Cari Berita

Mengulas Eksistensi Pidana Kurungan pada KUHP Nasional

Muh. Aldhyansah Dodhy Putra-Hakim PN Takalar - Dandapala Contributor 2025-09-19 12:05:13
Dok. Penulis.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) akan diberlakukan pada awal tahun 2026 kelak. Seiring dengan itu pula maka Wetboek van Strafrecht (WvS) yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP Lama) sudah tidak lagi berlaku. Misi dekolonisasi yang diusung oleh KUHP Nasional diharapkan dapat membawa perubahan signifikan terhadap pembaruan sistem hukum di Indonesia.  

Salah satu perubahan yang diusung oleh KUHP Nasional ialah perihal jenis-jenis pemidanaan. Rumusan pemidanaan pada KUHP Nasional telah memerhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku tindak pidana (daad-daderstrafrecht). Bahkan dalam menjatuhkan pidana, hakim harus senantiasa berorientasi pada tujuan pemidanaan, dengan mendahulukan jenis pidana yang lebih ringan.

Pada Pasal 65 ayat (1) KUHP Nasional sendiri disebutkan bahwa pidana pokok terdiri atas:

Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

a.   Pidana penjara

b.   Pidana tutupan

c.   Pidana pengawasan

d.   Pidana denda

e.   Pidana kerja sosial

Melalui pasal tersebut dapat dilihat perbedaan substantif dengan absennya pidana mati dan kurungan yang sebelumnya termasuk dalam jenis pidana pokok pada Pasal 10 KUHP Lama. Hanya saja berbeda dengan pidana mati yang diklasifikasikan dalam pidana yang bersifat khusus, kurungan tidak lagi dikenal dalam sistem pidana (straf stelsel).

Pidana kurungan sebelumnya diatur pada Pasal 23 KUHP Lama. Pada pidana kurungan, terpidana diberikan ruang untuk meringankan nasibnya pada saat dihukum yang juga dikenal sebagai hak pistole. Pistole sendiri berasal dari nama koin emas yang berlaku di Perancis pada abad ke-17 dan 18. Pada saat itu, seorang terpidana dapat menggunakan pistole untuk memperbaiki kualitas jerujinya.[1]

Hak pistole itu pulalah yang membedakan pidana kurungan dengan pidana penjara. Bahkan dalam Pasal 28 KUHP Lama, pidana penjara dan kurungan dapat dilaksanakan di satu tempat yang sama namun harus terpisah.

Ketiadaan pidana kurungan kemudian menghasilkan pertanyaan baru. Lalu bagaimana penerapan penjatuhan hukuman kurungan yang diatur pada Undang-Undang (UU) khusus lain?

Melalui KUHP Nasional, pidana kurungan yang sering diancam alternatif pada UU khusus dan Peraturan Daerah (Perda) telah ditiadakan dan digantikan dengan penjatuhan denda. Seperti yang diatur pada Pasal 615 KUHP Nasional, yang mengatur:

1.  pidana kurungan kurang dari 6 (enam) bulan diganti dengan pidana denda paling banyak kategori I; dan

2.  pidana kurungan 6 (enam) bulan atau lebih diganti dengan pidana denda paling banyak kategori II;

Pasal 615 KUHP Nasional tersebut pula akan berjalan seiringan dengan ketentuan-ketentuan lain yang mengatur pemidanaan. Sebagai contoh ialah Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa ketentuan pidana pada Perda ialah berupa ancaman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Setelah KUHP Nasional berlaku nanti maka seluruh ancaman pidana kurungan pada Perda di seluruh Indonesia secara mutatis mutandis berganti dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Sesuai Dengan Tujuan KUHP Nasional

H.B. Vos, ahli hukum pidana Belanda, menyebutkan bahwa pidana kurungan memiliki 2 (dua) tujuan.[2] Tujuan pertama ialah sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan yaitu delik culpa dan beberapa dolus. Tujuan kedua pidana kurungan ialah sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Sehingga secara konseptual, memang benar jika disebut bahwa pidana kurungan adalah pidana pokok bagi delik-delik pelanggaran.

Tiadanya pidana kurungan juga dipengaruhi dengan eksistensi delik pelanggaran pada KUHP Nasional itu sendiri. Bukan kebetulan jika pada KUHP Nasional pembedaan tindak pidana kejahatan (rechtsdelict) dan pelanggaran (wetsdelict) telah dihapuskan.

Jika pada KUHP lama terdiri atas 3 (tiga) buku yakni Aturan Umum, Kejahatan, dan Pelanggaran, maka KUHP Nasional hanya terdiri dari 2 (dua) buku yakni tentang Aturan Umum dan Tindak Pidana. Konsep pembedaan kejahatan dan pelanggaran sebagai selama ini memang dianggap tidak dapat dipertahankan secara konsisten.[3]

Secara konseptual, dihapusnya pidana kurungan sendiri merupakan pengejewantahan dari tujuan KUHP Nasional untuk mencegah penjatuhan pidana dalam waktu singkat.[4] Sebagai gantinya KUHP Nasional lebih mendorong cita untuk memasyaratkan terpidana, salah satunya dengan memasukkan kerja sosial sebagai jenis pidana pokok.

Tiadanya pidana kurungan juga menjadi wujud KUHP Nasional dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Mengingat pidana kurungan merupakan bentuk perampasan kemerdekaan sekaligus pembatasan kebebasan bagi seorang terpidana. Sebagaimana defenisi kebebasan sebagai segala sesuatu yang dilakukan tanpa adanya kontrol dan paksaan dari orang lain atau lembaga. Salah satu bentuk kebebasan tersebut adalah kebebasan untuk bergerak.[5]

Eksistensi pidana kurungan di saat sudah ada pidana penjara tentu dirasa kurang memberikan solusi terhadap implementasi nilai HAM pada sistem hukum Indonesia. Terlebih dengan tujuan pemidanaan pada KUHP Nasional yakni pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Sehingga memang tepat rasanya tindakan pembuat Undang-Undang yang menghapus kurungan sebagai salah satu jenis pidana pokok.

Referensi:

[1] www.paris-conciergerie.fr, "Prison life during the Revolution"

[2] Farid, A.Z. Abidin dan Andi Hamzah. (2006). Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, (Jakarta: Rajawali Pers). h. 289

[3] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[4] Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. (Depok: Rajawali Pers), h. 634.

Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023

[5] Dirk Ehlers. (2007). European Fundamental Rights and Freedoms. Berlin

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI