Cari Berita

Dekonstruksi Pidana Penjara Jangka Pendek: Membongkar Paradigma Usang Tentang Pemidanaan

Yonatan Iskandar Chandra-Hakim PN Payakumbuh - Dandapala Contributor 2025-05-11 08:00:43
Yonatan Iskandar Chandra

Memasuki pertengahan tahun 2025 menandai semakin dekatnya pemberlakuan KUHP Nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, yang disahkan pada tanggal 2 Januari 2023. Sesuai Pasal 624, aturan ini mulai berlaku tiga tahun setelah diundangkan, yakni pada tanggal 2 Januari 2026. Berlakunya KUHP Nasional membawa banyak perubahan besar dalam sistem hukum pidana di Indonesia, terkhusus dalam hal pemidanaan.

Secara garis besar, pemidanaan dalam KUHP Nasional harus selalu didasarkan pada 4 (empat) tujuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 51, yaitu (1) mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat, (2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna, (3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, dan (4) menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dari tujuan pemidanaan tersebut berkembang suatu gagasan baru yaitu ide untuk menghindari opsi penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan/penjara jangka pendek oleh Hakim dan beralih ke penjatuhan sanksi pidana alternatif.

Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak

Hal ini menimbulkan kompleksitas, manakala Hakim-Hakim di Indonesia sudah sejak lama berkutat dengan paradigma ‘usang’ tentang pemidanaan yang bersifat pembalasan/retributif. Hal ini didasari karena adanya pandangan yang berkembang, tidak hanya di kalangan para Hakim, namun juga pada masyarakat umum yang beranggapan jika suatu kejahatan yang tidak dibalas dengan penghukuman adalah suatu hal yang tidak disenangi, sehingga pelaku kejahatan harus mengalami beratnya nestapa/penderitaan seperti juga ia mengakibatkan penderitaan kepada orang lain. Namun demikian, dengan adanya perubahan ide tentang pemidanaan tersebut, timbul suatu dorongan kuat yang mengharuskan para Hakim untuk beradaptasi dengan gagasan pemidanaan baru, yang salah satu caranya adalah dengan menata ulang/mendekonstruksi paradigma penjatuhan pidana penjara jangka pendek kepada Terdakwa di era KUHP Nasional.

Mengapa penjatuhan pidana penjara jangka pendek harus dihindari?

Ide untuk menghindari penjatuhan pidana penjara jangka pendek sebenarnya sudah mulai berkembang sekitar pada tahun 1960, dimana pada kala itu dalam Kongres ke-2 PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di London merekomendasikan bahwa penjatuhan pidana penjara jangka pendek berpotensi bahaya karena dapat menyebabkan terpidana terkontaminasi/terpapar lingkungan yang dapat merusaknya. Selain itu, hal tersebut juga tidak memberikan cukup waktu kepada terpidana untuk mengikuti pelatihan yang konstruktif/bermanfaat.

Kemudian, Kongres juga menyadari bahwa menghapuskan jenis pidana penjara secara keseluruhan adalah hal yang tidak mungkin dilakukan, sehingga disarankan untuk meningkatkan alternatif pidana seperti pidana bersyarat, pengawasan/probation, denda, kerja sosial, serta tindakan lain yang tidak melibatkan perampasan kemerdekaan. Seorang yuris dari Norwegia yang bernama Johannes Andenaes, pernah mengatakan hal yang serupa jika alternatif pidana berupa denda dan/atau probation dapat menggantikan pidana penjara dengan dasar pertimbangan yakni alternatif tersebut bersifat humanis dan ekonomis. Prof. Manuel Lopez Rey dari Bolivia di dalam Kongres PBB keempat tahun 1970 juga mengatakan jika “short term imprisonment” dapat meniadakan kemungkinan atau harapan untuk seorang terpidana direhabilitasi.

Gagasan Anti Pidana Penjara Jangka Pendek Dalam KUHP Nasional

Jika kita melihat isi dari KUHP Nasional secara menyeluruh, sebenarnya tidak pernah termuat secara literal tentang gagasan anti penjatuhan pidana penjara jangka pendek kepada Terdakwa. Namun, dalam penjelasan umum Buku Kesatu angka 3, disana pertama kali muncul istilah “pengembangan alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek”, yang jika dipahami secara kontekstual, ide tersebut dituangkan dalam penjelasan umum adalah untuk menggambarkan pendekatan pemidanaan dalam KUHP Nasional yang lebih manusiawi.

Adapun dalam Pasal 65 diatur tentang jenis-jenis pidana pokok yang cukup berbeda dengan Pasal 10 KUHP Lama. Terdapat 5 (lima) jenis pidana pokok, yakni (a) pidana penjara, (b) pidana tutupan, (c) pidana pengawasan, (d) pidana denda, dan (e) pidana kerja sosial (dan sebagai catatan, untuk jenis pidana Kurungan telah dihilangkan dalam KUHP Nasional). Terdapat 2 (dua) jenis pidana baru yaitu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, dimana kedua pidana tersebut, termasuk juga pidana denda diharapkan dapat dikembangkan sebagai alternatif dari penjatuhan pidana penjara jangka pendek. Dalam penjelasan Pasal 65, pada prinsipnya ancaman pidana pokok terhadap Tindak Pidana yang ada dalam Buku Kedua hanya berupa pidana penjara dan pidana denda saja. Sedangkan untuk pidana tutupan (Pasal 74), pidana pengawasan (Pasal 75), dan pidana kerja sosial (Pasal 85) dibuat sebagai alternatif dari penjatuhan pidana penjara dan pidana denda yang tidak dijalankan.

Selanjutnya, Pasal 70 juga mengatur agar Hakim dalam hal pemidanaan sedapat mungkin tidak menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa, yang dalam pelaksanaannya, Hakim wajib untuk memperhatikan dan mempertimbangkan 15 (lima belas) keadaan Terdakwa sehingga Terdakwa tidak dikenakan pidana penjara. Lalu Pasal 71 mengatur jika seseorang melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara di bawah 5 (lima) tahun, dimana hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan tujuan pemidanaan, orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda. Dalam penjelasan Pasal 71 kembali ditekankan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan, salah satunya untuk menghindari penjatuhan pidana penjara jangka pendek. Kemudian, dalam penjelasan Pasal 85 tentang pidana kerja sosial juga diterangkan jika jenis pidana tersebut diterapkan sebagai alternatif dari penjatuhan pidana penjara jangka pendek.

Dari beberapa ketentuan pasal dalam KUHP Nasional di atas, para Hakim perlu untuk mendekonstruksi pemahamannya tentang penjatuhan pidana penjara jangka pendek, dan dengan demikian juga harus ‘membongkar’ pemahamam ‘usang’ tentang pemidanaan yang selalu bersifat pembalasan/retributif. Selain itu, para Hakim juga harus menyikapi perubahan ini dengan mulai mempelajari secara komprehensif tentang penjatuhan alternatif pidana pengganti dari pidana penjara jangka pendek sebagai bentuk dukungan terhadap gagasan pemidanaan baru yang diusung oleh KUHP Nasional.

Baca Juga: Paradigma Restorative Justice dalam Peradilan Pidana Modern

Kesimpulan

Dari hal-hal tersebut di atas, dapat ditarik dan dirangkai suatu benang merah yaitu KUHP Nasional telah menggeser dan membawa paradigama pemidanaan baru, dari yang sebelum bersifat pembalasan/retributif menjadi pemidanaan yang lebih manusiawi, yang salah satu bentuknya adalah dengan penerapan alternatif pidana pengganti dari pidana penjara jangka pendek. Selain itu, para Hakim juga harus secara perlahan melakukan pergeseran paradigma sebagaimana ungkapan yang diutarakan oleh George Bernard Shaw, “Now, if you are to punish a man retributively, you must injure him. If you are to reform him, you must improve him. And men are not improved by injuries.” (Sekarang, jika Anda ingin menghukum seseorang sebagai pembalasan, Anda harus melukainya. Jika Anda ingin memperbaikinya, Anda harus membuatnya lebih baik. Dan manusia tidak akan menjadi lebih baik dengan luka-luka). (LDR, SNR)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI