Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) akan diberlakukan
pada awal tahun 2026 kelak. Seiring dengan itu pula maka Wetboek van Strafrecht (WvS) yang disahkan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP Lama) sudah tidak lagi
berlaku. Misi dekolonisasi yang diusung oleh KUHP Nasional
diharapkan dapat membawa perubahan signifikan terhadap pembaruan sistem hukum
di Indonesia.
Salah satu perubahan yang diusung oleh KUHP Nasional ialah perihal
jenis-jenis pemidanaan. Rumusan pemidanaan pada KUHP Nasional telah
memerhatikan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan keadaan pelaku
tindak pidana (daad-daderstrafrecht). Bahkan
dalam menjatuhkan pidana, hakim harus senantiasa berorientasi pada tujuan
pemidanaan, dengan mendahulukan jenis pidana yang lebih ringan.
Pada Pasal 65 ayat (1) KUHP Nasional sendiri disebutkan bahwa pidana
pokok terdiri atas:
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
a. Pidana
penjara
b. Pidana
tutupan
c. Pidana
pengawasan
d. Pidana
denda
e. Pidana
kerja sosial
Melalui pasal tersebut dapat dilihat perbedaan substantif dengan
absennya pidana mati dan kurungan yang sebelumnya termasuk dalam jenis pidana
pokok pada Pasal 10 KUHP Lama. Hanya saja berbeda dengan pidana mati yang diklasifikasikan
dalam pidana yang bersifat khusus, kurungan tidak lagi dikenal dalam sistem
pidana (straf stelsel).
Pidana kurungan sebelumnya diatur pada Pasal 23 KUHP Lama. Pada pidana
kurungan, terpidana diberikan ruang untuk meringankan nasibnya pada saat
dihukum yang juga dikenal sebagai hak pistole. Pistole sendiri berasal dari
nama koin emas yang berlaku di Perancis pada abad ke-17 dan 18. Pada saat itu,
seorang terpidana dapat menggunakan pistole untuk memperbaiki kualitas
jerujinya.[1]
Hak pistole itu pulalah yang membedakan pidana kurungan dengan pidana
penjara. Bahkan dalam Pasal 28 KUHP Lama, pidana penjara dan kurungan dapat
dilaksanakan di satu tempat yang sama namun harus terpisah.
Ketiadaan pidana kurungan kemudian menghasilkan pertanyaan baru. Lalu
bagaimana penerapan penjatuhan hukuman kurungan yang diatur pada Undang-Undang
(UU) khusus lain?
Melalui KUHP Nasional, pidana kurungan yang sering diancam alternatif
pada UU khusus dan Peraturan Daerah (Perda) telah ditiadakan dan digantikan
dengan penjatuhan denda. Seperti yang diatur pada Pasal 615 KUHP Nasional, yang
mengatur:
1. pidana
kurungan kurang dari 6 (enam) bulan diganti dengan pidana denda paling banyak
kategori I; dan
2. pidana
kurungan 6 (enam) bulan atau lebih diganti dengan pidana denda paling banyak
kategori II;
Pasal 615 KUHP Nasional tersebut pula akan berjalan seiringan dengan
ketentuan-ketentuan lain yang mengatur pemidanaan. Sebagai contoh ialah Pasal
15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa ketentuan pidana pada Perda
ialah berupa ancaman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Setelah KUHP Nasional
berlaku nanti maka seluruh ancaman pidana kurungan pada Perda di seluruh
Indonesia secara mutatis mutandis berganti dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) atau Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Sesuai Dengan Tujuan KUHP Nasional
H.B. Vos, ahli hukum pidana Belanda, menyebutkan bahwa pidana kurungan
memiliki 2 (dua) tujuan.[2] Tujuan pertama ialah sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut
kejahatan kesusilaan yaitu
delik culpa dan beberapa dolus. Tujuan kedua
pidana kurungan ialah sebagai custodia
simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Sehingga secara
konseptual, memang benar jika disebut bahwa pidana kurungan adalah pidana pokok
bagi delik-delik pelanggaran.
Tiadanya pidana kurungan juga dipengaruhi dengan eksistensi delik pelanggaran pada KUHP Nasional itu sendiri. Bukan kebetulan jika pada KUHP Nasional pembedaan tindak pidana kejahatan (rechtsdelict) dan pelanggaran (wetsdelict) telah dihapuskan.
Jika pada KUHP lama terdiri atas 3 (tiga) buku yakni Aturan Umum,
Kejahatan, dan Pelanggaran, maka KUHP Nasional hanya terdiri dari 2 (dua) buku
yakni tentang Aturan Umum dan Tindak Pidana. Konsep pembedaan kejahatan dan pelanggaran sebagai
selama ini memang dianggap tidak dapat dipertahankan secara konsisten.[3]
Secara konseptual, dihapusnya pidana kurungan sendiri merupakan
pengejewantahan dari tujuan KUHP Nasional untuk mencegah penjatuhan pidana
dalam waktu singkat.[4] Sebagai gantinya KUHP Nasional lebih mendorong cita
untuk memasyaratkan terpidana, salah satunya dengan memasukkan kerja sosial
sebagai jenis pidana pokok.
Tiadanya pidana
kurungan juga menjadi wujud KUHP Nasional dalam menjunjung tinggi hak asasi
manusia (HAM). Mengingat pidana kurungan merupakan bentuk perampasan
kemerdekaan sekaligus pembatasan kebebasan bagi seorang terpidana. Sebagaimana
defenisi kebebasan sebagai segala sesuatu yang dilakukan tanpa adanya kontrol dan
paksaan dari orang lain atau lembaga. Salah satu bentuk kebebasan tersebut
adalah kebebasan untuk bergerak.[5]
Eksistensi pidana kurungan di saat sudah ada pidana penjara tentu dirasa kurang memberikan solusi terhadap implementasi nilai HAM pada sistem hukum Indonesia. Terlebih dengan tujuan pemidanaan pada KUHP Nasional yakni pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Sehingga memang tepat rasanya tindakan pembuat Undang-Undang yang menghapus kurungan sebagai salah satu jenis pidana pokok.
Referensi:
[1] www.paris-conciergerie.fr,
"Prison life during the Revolution"
[2] Farid, A.Z. Abidin dan
Andi Hamzah. (2006). Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik, (Jakarta: Rajawali
Pers). h. 289
[3] Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
[4] Eddy O.S. Hiariej dan
Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. (Depok: Rajawali Pers), h. 634.
Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023
[5] Dirk Ehlers. (2007).
European Fundamental Rights and Freedoms. Berlin
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI