Tepat hari ini, 79 tahun lalu, krisis politik di Indonesia melahirkan pergerakan yang disebut Peristiwa 3 Juli 1946. Insiden tersebut merupakan upaya coup d'état (kudeta) pertama sejak negara ini berdiri, dipicu oleh perbedaan pendekatan dalam menghadapi Belanda.
Kala itu, pemerintah yang diwakili oleh Sukarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir lebih mendorong jalur diplomasi dan negosiasi. Namun di kubu seberang, ada tokoh-tokoh berpengaruh seperti Tan Malaka, Sumantri dan Chaerul Saleh yang memilih opsi militer (Zara, 2009:1-2).
Baca Juga: Menilisik Ajaran Kausalitas dalam Penerapan Peristiwa Pidana di Pengadilan
Ketegangan memuncak ketika kelompok oposisi yang tidak puas dengan kebijakan diplomatik menculik Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada 27 Juni 1946. Menariknya, penculikan ini terjadi tanpa kekerasan. Sjarir lalu dibawa dari Solo ke Boyolali dengan sopan, tidak seperti orang yang diculik (sumber: SINDOnews).
Pada 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono yang menjadi dalang penculikan menemui Presiden Sukarno di Yogyakarta. Ia menyodorkan maklumat berisi perintah agar Presiden Sukarno membubarkan Kabinet Sjahrir II. Sukarno yang menolak untuk menyetujui lalu memerintahkan penangkapan Soedarsono beserta para simpatisan lain.
Pasca peristiwa tersebut, 14 orang dituntut di hadapan Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa yang diketuai Kusumah Atmaja. Persidangan ini digelar di Yogyakarta atas dakwaan pelanggaran Pasal 107 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun hingga seumur hidup.
Pengadilan akhirnya menjatuhkan putusan pada 27 Mei 1948. Tujuh orang dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, yakni: Soedarsono (4 tahun), Achmad Soebardjo (3 tahun), Moh. Yamin (4 tahun), Koesoemasoemantri (3 tahun), Budhyarto (2,5 tahun), Martoatmodjo (2 tahun), Muhammad Saleh (2,5 tahun).
Meskipun dijatuhi pidana, karena motif kudeta dilandasi niat mulia demi mempertahankan kedaulatan bangsa, para pelaku hanya dijatuhi pidana tutupan. Menurut Sianturi (1986: 478-479), putusan ini merupakan satu-satunya pidana tutupan yang pernah dijatuhkan di Indonesia. Dua tahun kemudian, Presiden Sukarno menerbitkan grasi yang membebaskan dan memulihkan nama baik para pelaku Peristiwa 3 Juli 1946 (Yusuf, 2024: 41-42).
Keistimewaan Pidana Tutupan
Sumber hukum utama pidana tutupan termuat dalam UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Beleid ini memungkinkan hakim untuk menjatuhkan pidana alternatif bagi pelaku kejahatan atas dorongan niat yang patut dihormati. Ketentuan serupa kembali ditegaskan dalam Pasal 74 KUHP Nasional: pidana tutupan dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong maksud yang patut dihormati. Dalam penjelasan, kejahatan yang dijatuhi dengan tutupan pada dasarnya adalah "tindak pidana politik".
Penerapan pidana tutupan berasal dari gagasan bahwa kejahatan politik memiliki perbedaan motif dibandingkan kejahatan biasa yang didasarkan niat jahat (malicious intent). Maka dari itu, kejahatan politik dihukum dengan pidana yang lebih ringan dibandingkan penjara tradisional, dalam bentuk custodia honesta atau penahanan terhormat (honorary custody).
Di Jerman, ada konsep yang serupa dan dikenal dengan terminologi festungshaft. Hukuman ini berlaku pada abad ke-16 hingga tahun 1970 serta dipandang secara umum sebagai pidana yang tidak menghina. Hukuman ini memberikan kebebasan yang luas kepada terpidana, seperti tidak ada kewajiban kerja paksa (Krause, 2008:1556). Adolf Hitler pernah menjalani festungshaft pada tahun 1923 karena upaya kudeta yang gagal.
Baca Juga: Keren! Komunitas Ngewedang PT Denpasar Bersih-bersih Pantai KuDeTa
Keistimewaan pidana tutupan terletak pada perlakuannya yang jauh lebih manusiawi dibandingkan pidana penjara biasa. Berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan, terpidana berhak atas kondisi tahanan yang layak. Sebagai contoh, mereka boleh mengenakan pakaian sendiri, menerima makanan dan minuman dari luar, membaca buku dan berlangganan surat kabar, serta mendapatkan pemeriksaan kesehatan rutin. Kualitas makanannya pun lebih baik dibandingkan penjara biasa, air minumnya telah dimasak, diberikan sabun untuk mencuci pakaian, bahkan jatah rokok. (wi)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI