Cari Berita

Mengenal Konsep Plea Bargaining serta Sistem Jalur Khusus dalam RKUHAP

Eliyas Eko Setyo-Hakim PN Sampang - Dandapala Contributor 2025-08-04 09:50:22
Dok. Penulis.

Dalam tulisan ini penulis akan mengulik salah satu isu menarik dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dirumuskan oleh Tim ICJR sebagai salah satu Tim Perumus Naskah Akademik RKUHAP, yakni sebagaimana termaktub dalam Pasal 199 RKUHAP. Hal tersebut dikenal dengan Sistem Jalur Khusus, yang dirumuskan sebagai upaya untuk mempersingkat dan mempercepat prosedur beracara dalam perkara pidana di pengadilan.

Mekanisme jalur khusus merupakan mekanisme yang diberikan kepada seorang terdakwa yang telah mengakui perbuatan  tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dampak dari pengakuanya tersebut, maka terdakwa akan disidang dengan acara pemeriksaan singkat, tetapi dengan syarat ancaman pidana yang didakwakan kepada terdakwa tidak lebih dari 7 tahun penjara sebagaimana bunyi Pasal 221 RKUHAP.

Baca Juga: Telaah Batas Pidana Penjara pada Acara Pemeriksaan Singkat dalam RKUHAP

Hal ini cukup menarik dibahas karena merupakan hal baru yang sebelumnya dalam KUHAP tidak diatur. Dalam naskah akademik RKUHAP disebutkan mekanisme  Jalur Khusus dalam penyelesaian perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 199 RKUHAP terinspirasi dari mekanisme Plea Bargain yang diadopsi dalam sistem hukum di Amerika Serikat.

Plea Bargain adalah suatu sistem yang memungkinkan adanya negoisasi antara penuntut umum dengan tertuduh atau penasihat hukumnya, yang mana negosiasi itu dilandaskan pada kesukarelaan tertuduh untuk mengakui perbuatannya dan kesediaan dari penuntut umum agar memberikan tuntutan hukuman yang ringan buat si tertuduh.

Sistem ini menarik untuk ditelusuri, namun demikian apabila hendak diterapkan di Indonesia haruslah diuji pada konteks di Indonesia: Apakah bisa diterapkan atau tidak? Dalam catatan dan bacaan Penulis, Jalur Khusus pada RKUHAP sangat rentan praktek korupsi seperti praktik suap/gratifikasi antara Terdakwa dengan Penuntut Umum dan Hakim, khususnya terkait penjatuhan pidana. Karenanya, hal tersebut harus benar-benar dievaluasi, baik mekanisme maupun model pelaksanaannya di kemudian hari.

Sebagaimana pandangan yang penulis kutip dari Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson memaparkan dalam penelitian PWC-Asia Foundation mengenai “Survey Report on Citizens' Perceptions of the Indonesian Justice Sector - Preliminary Findings and Recommendation” bahwa ditemukan fakta bahwa proses peradilan di Indonesia dinilai mahal, memakan waktu yang lama, serta sulit dimengerti prosedurnya oleh masyarakat.

Padahal, dalam Sistem Peradilan Indonesia menganut asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana bunyi Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal ini senada dengan pidato Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Sunarto, dalam Sidang Istimewa Laporan Tahunan 2024 yang menyampaikan bahwa beban perkara yang ditangani pengadilan tingkat pertama sebanyak 2.927.815 perkara di sepanjang tahun 2024. Data tersebut menunjukan tingginya beban penanganan perkara yang diperiksa dan diadili oleh Hakim, sehingga mempengaruhi kualitas penanganan perkara yang dilakukan Hakim.

Tingginya jumlah penuntutan perkara pidana yang dilakukan oleh Penuntut Umum, termasuk kewajiban Penuntut Umum untuk menghadirkan alat bukti (saksi, ahli, terdakwa) juga mempengaruhi kualitas penanganan perkara tersebut. Dalam praktiknya, terdakwa cenderung membenarkan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum dan membenarkan segala keterangan yang diberikan saksi maupun alat bukti dan barang bukti lain yang dihadirkan oleh Penuntut Umum di persidangan. Sebelumnya KUHAP tidak memberikan mekanisme untuk meringkas jalannya peradilan pidana, khususnya terkait pemeriksaan di sidang pengadilan.

Berdasarkan rumusan Pasal 199 RKUHAP itu, Sistem Jalur Khusus hadir dengan harapan dapat mengurangi beban perkara yang masuk ke pengadilan dari tingkat pertama hingga tingkat banding, dan kasasi guna mempercepat proses peradilan, memberi penghargaan kepada Terdakwa yang mengakui kesalahannya, memenuhi kebutuhan pihak terdakwa dan Penuntut Umum, serta menghemat waktu dan biaya tanpa tidak menghilangkan tujuan pemidanaan.

Apakah Sistem Jalur Khusus dalam RKUHAP sama dengan Plea Bargaining di Negara Amerika Serikat?

Terdapat perbedaan antara Plea Bargaining di Negara Amerika Serikat dengan Jalur Khusus dalam RKUHAP antara lain:

Pertama, Plea Bargaining mengedepankan negosiasi antara Penuntut Umum dengan Terdakwa setelah Terdakwa mengaku bersalah. Sedangkan ketentuan Pasal 221 RKUHAP tentang mekanisme Sistem Jalur Khusus tidak memberikan kesempatan negosiasi bagi Terdakwa dengan Penuntut Umum.

Kedua, Pasal 221 RKUHAP melibatkan Hakim, sedangkan Plea Bargaining di Negara Amerika Serikat tidak melibatkan Hakim.

KetigaPlea Bargaining di Amerika Serikat dapat diterapkan atas semua tindak pidana, termasuk tindak pidana berat. Sedangkan Pasal 221 RKUHAP membatasi tindak pidana yang memiliki ancaman pidana tidak lebih dari 7 tahun.

Keempat, Plea Bargaining di Amerika Serikat dapat berkaitan dengan jumlah pasal dakwaan, jenis tindak pidana yang didakwakan, serta pidana yang diajukan. Sedangkan Pasal 221 RKUHAP terbatas pada ancaman pidana yang dijatuhkan.

Kelima, Plea Bargaining di Amerika Serikat dilakukan sebelum Penuntut Umum membacakan dakwaan di persidangan, sedangkan Pasal 221 RKUHAP dapat diterapkan setelah Penuntut Umum membacakan surat dakwaan.

Perbedaan penerapan Plea Bargaining di Amerika Serikat dengan ketentuan Pasal 221 RKUHAP didasari pada karakteristik sistem peradilan pidana dari dua negara yang menganut sistem hukum yang berbeda Amerika Serikat menganut Sistem Common Law sedangkan Indonesia menganut Civil Law.

Kesimpulan 

Plea Bargaining sebagai inovasi efektivitas dan efesiensi waktu dalam proses Sistem Peradilan Pidana yang harus dicontoh dalam RKUHAP sebagaimana termaktub dalam Pasal 199 RKUHAP jo 221 RKUHAP. Mengutip pendapat dari R. Atmasasmita yang menyebutkan bahwa penerapan Plea Bargaining model Amerika Serikat dalam peradilan pidana patut di contoh salah satunya Hakim tidak dilibatkan dalam proses negosiasi antara Penuntut Umum dan Terdakwa karena dapat menimbulkan pandangan buruk bagi pengadilan yang terkesan memihak Terdakwa dalam mengurangi hukuman yang dijatuhkan selain itu juga untuk menghindari praktek korupsi antara Terdakwa dengan Penuntut Umum dan Hakim.

Baca Juga: Urgensi Reformulasi Peran dan Kedudukan Hakim dalam Revisi KUHAP 

Oleh karenanya konsep Plea Bargaining sudah sepatutnya dipertimbangkan untuk diterapkan dalam konsep Sistem Jalur Khusus di dalam RKUHAP. Penulis berharap agar RKUHAP segera hadir ditengah kita agar rule of law dalam proses beracara pidana guna mempersingkat dan mempercepat prosedur beracara dalam perkara pidana dapat terwujud. (aar/ldr)

Referensi :

  • Akbari, Anugerah Rizki. 2015. Potret Kriminalisasi Pasca Reformasi dan Urgensi Reklasifikasi Tindak Pidana di Indonesia, ICJR, Jakarta.
  • Budiman, Adhigama., Ajeng G. Kamilah, Anggara, Maidina Rahmawati, dan Sustira Dirga. 2018. Indonesia Dalam Cengkeraman Hukum Pidana: Catatan Situasi Reformasi Hukum di Sektor Pidana Indonesia, ICJR, Jakarta.
  • Indrawari, Nani. 2021. Peluang Penerapan Konsep Plea Bargain Pada Rancangan KUHAP dalam Praktik Kekuasaan Kehakiman. Disampaikan dalam diskusi berjudul “Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP” yang diselenggarakan ICJR bersama STHI Jentera, https://www.youtube.com/watch?v=VqVZBu5QfiM, 06 Februari 2022.
  • Marfuatul Latifah. 2014. Pengaturan Jalur Khusus dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, dalam Negara Hukum, Volume 5 Nomor 1. https://jurnal.dpr.go.id/ index.php/hukum/article/view/209.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI