Pemerintah telah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2025 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU 1/2025) pada hari
senin (24/02/2025).
Dengan disahkannya UU 1/2025 tersebut, merupakan babak
baru yang membawa perubahan atas tata kelola, manajemen, dan pengawasan dari
Perusahaan plat merah tersebut.
Salah satu tujuan dari revisi UU tersebut merupakan
wujud dari Upaya efesiensi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan tidak membebani keuangan negara. Adapun yang
menjadi hal baru dalam UU 1/2025 diantaranya adalah adanya aturan megenai holding
investasi, holding operasional, restrukturisasi, pembentukan anak usaha
BUMN, hingga pengaturan mengenai hak monopoli.
Baca Juga: Environmental Ethic Sebagai Pilar Keadilan Ekologis
Hadirnya UU 1/2025 tentu membawa angin segar, terutama
terhadap transformasi tata kelola BUMN, dimana dikenal dua istilah baru yaitu holding
operasional yang bertugas memastikan manajemen dan tata kelola BUMN
berjalan dengan baik sesuai prinsip good corporate governance dan holding
investasi yang berperan mendorong pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Akan tetapi seperti kata pepatah, “tak ada gading yang
tak retak”, hadirnya UU 1/2025 menimbulkan polemik di masyarakat mengenai status
kerugian BUMN yang tidak lagi menjadi bagian dari kerugian negara.
Sebelum adanya UU 1/2025, perdebatan mengenai status kerugian
bumn merupakan perdebatan klasik yang hampir selalu dibicarakan dan
diperdebatkan baik dalam tataran akademisi maupun tataran praktis.
Hadirnya UU 1/2025, dalam ketentuan Pasal 4B jo Pasal 9G
yang menerangkan bahwa kerugian BUMN bukan lagi termasuk kedalam kerugian
negara dan kedudukan anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN
bukan merupakan penyelenggara negara menimbulkan polemik dalam Masyarakat.
Hal ini tentu bertentangan dengan undang-undang lain
yang menngatur mengenai definisi keuangan negara. Oleh sebab itu, tulisan ini
akan membahas mengenai persoalan status dan kedudukan BUMN dalam perspektif
perseoran terbatas beserta poin perdebatan yang ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
BUMN Sebagai Perseroan Terbatas
Status kedudukan BUMN sebagai perseroan terbatas
tercermin dari pembagian jenis BUMN yang terbagi kedalam Perusahaan Perseroan
(Persero), Perusahaan Perseroan terbuka (Persero terbuka), dan Perusahaan umum
(Perum). Dikarenakan status kedudukan Perusahaan BUMN sebagai suatu entitas
Perseroan terbatas, maka kita dapat mengkaji dari Undang-Undang Nomor 40 tahun
2007 tentang Perseroan terbatas (UUPT).
Konsep dari PT mengenal pertanggungjawaban terbatas
atau separate liability yang tertuang dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1)
UUPT. Begitupun dengan kekayaan dari suatu PT terpisah dengan kekayaan dari
pemegang saham sebagaimana unsur-unsur atau ciri dari Perseroan terbatas yaitu;
(i) memiliki kekayaan yang terpisah; (ii) memiliki kepentingan sendiri; dan
(iii) memiliki tujuan tertentu.
Unsur kekayaan yang terpisah antara PT dengan pemegang
saham merupakan suatu syarat yang fundamental dalam pembentukan badan hukum itu
sendiri. Hal ini sebagai bentuk kepastian hukum baik bagi badan hukum itu
sendiri maupun bagi pihak ketiga apabila ingin mengadakan hubungan hukum dengan
PT tersebut, diantaranya sebagai objek jaminan maupun dapat dituntut di muka
pengadilan. (Jimly Asshiddiqie:2026). Oleh sebab itu, pemisahan kekayaan antara
PT dengan pemegang saham merupakan suatu syarat dalam pembentukan PT untuk
tujuan tertentu.
Dengan demikian, konteks Perusahaan BUMN yang
dibandingkan dengan Perseroan Terbatas dalam UUPT merupakan salah satu ratio
legis dari pengaturan status kerugian BUMN yang tidak termasuk kedalam
kerugian negara. Karena esensi dari pemisahan kekayaan antara pemegang saham
dengan perseoran yang juga diterapkan dalam UU 1/2025/
Kontradiksi Undang-Undang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (UU Keuangan Negara) mengatur mengenai definisi dari keuangan negara
yang meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang. Termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah.
Adapun UU Keuangan Negara Pasal 1 angka 5 menerangkan
definisi Perusahaan
Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh
Pemerintah Pusat, dimana ini merujuk pada definisi dari BUMN.
Berdasarkan pengaturan diatas, banyak
kalangan praktisi dan akademisi yang mengatakan pengaturan status kerugian
negara dalam UU 1/2025 bertentangan dengan UU Keuangan Negara. Karena
bagaimanapun kekayaan BUMN merupakan pengaturan yang dikecualikan dari legal
entity Perseroan terbatas dalam UUPT.
Akan tetapi, persoalan yang penulis
temui dalam UU 1/2025, dimana definisi mengenai unsur “kekayaan yang
dipisahkan” dalam definisi BUMN sudah dihapus, sehingga definisi mengenai
keuangan negara dalam UU Keuangan Negara juga sudah tidak lagi mengacu kepada
BUMN.
Oleh sebab itu, menjadi sebuah polemik
ketika definisi keuangan negara yang mengacu kepada BUMN saat ini sudah tidak
lagi digunakan dalam UU 1/2025 itu sendiri.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum hadirnya UU 1/2025, terdapat beberapa
putusan Mahkamah Konstitusi yang mengenai status keuangan negara dalam BUMN.
Seperti halnya putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang pada pokoknya
mengukuhkan status kekayaan BUMN sebagai bagian dari rezim keuangan negara
dikarenakan pemisahan kekayaan negara bukanlah dilihat dari perspektif
transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga tidak beralihnya hak dari negara
kepada BUMN.
Begitupun dalam Putusan MK No
26/PUU-XIX/2021 yang menerangkan pemisahan kekayaan negara tidak dapat
diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN atau nama lain yang
sejenisnya, karena pemisahan kekayaan negara hanyalah untuk memudahkan
pengelolaan usaha atau bisnis.
Dengan demikian, berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya masih menganggap dan menafsirkan bahwa
kekayaan BUMN termasuk kedalam rezim kerugian negara.
Penutup
Baca Juga: Konsensus Epistemik Hakim: Fondasi Baru Keadilan Iklim di Indonesia
Hadirnya UU 1/2025 membuat perubahan
paradigma baru mahzab keuangan negara dimana kerugian BUMN tidak termasuk
kedalam kerugian negara. Akan tetapi disatu sisi, UU Keuangan Negara masih
mengatur mengenai keuangan negara yang termasuk didalamnya adalah kekayaan
negara yang dipisahkan.
Meskipun status kerugian negara telah diatur dalam UU 1/2025 akan tetapi selama UU Keuangan Negara belum dilakukan revisi yang memberikan kepastian hukum mengenai definisi keuangan negara, persoalan ini tetap akan menjadi diskusi dan pembahasan menarik dalam ranah akademik maupun praktisi. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI