Cari Berita

Refleksi Jiwa Pro Natura Pancasila

Rina Lestari Br Sembiring-Hakim PN Pontianak - Dandapala Contributor 2025-12-22 15:25:03
Dok. Web PN Pontianak.

Banjir bandang dan tanah longsor yang kembali merendam berbagai wilayah di Sumatera bukanlah sekadar catatan statistik dalam laporan bencana tahunan. Dari balik meja hijau, tragedi yang berulang ini terbaca sebagai sebuah vonis. Di tengah krisis ekologis global yang semakin nyata, kita dipaksa untuk melakukan sebuah perenungan fundamental, yaitu sebuah pencarian atas sesuatu yang hilang dalam derap pembangunan hukum kita.

Sesuatu itu adalah “jiwa” dari Pancasila, sebuah jiwa yang pada hakikatnya selaras dengan alam. Pencarian ini menuntun kita pada sebuah asas hukum yaitu “in dubio pro natura” atau pro natura yang berarti kembali kepada alam untuk menemukan kembali esensi keadilan.

Ketika hukum terasa lebih sering hadir sebagai stempel bagi kerusakan lingkungan daripada sebagai perisai pelindung bagi rakyat, pencarian kembali jiwa Pancasila dalam politik hukum kontemporer bukan lagi sebuah diskursus elitis di ruang seminar. Ia telah menjadi sebuah urgensi eksistensial untuk menyelamatkan masa depan ekologis dan sosial bangsa. Pencarian ini harus dimulai dengan keberanian untuk bertanya, di manakah letak kesalahan kita? Dan yang lebih penting, di manakah kita bisa menemukan kembali jalan pulang?

Baca Juga: Hakim Ad Hoc Tipikor Ini Bikin Lagu Kekinian Guna Bumikan Pancasila ke Gen A

Pencarian jiwa Pancasila ini harus diawali dengan sebuah diagnosis yang jujur. Data menunjukkan jutaan hektar hutan Indonesia telah hilang dalam beberapa dekade terakhir, dan Sumatera menjadi salah satu episentrumnya. Kehilangan ini bukan kebetulan, melainkan buah dari cara pandang positivisme-pragmatis yang mendominasi politik hukum kita.

Dalam paradigma ini, hukum diperlakukan layaknya mesin teknis yang netral nilai, dan tujuannya direduksi menjadi sekadar alat untuk mencapai target investasi. Para hakim pun didorong untuk menjadi “corong undang-undang”, terkunci dalam formalisme pasal yang kerap terasing dari dampak nyata putusannya. Sila Kemanusiaan dan Keadilan sosial, yang seharusnya menjadi roh kebijakan, secara sistematis dikalahkan oleh argumen legalitas formal.

Namun, di tengah data deforestasi yang suram itu, sebuah kisah perlawanan selama lebih dari 40 tahun dari pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat menawarkan pelajaran berharga. Ingatan kembali pada suatu sore di beranda rumah panjai Sungai Utik, saat berbincang dengan tetua adat mereka, Tuai Rumah Apay Janggut. Sosoknya yang tenang dengan sorot mata yang teduh namun tegas berbicara bukan dengan bahasa undang-undang melainkan bahasa alam. "Bagi kami, hutan ini adalah ibu," ujarnya. "Ia memberi napas, air, dan makan. Merusaknya sama dengan melukai ibu sendiri."

Pernyataan itu bukanlah sekadar kiasan puitis. Ia adalah fondasi dari sebuah sistem hukum pro natura yang telah mereka praktikkan selama puluhan tahun demi mempertahankan ribuan hektar hutan adat mereka, sebuah perjuangan panjang yang akhirnya diganjar penghargaan Kalpataru.

Di sana, di tengah aroma kayu dan kesederhanaan, terpancar sebuah kearifan hukum yang mendalam. Di Sungai Utik, hukum bukanlah teks mati dalam kitab undang-undang, melainkan napas kehidupan yang selaras dengan siklus alam. Di sanalah jiwa pro natura Pancasila ditemukan dalam wujudnya yang paling murni. Keberhasilan mereka adalah bukti bahwa jiwa Pancasila tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya hidup dan dirawat di tempat-tempat yang seringkali diabaikan oleh hukum negara.

Di Sungai Utik, Pancasila bukanlah poster di dinding melainkan napas kehidupan sehari-hari. Sila Ketuhanan termanifestasi dalam cara mereka memandang hutan bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai ruang spiritual sakral, sebuah anugerah dari Sang Pencipta yang harus dijaga dengan penuh rasa syukur.

Cara pandang ini kemudian mewujudkan Sila Kemanusiaan melalui praktik menjaga hutan sebagai sumber kehidupan yang menjamin martabat manusia lintas generasi. Semua itu ditopang oleh Sila Kerakyatan yang bersemayam dalam institusi adat mereka yang solid, di mana setiap keputusan penting terkait hutan diputuskan melalui mekanisme musyawarah mufakat yang partisipatif.

Pada akhirnya, seluruh prinsip tersebut menjadi nyata dalam Sila Keadilan Sosial melalui pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan, di mana hasilnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.

Ketika negara akhirnya memberikan pengakuan hukum atas hutan adat mereka, itu adalah momen simbolis yang sangat penting. Itu adalah saat di mana hukum negara akhirnya “pulang” dan mengakui kebenaran hukum yang telah hidup ribuan tahun di masyarakat, sebuah hukum yang sejak awal telah berjiwa Pancasila.

Pencarian jiwa Pancasila dalam politik hukum kontemporer membawa kita pada sebuah kesimpulan yang tak terbantahkan. Krisis hukum yang kita hadapi, yang termanifestasi dalam tragedi ekologis di Sumatera, bukanlah disebabkan oleh ketidakrelevanan Pancasila.

Sebaliknya, krisis ini lahir justru karena politik hukum formal negara telah tercerabut dari jiwa Pancasila itu sendiri. Kelestarian di Sungai Utik adalah bukti empiris dari kekuatan dahsyat ketika jiwa itu dihidupi dan menjadi pandu dalam kehidupan bersama. Ini menegaskan bahwa jiwa Pancasila tidak perlu diciptakan dari nol, ia hanya perlu ditemukan kembali dalam kantong-kantong kearifan lokal yang tersebar di seluruh nusantara, untuk kemudian diintegrasikan secara sadar ke dalam jantung sistem hukum negara.

Pencarian jiwa Pancasila dalam politik hukum kontemporer ini akhirnya membawa kita pada sebuah kesimpulan yang harus dimaknai sebagai refleksi sakral atas tragedi ekologis di Sumatera. Pencarian ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang tak terbantahkan.

Krisis keadilan yang kita hadapi adalah buah dari sebuah politik hukum yang telah tercerabut dari jiwa pro natura Pancasila. Kelestarian di Sungai Utik mengajarkan bahwa jalan pulang menuju keadilan sejati adalah dengan kembali kepada alam. Maka, mengembalikan jiwa tersebut ke dalam tubuh hukum kita bukanlah lagi sekadar saran melainkan sebuah keharusan.

Baca Juga: Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principles) dalam Perkara Lingkungan Hidup

Di tingkat legislatif, arah politik hukum harus bergeser dari pendekatan yang sentralistik menuju paradigma yang mengakui pluralisme hukum, dengan merancang undang-undang yang secara eksplisit melindungi hukum adat serta kearifan lokal. Pada saat yang sama, insan peradilan dituntut untuk mengobarkan keberanian yudisial.

Keberanian ini diwujudkan dengan secara aktif melakukan penemuan hukum dan menjadikan Pancasila serta prinsip pro natura sebagai lensa interpretasi utama untuk menguji keadilan substantif. Dalam menghadapi kebuntuan antara hukum tertulis yang merusak dan hukum alam yang menghidupi, keberpihakan pada keadilan sejati yang diamanatkan Pancasila adalah sebuah kewajiban yudisial yang tidak bisa ditawar lagi. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…