Cari Berita

Jalan Tengah: Solusi Alternatif Penyelesaian dalam Pelanggaran HAM Berat

Moh. Puguh Haryogi-Hakim Ad Hoc HAM pada MA RI - Dandapala Contributor 2025-11-19 16:10:04
Dok. Penulis.

Iftitah

Jaminan akan pemenuhan perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang esenssial dan substansi dalam negara hukum modern, yang secara Internasional telah mendapatkan pengakuan dalam sebagian besar negara-negara di dunia.

Di Indonesia sendiri jaminan akan hak asasi manusia telah mendapat pengakuan yang diatur secara nyata dalam konstitusi meskipun pada awalnya belum secara spesifik dan tekstual tertuang dalam konstitusi, dan mencapai puncaknya bahwa pengaturan Hak Asasi Manusia secara tekstual masuk di dalam konstitusi perubahan, yang berlaku sejak Amandemen selesai sampai saat sekarang ini.

Dengan diatur lebih luas lagi dalam UUD Negara Republik Indonesia pada BAB X A, Tentang Hak Asasi Manusia, mulai dari pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J, dengan begitu memberikan landasan yang kuat dalam ketata negaraan Negara Republik, dan menjadikan patokan utama bagi seluruh Rakyat, Bangsa dan Negara Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan kewajiban masing-masing sesuai dengan profesinya.

Baca Juga: Hukuman Mati, Perspektif Perbandingan UUD 1945 dan UU HAM

Setiap orang yang berada di wilayah Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis dan hukum Internasional mengenai Hak Asasi Manusia yang telah iterima oleh Negara Republik Indonesia (lihat pasal 67 UU 39/1999).

Demikian juga Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan Hak asasi Manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagai mana dimaksud diatas meliputi langkah implementasi yang efektifdalam bidang hukum, politik, ekonomi sosial budaya, pertahanan keamanan negara dan bidang lain. (lihat pasal 71 dan pasal 72 UU Nomor 39/1999).

Secara aturan memang sudah secara jelas diatur dalam peratururan perundang-undangan yang memberikan legitimasi yang kuat bagi Aparat Penegak Hukum untuk melakukan penegakkan hukum, namun dalam inplemantasinaya masih banyak terjadi pelanggran-pelanggraan termasuk didalamnya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh masyarakat dan aparat hukum, yang menurut Komnas HAM setidaknya diduga melakukan pelanggara HAM berat (setidaknya terdapat 12 kasus yang terjadi, lihat rilis Komnas HAM), yaitu:

1.     Peristiwa 1965/1966

2.     Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985)

3.     Peristiwa Tanjung Priok (1984-1985);

4.     Peristiwa Talangsari (1989)

5.     Peristiwa Kerusuhan Mei (1998);

6.     Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998) dan Semanggi 2 (1999)

7.     Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis (1997-1998)

8.     Peristiwa Timor Timur (1999)

9.     Peristiwa Abepura (2000)

10.  Peristiwa Wasior (2001) dan Wamena (2003)

11.  Peristiwa Jambu Keupok (2003)

12.  Peristiwa Rumoh Geudong Pidie (1989-1998)

Pelanggaran HAM berat juga sudah diatur dalam Undang-undang, yaitu UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi manusia, yang dalam pasal 7 disebutkan, Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. Kejahatan Genosida dan b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan.

Pasal 8 : Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.

Pasal 9: Kejahatan  terhadap  kemanusiaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7  huruf  b adalah  salah  satu  perbuatan  yang  dilakukan  sebagai  bagian  dari  serangan  yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Dengan telah diaturnya secara terperinci dalam bentuk UU memberikan pedoman yang kuat kepada aparat penegak hukum dalam melakukan tugas dan taggung jawabnya dalam melaksanakan penegakan hukum manakala terjadi suatu peristiwa yang masuk dalam delik HAM berat dimaksud.

Penegakkan hukum yang telah dilakukan oleh aparat dan berujung pada persidangan Pelanggaran HAM berat secara empiris telah membuktikan bahwa perbuatan yang dimaknai sebagai pelanggaran HAM berat tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi sejak awal, artinya bahwa dari 4 peristiwa yang disidangkan pada Pengadilan HAM Berat, baik pengadilan HAM Ad hoc untuk kasus Timor Timur dan Kasus Tanjung Priok, maupun Pengadilan HAM permanen, yaitu untuk kasus Abepura dan Paniai, sebagian besar terdakwa tidak terbukti di persdiangan melakukan Delik HAM, sehingga konsekwensinya adalah putusan bebas atau setidaknya putusan lepas. (Lihat pasal 191 UU Nomor 8/1981 Tentang Hukum Acara Pidana).

Menjadi pertanyaan besar, yang merupakan permasalahan yang akan diangkat dalam pembahasan yang singkat ini, diantaranya adalah Siapakah yang sesungguhnya harus bertanggung jawab dalam hal terjadinya pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, sedangkan permasalahn kedua adalah bagaimanakah peran negara dalam menyikapi terjadinya pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.

Tanggung Jawab Pidana Pelanggaran Berat HAM

Pengadilan HAM di Indonesia merupakan salah satu bagian dari Sistem Peradilan di Indonesia. Pengadilan HAM memiliki tugas penting untuk membangun rasa kepercayaan rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kedaulatan dan kepastian hukum di Indonesia saat ini.

Eksistensi dan peran pengadilan HAM adalah menghargai nilai kemanusiaan, hak-hak korban, hak-hak pelaku, sensitifitas sosial dan moralitas universal. (1)

Dalam kekuasaan yudikatif di Indonesia, dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dari semua lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintahan dan pengaruh-pengaruh lainnya, karenanya suatu kekuasaan yudikatif  haruslah independen. Karena putusan yang  telah diambil oleh majelis hakim dalam perkara pelanggaran berat HAM terhadap kasus yang dirasa berada diluar expektasi penuntut umum, haruslah dihargai dengan menggunakan prinsip Rex Yudicata Pro Feritate Habituer

Pertanggung jawaban kekuasaan kehakiman dibangun diatas prinsip yang merupakan perpaduan antara tanggung jawab politik dan kemasyarakatan dengan tanggung jawab hukum. Diatas prinsip itulah kekuasaan kehakiman dapat bersikap responsive terhadap perkembangan masyarakat. (2)

Pertanggung  jawaban dalam  pelanggaran HAM Berat mempunyai karakteristik tersendiri, dalam artian pelanggaran HAM berat bisa diklasifikasikan adanya tanggung jawab pribadi, juga adanya tanggung jawab komando. Dalam Pertanggungjawaban pribadi seseorang yang melakukan pelanggaran berat HAM apabila memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM Berat dan tindakan yang dilakukan merupakan rumusan dari Tindak Pidana Pelanggaran Berat HAM sebagaimana ditentukan secara limitatif dalam undang-undang, maka memberikan konsekwensi kepada pelakunya untuk bertangung jawab.

Lebih luas lagi ada jenis pertanggungjawaban komando, yang bisa membebaskan seseorang pelaku pelanggaran HAM Berat manakala ada komando dalam perbuatan yang dilakukannya, artinya tanggung jawab pelanggaran berat HAM berat tersebut beralih kepada komandan, yang tentunya hal ini harus dibuktikan dengan pembuktian yang akurat terhadap sistem komando yang telah dilaksanakan, dengan tetap memperhatikan sistem pertanggung jawaban pidana.

Dengan pemikiran yang demikian juga bisa dipakai sebagai upaya untuk menjadikan pelaku dan juga juga komandan yang melakukan tindak pidana termasuk didalamnya adalah pelanggaran berat HAM untuk tidak bisa mengelak terhadap pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya, sehingga keduanya harus bertanggungjawab.

Sebagai bahan rujukan terhadap pertanggung jawaban komando ini bisa dirujuk pada Yurisprudensi Internasional dalam beberapa kasus yang pernah terjadi diantaranya adalah kejahatan perang pada Mahkamah Nurenberg dan juga Mahkamah Tokyo, yang kesemuanya itu adalah untuk memenuhi prinsip fundamental yang berlaku universal dalam hukum pidana yaitu prinsip aut punere aut dedere tidak boleh ada kejahatan yang berlalu tanpa hukuman.(3)

Hal mana berkesesuaian antara  beberapa kasus dalam pelanggaran berat dengan  teori  Tanggung jawab multlak  atau tanggungjawab Absolud/retributif yang dikemukakan oleh Imanuel Kant dan Hegel, (4) yang berpandangan bahwa setiap yang melakukan kejahatan harus bertanggung jawab, menjadi sebuah teori yang relevan dalam menangani pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.

Peran Negara dalam Pelangaran HAM Berat

Berdasarkan komparansi di beberapa negara sejatinya banyak varian cara-cara yang digunakan dalam menangani pelanggaran HAM berat ini, yang hingga saat ini ada beberapa model (5) dalam upaya menuntut dan mengadili pelanggaran HAM berat, yaitu:

  1. Penuntutan dan Pengadilan Reguler, seperti penuntutan terhadap Pinoched di Chilli, John Walker Lind di Amerika Serikat.
  2. Internasional atau Extra-teritorial, seperti tuntutan Spanyol untuk mengekstradisi Phinoched dari Inggris.
  3. Nasional tapi spesial, sperti pengadilan HAM ad hoc di Indonesia dalam kasu pelanggaran HAM di Timor Timor, dan/atau (yad) Tanjung Priok.
  4. Mix model seperti dicontohkan di Sierra Lione dan Kamboja, dimana mayoritas hakimnya dari kamboja dan selebihnya dari negara lain yang difasilitasi PBB, atau sebaliknya. Dan di Kamboja ini belum terlaksana karena PBB keberatan untuk bergabung karena Pemerintahan Kamboja cenderung akan melindungi kroni Pol Pot, sehingga pengadilannya diprediksi akan menjadi sandiwara hukum.
  5. Internasional ad hoc, seperti dicontohkan dalam ICTY dan ICTR.
  6. Pengadilan yang administrasinya dilakukan oleh PBB seperti yang dilakukan di Kosovo dan Timor Timur selama berada dalam kekuasaan UNTAET, karena di daerah tersebut belum ada pemerintahan.
  7. Pengadilan Internasional yang permanen, yang otoritasnya global seperti halnya ICC (the International Criminal Court).
  8. Pengadilan Militer regular yang mengadili tentara dan musuh tentara.
  9. Pengadilan Militer Khusus.

Dengan mendasarkan pada hukum positif di Indonesia, dalam beberapa kasus yang telah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM terhadap dugaan telah terjadi Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat, penyelidikan yang secara menyeluruh dan detail, serta  dakwaan maupun tuntutan telah dilakukan secara komprehensif oleh Jaksa Agung, namun demikian dengan persidangan yang terbuka untuk umum yang akuntabilitasnya bisa dipertanggungjawabkan,  pada akhirnya dakwaan yang telah disusun dengan sesuai kaedah yang ada, dinilai oleh oleh majelis hakim belum dapat membuktikan terjadinya delik tersebut sehingga harus dibebaskan, serta kalaupun bisa dibuktikan tetapi oleh Majelis hakim dimaknai bahwa perbuatan tersebut bukan masuk kualifikasi pelanggaran berat HAM. Inilah yang terjadi dalam persidangan yang telah dilakukan pada Pengadilan HAM Ad Hoc maupun pengadilan HAM permanen yang sudah diuraikan diatas.

Problematika yang demikian  seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi Aparat Penegak Hukum untuk lebih menerapkan unsur kehati-hatian dan kecermatan yang tinggi dalam menyikapi suatu peristiwa yang terjadi, apalagi rentang waktu kejadian yang sudah lama, dan tentunya lebih mempersulit pengumpulan barang bukti, serta menjadikan perkara tersebut sulit untuk dilacak. Hal mana juga sudah disinyalir oleh Undang-undang yang menetapkan bahwa pelanggaran HAM Berat itu merupakan perkara yang tergolong Extra Ordinary Crime yang tentu sangat rumit dan membutuhkan cara cara yang Extra Ordinary Measures.

Sejatinya UUm juga sudah mebuka peluang penyelesaian pelanggaran HAM berat menggunakan jalur lainnya, yaitu jalur Non Penal, hal mana dituangkan dalam BAB X Ketentuan Penutup, Pasal 47 UU 26/2000, yaitu 1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 2) Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk dengan Undang-undang.

Dengan berpedoman pada ketentuan pasal 47 Undang-undang tersebut, maka lahirlah Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsoliasi, yang didalamnya mengatur beberapa hal diantaranya:

1.    Menyelidiki dan mengungkapkan pelanggaran HAM Berat

2.    Menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM

3.    Meningkatkan Kesadaran dan Pendidikan HAM

4.    Meningkatkan Rekonsoliasi Nasional.

Pada intinya Undang-undang ini mencoba mengakomodir cara-cara penyelesaian yang dilakukan dengan mekanisme non penal, artinya lebih kepada alternatif penyelesaian di luar pengadilan HAM dengan maksud dan tujuan akhir untuk meningkatkan rekonsoliasi Nasional dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini bermakna bahwa pembuat undang-undang rupanya juga menyadari bahwa perkara pelanggaran HAM berat ini merupakan perkara yang banyak bersinggungan dengan berbagai dimensi dalam kehidupan bernegara baik secara sosial politik, juga berhubungan dengan pandangan dunia Internasional yang masih mempunyai persepsi berbeda dengan pandangan Nasional, tentunya dengan banyaknya dimensi yang mempengaruhi tersebut menjadi perkara ini merupakan perkara yang tidak sederhana dan memerlukan cara-cara yang tepat dalam menyelesaikannya, tidak hanya berimplikasi pada faktor yudisial semata.

Dalam perkembangannya setelah melaui mekanisme Judicial Review, UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang KKR tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang amarnya : Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, Undang undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsoliasi bertentangan dengan Undang undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Untuk memahami  peran negara dalam menangani kasus pelanggaran HAM Berat ini, digunakan teori Kedaulatan Negara Menurut Jean Bodin dan Georg Jelinek, yaitu : Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala seuatu harus tunduk kepada negara, negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum karena adanya negara, dan tiada satu hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki suatu negara. (6)          

Demikian juga mengenai peran negara ini juga bisa disandarkan pada teori hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (7) bahwa pemaknaan aturan-aturan hukum yang bersifat abstrak haruslah disandarkan pada kepentingan manusia sebagai subyek dari hukum tersebut, hal mana membawa konsekwensi bahwa aturan-aturan hukum lebih mengedepankan pada pada perasaan keadilan yang dianut oleh rakyat banyak.

Karena itu hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya, maka harus memiliki kepekaan pada persoalan-persolana yang timbul dalam hubungan antar manusia, yang salah satu persoalan krusial dalam hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia pada struktur yang menindas, baik ekonomi politik, maupun sosail dan budaya. Maka hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris atau yang membebaskan.

Berkesesuaian antara teori kedaulatan negara tersebut dengan teori hukum progresif yang kedua teori tersebut memberikan jalan yang lapang kepada negara dalam menyelesaikan pelanggaran berat HAM yang terjadi dalam negara tersebut, artinya negera mempunyai bebrapa alternatif cara-cara yang dipakai yang sejalan dengan penafsiran didirikannya negara tersebut, yang kesemuanya bermuara pada tujuan lahirnya suatu negara.

Khatimah

Peran negara dalam penegakan hukum utamanya dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia semuanya tertuang dalam aturan-aturan yang ada yang merupakan regulasi yang dibuat oleh negara melalui aparatnya agar terjadi keseimbangan antara upaya yang dilakukan oleh masyarakat dengan masyarakat yang lain, hal mana sebagai suatau pedoman yang dilakukan oleh negara terutama apabila terjadi pelanggaran yang terjadi.

Disamping itu negara juga mempunyai seperangkat alat yang digunakan, demikian juga negara berhak untuk melakukan cara-cara tersendiri dalam upaya untuk menjadikan terjadi keseimbangan yang ada dalam masyarakat.

Keseimbangan tersebut dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan kebahagiaan bersama yang dirancang oleh negara sebagaimana ternyata dalam rumusan cita-cita bangsa Indonesia dalam membentuk masyarakat  yang adil dan makmur.

Sebagai pihak yang mempunyai segala fasilitas yang ada dan juga sebagai pihak yang mendapatkan amanat konstitusi, maka negara haruslah menjamin akan terjadinya kebersamaan dalam naungan masyarakat yang dicita-citakan oleh konstitusi, sebagaiman tertuang dalam Mukadimah UUD 1945 dan lebih operasional lagi dalam pasal-pasal UUD 1945.

Upaya pemerintah untuk mencari jalan lain agar beberapa pelanggaran HAM berat yang sudah dilakukan penyelidikan oleh Komnas  HAM mendapatkan saluran yang tepat merupakan suatu cara jalan tengah untuk mengatasi terjadinya pelanggaran HAM berat, tentunya dengan memperhatikan cara-cara yang yang manusiawi dan bermartabat terutama untuk korban dan para ahli warisnya, dengan demikian juga tetap mengedepankan prinsip pertanggung jawaban pidana serta, bukanlah pembenaran dan juga impunitas terhadap pelaku yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM Berat. Negara dengan demikian hadir untuk mengatasi problematika yang terjadi dalam masyarakat dengan mengedepankan solusi jalan tengah dalam menyelesaiakn problematika yang ada. (ldr/wi)

LITES FINIRI OPORTET ....

Penulis: Dr.H. Moh.Puguh Haryogi, SH, Sp.N,M.H adalah Hakim Ad Hoc HAM pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

 

Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili pendapat lembaga.

 

REFRENSI

(1)  Artijo Alkostar, Peradilan HAM di Indonesia Dan Peradaban, Makalah Disampaikan dalam diskusi HAM yang diselenggarakan oleh PUSHAM UI, Yogyakarta, 15 Juni 2002.

(2)  Sarwata, Kebijaksanaan dan strategi Penegakan Sistem Peradilan di Indonesia, Lemhanas Jakarta, 1997, Hal. 3.

(3)  Joko Sasmito,  Konsep Asas Retroaktif Dalam Pidana, Pemberlakuan Asas Retroaktif pada Tindak Pidana Pelanggaran HAM di Indonesia, Setara Press, Malang, 2017, Hal. 132.

(4)  Moh.Puguh Haryogi, Peran Dan Tanggung Jawab Dalam Pelanggaran HAM oleh Organisasi/KorporasiMakalah disampaikan pada Diskusi HAM, tanggal 16 September 2025, Hal.5.

(5)  Artijo Alkostar, Peradilan HAM di Indonesia Dan Peradaban, Makalah Disampaikan dalam diskusi HAM yang diselenggarakan oleh PUSHAM UI, Yogyakarta, 15 Juni 2002.

(6)  Soehino, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogjakarta, 1998, Hal. 155.

Baca Juga: Komnas HAM : Restorative Justice Bukan Celah Transaksi Hukum

(7)  Bernard L Tanya Dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, 2006, CV.Kita Surabaya, hal. 175

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…