam Pasal 178 ayat (1) HIR juncto Pasal 189 ayat (1) RBg sepanjang terdapat norma hukum yang secara eksplisit mewajibkan hakim untuk mengabulkan hal tersebut.(ikaw/ldr)

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

 

Referensi

[1] Sunarto. (2019). Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata (Edisi Ketiga.    Jakarta: Prenadamedia Group.


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI