Banjir bandang dan tanah
longsor yang kembali merendam berbagai wilayah di Sumatera bukanlah sekadar
catatan statistik dalam laporan bencana tahunan. Dari balik meja hijau, tragedi
yang berulang ini terbaca sebagai sebuah vonis. Di
tengah krisis ekologis global yang semakin nyata, kita dipaksa untuk melakukan
sebuah perenungan fundamental, yaitu sebuah pencarian atas sesuatu yang hilang
dalam derap pembangunan hukum kita.
Sesuatu itu
adalah “jiwa” dari Pancasila, sebuah jiwa yang pada hakikatnya selaras dengan
alam. Pencarian ini menuntun kita pada sebuah asas hukum yaitu “in dubio pro natura” atau pro natura
yang berarti kembali kepada alam untuk menemukan kembali esensi keadilan.
Ketika hukum terasa lebih
sering hadir sebagai stempel bagi kerusakan lingkungan daripada sebagai perisai
pelindung bagi rakyat, pencarian kembali jiwa Pancasila dalam politik hukum
kontemporer bukan lagi sebuah diskursus elitis di ruang seminar. Ia telah
menjadi sebuah urgensi eksistensial untuk menyelamatkan masa depan ekologis dan
sosial bangsa. Pencarian ini harus dimulai dengan keberanian untuk bertanya, di
manakah letak kesalahan kita? Dan yang lebih penting, di manakah kita bisa
menemukan kembali jalan pulang?
Baca Juga: Hakim Ad Hoc Tipikor Ini Bikin Lagu Kekinian Guna Bumikan Pancasila ke Gen A
Pencarian jiwa Pancasila ini
harus diawali dengan sebuah diagnosis yang jujur. Data menunjukkan jutaan
hektar hutan Indonesia telah hilang dalam beberapa dekade terakhir, dan
Sumatera menjadi salah satu episentrumnya. Kehilangan ini bukan kebetulan,
melainkan buah dari cara pandang positivisme-pragmatis yang mendominasi politik
hukum kita.
Dalam paradigma ini, hukum
diperlakukan layaknya mesin teknis yang netral nilai, dan tujuannya direduksi
menjadi sekadar alat untuk mencapai target investasi. Para hakim pun didorong
untuk menjadi “corong undang-undang”, terkunci dalam formalisme pasal yang
kerap terasing dari dampak nyata putusannya. Sila Kemanusiaan dan Keadilan
sosial, yang seharusnya menjadi roh kebijakan, secara sistematis dikalahkan
oleh argumen legalitas formal.
Namun, di tengah data
deforestasi yang suram itu, sebuah kisah perlawanan selama lebih dari 40 tahun
dari pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat menawarkan pelajaran berharga.
Ingatan kembali pada suatu sore di beranda rumah panjai Sungai Utik, saat
berbincang dengan tetua adat mereka, Tuai Rumah Apay Janggut. Sosoknya yang
tenang dengan sorot mata yang teduh namun tegas berbicara bukan dengan bahasa
undang-undang melainkan bahasa alam. "Bagi kami, hutan ini adalah
ibu," ujarnya. "Ia memberi napas, air, dan makan. Merusaknya sama
dengan melukai ibu sendiri."
Pernyataan itu
bukanlah sekadar kiasan puitis. Ia adalah fondasi dari sebuah sistem
hukum pro natura yang
telah mereka praktikkan selama puluhan tahun demi mempertahankan ribuan hektar
hutan adat mereka, sebuah perjuangan panjang yang akhirnya diganjar penghargaan
Kalpataru.
Di sana, di
tengah aroma kayu dan kesederhanaan, terpancar sebuah kearifan hukum yang
mendalam. Di Sungai Utik, hukum bukanlah teks mati dalam kitab undang-undang,
melainkan napas kehidupan yang selaras dengan siklus alam. Di sanalah jiwa pro natura Pancasila
ditemukan dalam wujudnya yang paling murni. Keberhasilan mereka adalah bukti bahwa
jiwa Pancasila tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya hidup dan dirawat di
tempat-tempat yang seringkali diabaikan oleh hukum negara.
Di Sungai Utik,
Pancasila bukanlah poster di dinding melainkan napas kehidupan sehari-hari.
Sila Ketuhanan termanifestasi dalam cara mereka memandang hutan bukan sebagai
komoditas, melainkan sebagai ruang spiritual sakral, sebuah anugerah dari Sang
Pencipta yang harus dijaga dengan penuh rasa syukur.
Cara pandang
ini kemudian mewujudkan Sila Kemanusiaan melalui praktik menjaga hutan sebagai
sumber kehidupan yang menjamin martabat manusia lintas generasi. Semua itu
ditopang oleh Sila Kerakyatan yang bersemayam dalam institusi adat mereka yang
solid, di mana setiap keputusan penting terkait hutan diputuskan melalui
mekanisme musyawarah mufakat yang partisipatif.
Pada akhirnya,
seluruh prinsip tersebut menjadi nyata dalam Sila Keadilan Sosial melalui
pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan, di mana hasilnya
dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.
Ketika negara akhirnya
memberikan pengakuan hukum atas hutan adat mereka, itu adalah momen simbolis
yang sangat penting. Itu adalah saat di mana hukum negara akhirnya “pulang” dan
mengakui kebenaran hukum yang telah hidup ribuan tahun di masyarakat, sebuah
hukum yang sejak awal telah berjiwa Pancasila.
Pencarian jiwa Pancasila
dalam politik hukum kontemporer membawa kita pada sebuah kesimpulan yang tak
terbantahkan. Krisis hukum yang kita hadapi, yang termanifestasi dalam tragedi
ekologis di Sumatera, bukanlah disebabkan oleh ketidakrelevanan Pancasila.
Sebaliknya, krisis ini lahir
justru karena politik hukum formal negara telah tercerabut dari jiwa Pancasila
itu sendiri. Kelestarian di Sungai Utik adalah bukti empiris dari kekuatan
dahsyat ketika jiwa itu dihidupi dan menjadi pandu dalam kehidupan bersama. Ini
menegaskan bahwa jiwa Pancasila tidak perlu diciptakan dari nol, ia hanya perlu
ditemukan kembali dalam kantong-kantong kearifan lokal yang tersebar di seluruh
nusantara, untuk kemudian diintegrasikan secara sadar ke dalam jantung sistem
hukum negara.
Pencarian jiwa
Pancasila dalam politik hukum kontemporer ini akhirnya membawa kita pada sebuah
kesimpulan yang harus dimaknai sebagai refleksi sakral atas
tragedi ekologis di Sumatera. Pencarian ini membawa kita pada sebuah kesimpulan
yang tak terbantahkan.
Krisis keadilan
yang kita hadapi adalah buah dari sebuah politik hukum yang telah tercerabut
dari jiwa pro natura Pancasila.
Kelestarian di Sungai Utik mengajarkan bahwa jalan pulang menuju keadilan
sejati adalah dengan kembali kepada alam. Maka, mengembalikan jiwa tersebut ke
dalam tubuh hukum kita bukanlah lagi sekadar saran melainkan sebuah keharusan.
Baca Juga: Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principles) dalam Perkara Lingkungan Hidup
Di tingkat
legislatif, arah politik hukum harus bergeser dari pendekatan yang sentralistik
menuju paradigma yang mengakui pluralisme hukum, dengan merancang undang-undang
yang secara eksplisit melindungi hukum adat serta kearifan lokal. Pada saat
yang sama, insan peradilan dituntut untuk mengobarkan keberanian yudisial.
Keberanian ini diwujudkan dengan secara aktif melakukan penemuan hukum dan menjadikan Pancasila serta prinsip pro natura sebagai lensa interpretasi utama untuk menguji keadilan substantif. Dalam menghadapi kebuntuan antara hukum tertulis yang merusak dan hukum alam yang menghidupi, keberpihakan pada keadilan sejati yang diamanatkan Pancasila adalah sebuah kewajiban yudisial yang tidak bisa ditawar lagi. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI