Laut Nusantara dan Gelombang Kolonial
Laut Nusantara sejak dulu bukan sekadar jalur air. Ia adalah urat nadi peradaban, tempat kapal-kapal niaga berlayar dari Malaka, Makassar, hingga Maluku. Di atas gelombang itu lahir aturan adat maritim yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan pesisir. Namun kedatangan bangsa Eropa mengubah arah arus sejarah. Portugis, Spanyol, dan kemudian Belanda membawa bukan hanya kapal dagang, tetapi juga hukum dagang yang mereka paksakan. Laut yang sebelumnya bebas dan kosmopolit perlahan berubah menjadi arena monopoli, tempat hukum kolonial dipakai sebagai senjata.
VOC dengan Perjanjian Bongaya: Hukum sebagai Alat Penaklukan
Baca Juga: PT Jakarta Perberat Vonis Pejabat Kemenhub di Kasus Korupsi Jalur KA
VOC yang didirikan pada awal abad ketujuh belas mulanya hanyalah perusahaan dagang. Tetapi perlahan ia menjelma menjadi penguasa hukum. Dengan kapal perang dan izin monopoli dari negeri Belanda, VOC berhak membuat aturan, menagih pajak, bahkan menguasai benteng-benteng pesisir. Hukum mereka bukanlah payung keadilan, melainkan belenggu. Pedagang lokal ditekan, persaingan dihapus, dan adat maritim dianggap tidak sah. Inilah wajah kolonialisme hukum yang keras dan menindas.
Puncak penaklukan itu terjadi ketika Sultan Hasanuddin dari Gowa dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal delapan belas November seribu enam ratus enam puluh tujuh. Perjanjian yang terdiri dari dua puluh sembilan pasal itu sejatinya adalah alat untuk melucuti kedaulatan maritim Kerajaan Gowa. VOC memonopoli perdagangan, melarang kapal asing singgah tanpa izin, memaksa penghancuran benteng, dan mengisolasi Makassar. Hukum yang mestinya menjaga keseimbangan justru berubah menjadi algojo kolonial.
Amanna Gappa Bangkit: Lahirnya Hukum “Ade’ Alloping-loping Ribicaranna Pabbalu’e”
Namun sejarah Nusantara tak pernah kering dari perlawanan, termasuk perlawanan dengan pena dan pikiran. Sembilan tahun setelah Bongaya, lahir gagasan cemerlang dari seorang tokoh Bugis: Amanna Gappa, Matoa Wajo ke-3. Ia menyadari hukum tidak boleh hanya berpihak pada modal asing. Ia pun mengundang saudagar, pelaut, dan pemimpin dari Makassar, Bone, Wajo, dan berbagai pesisir timur Nusantara. Pertemuan itu bukan hasil todongan meriam, melainkan musyawarah untuk mencari aturan yang adil bagi semua.
Dari forum itulah lahir Ade’ Alloping-loping Ribicaranna Pabbalu’e, lebih dikenal sebagai Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa. Sebuah karya hukum maritim yang terdiri atas dua puluh satu pasal, mencakup hampir semua aspek perdagangan di laut. Aturannya detail: mulai dari sewa kapal, syarat nakhoda, pembagian laba, hingga penyelesaian bila seorang pedagang meninggal di perjalanan. Bahkan terdapat pasal yang mengatur bagaimana memperlakukan orang yang ditemukan terapung di laut. Ia bukan hanya hukum ekonomi, melainkan juga hukum kemanusiaan.
Dialog di Bola Soba Nan Agung
Bayangkan sebuah rumah panggung di Wajo, tahun seribu enam ratus tujuh puluh enam. Para saudagar dan pelaut berkumpul. Amanna Gappa berdiri di hadapan mereka, suaranya tegas namun teduh.
“Apakah kita rela dagang kita diatur oleh hukum yang bukan lahir dari bumi kita?” tanyanya.
Seorang saudagar Makassar menjawab, “Kami lelah ditindas. Muatan kapal kami sering disita, keuntungan diperas oleh aturan VOC.”
Amanna Gappa mengangguk, lalu menambahkan, “Kalau begitu, mari kita buat hukum kita sendiri. Hukum yang adil bagi nakhoda, pedagang, dan awak kapal. Hukum yang melindungi orang kecil di tengah samudera.”
Suasana ruangan bola shening sejenak, lalu riuh tepuk tangan menyambut gagasan itu. Dari percakapan sederhana itulah lahir hukum maritim yang visioner.
Prinsip Keadilan yang Visioner dan Antitesis VOC
Keistimewaan hukum Amanna Gappa terletak pada semangat keadilannya. Sewa muatan perahu harus dicatat, nakhoda dipilih karena kompetensi bukan harta, laba dibagi transparan, dan harta pedagang yang wafat wajib dipertanggungjawabkan. Siapa pun yang ditemukan di laut harus ditolong. Nilai-nilai kesetaraan, keterbukaan, dan proteksi sosial menjiwai seluruh aturan itu. Ia menjadi cermin bahwa hukum lahir dari kebutuhan riil masyarakat, bukan dari tekanan senjata.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan aturan VOC yang kaku dan menindas, hukum Amanna Gappa justru menempatkan semua pihak setara. Pemilik kapal, pedagang, nakhoda, hingga awak berada dalam posisi seimbang. Sengketa diselesaikan dengan musyawarah, bukan pemaksaan. Transparansi keuangan menjadi kewajiban, bukan pilihan. Prinsip-prinsip ini menjadikan hukum Amanna Gappa sebuah antitesis sempurna dari wajah kolonial.
Lex Mercatoria dari Timur Yang Terpinggirkan oleh Kolonialisme
Yang menarik, nilai-nilai yang diusung Amanna Gappa muncul jauh sebelum dunia Barat mengenal lex mercatoria, hukum dagang internasional modern. Ketika Eropa baru mulai merumuskan standar kontrak dan penyelesaian sengketa, Nusantara sudah lebih dulu menghadirkan sistem hukum maritim yang matang. Fakta ini menggugurkan anggapan bahwa modernitas hukum hanya lahir dari Barat.
Sayangnya, meski visioner, hukum Amanna Gappa tak mampu mengalahkan arus besar kolonialisme. VOC semakin menguat dan hukum lokal terpinggirkan. Para pelaut Bugis dan Makassar masih menghormati aturan ini, tetapi pengaruhnya tak bisa menembus pagar monopoli kolonial. Seperti banyak warisan hukum Nusantara, ia perlahan tersisih dari panggung utama sejarah.
Baca Juga: UNODC, Badiklat Kejaksaan dan BSDK MA adakan Peradilan Semu Kejahatan Maritim
Warisan yang Tetap Menyala
Sebagai penutup, jasa Amanna Gappa tidak berhenti sebagai catatan di lembaran sejarah, melainkan menjelma sebagai denyut hidup dalam ingatan bangsa. Ia bukan hanya seorang nakhoda ulung dan pedagang tangguh, tetapi juga perumus hukum maritim yang lahir dari kearifan laut Nusantara, berdiri tegak di tengah arus penindasan hukum kolonial. Untuk menghormati jejak agung itu, namanya kini terpatri sebagai nama gedung di Pusat Bahasa Universitas Hasanuddin, seakan mengingatkan setiap langkah mahasiswa bahwa keadilan sejati harus bertolak dari akar tradisi sendiri. Dan bila ingin menelusuri lebih dalam jejak kisahnya, Museum La Galigo menjadi ruang sunyi yang menyimpan cerita Amanna Gappa, di mana hukum, sejarah, dan budaya berpadu menjadi warisan yang tak lekang dimakan zaman. IKAW
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI