Cari Berita

Tri Hita Karana dan Peradilan Pro Natura Indonesia

I Kadek Apdila Wirawan-Hakim PN Gianyar Klas IB - Dandapala Contributor 2025-08-29 11:05:34
dok. ist.

Fenomena Antroposen menandai babak baru dalam sejarah Bumi, di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan dominan yang mengubah iklim, merusak keanekaragaman hayati, dan menggeser keseimbangan ekosistem. Krisis lingkungan tidak lagi menjadi isu akademis belaka, tetapi realitas yang kita hadapi setiap hari dari naiknya permukaan laut, polusi udara, hingga kepunahan spesies.

Di tengah ancaman global ini, Bali menawarkan sebuah kearifan lokal yang telah hidup ratusan tahun: Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab kebahagiaan. Tiga harmoni tersebut terdiri dari Parhyangan (hubungan harmonis manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis sesama manusia) dan khususnya prinsip Palemahan yang menekankan harmoni antara hubungan manusia dan alam (lingkungan).

Alam (lingkungan) dimaksud meliputi tanah, air, hutan, gunung, laut, udara dan lainnya. Tujuannya bukan untuk memanfaatkan alam tetapi untuk melestarikan dan menyucikan alam sebagai bagian dari kosmos. Adapun praktik nyata konsep Palemahan di Bali sejak dulu hingga kini antara lain: sistem subak (mengatur distribusi air pertanian secara adil berbasis musyawarah, dengan unsur ritual untuk menjaga keseimbangan ekosistem), tumpek wariga (upacara khusus untuk menghormati pohon, tumbuhan dan hasil bumi), tumpek uye (upacara khusus untuk memuliakan hewan), nyepi segara (penghentian sementara semua akktivitas di laut dan pesisir pantai) hingga nyepi (penghentian aktivitas selama satu hari untuk memberi kesempatan alam “beristirahat”).

Baca Juga: Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principles) dalam Perkara Lingkungan Hidup

Lantas dapatkah filosofi ini menjadi roh dalam putusan-putusan hakim, sehingga peradilan di Indonesia tidak hanya mengadili manusia, tetapi juga membela alam?

Pembahasan

Dalam sistem hukum Indonesia, hakim memiliki peran sentral sebagai penafsir hukum. Putusan hakim tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga menjadi preseden moral. Pada kasus-kasus lingkungan, putusan hakim dapat menentukan arah kebijakan dan perilaku publik.

Praktik peradilan masih ada terjebak pada tafsir sempit: hukum positif yang hanya mengatur sanksi administratif atau pidana tanpa mempertimbangkan dimensi ekologis jangka panjang. Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sudah memberi ruang bagi hakim untuk menggunakan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), kelestarian dan keberlanjutan hingga prinsip kearifan lokal.

Di sinilah Palemahan bisa menjadi roh dalam penalaran hukum hakim. Sebuah putusan pro natura bukan sekadar menghukum pelaku perusakan lingkungan, tetapi memastikan pemulihan ekosistem, mencegah kerusakan berulang, dan menanamkan kesadaran bahwa alam adalah bagian dari keadilan itu sendiri.

Palemahan tidak lahir dari kekosongan, melainkan dari pandangan kosmologis yang memandang keseimbangan manusia dengan alam sebagai syarat kehidupan. Hakim yang mengadopsinya tidak meninggalkan hukum positif, tetapi memperkaya penafsirannya dengan kearifan lokal yang sejalan dengan prinsip konstitusi, khususnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Putusan hakim yang mengutip atau menginternalisasi filosofi lokal (misalnya di Bali) memiliki kekuatan persuasi publik yang tinggi. Masyarakat akan melihat bahwa perlindungan lingkungan bukan hanya urusan undang-undang, tetapi bagian dari identitas budaya dan moral.

Penegakan Hukum Lingkungan tidak hanya berbasis kepada UUPPLH hingga bukti ilmiah sebagai fondasi Hakim dalam mengambil suatu putusan tetapi juga melihat secara filosofis palemahan bahwa setiap orang wajib menjaga kesucian gunung, laut, sungai dsb demi keseimbangan alam dan kehidupan manusia kini dan nanti.

Kerusakan yang ditimbulkan terhadap alam bukan saja pelanggaran terhadap hukum negara melainkan sekaligus hukum alam yang mana keduanya saling mengikat. Terhadap kasus-kasus lingkungan agar kedepannya lebih menggunakan pendekatan pemulihan lingkungan secara menyeluruh (rehabilitasi sungai, penanaman pohon, pembersihan limbah), ganti rugi kepada lingkungan terdampak hingga kewajiban edukasi lingkungan. Dengan demikian, sanksi tidak hanya bersifat menghukum melainkan lebih kepada memulihkan dan mencegah kerusakan lebih lanjut di kemudian hari.

Penutup

Di era Antroposen, hukum tidak lagi cukup hanya mengatur hubungan antar manusia namun ia harus mengatur hubungan manusia dengan alam. Tri Hita Karana, khususnya Palemahan, memberikan kerangka etis dan filosofis yang kuat untuk itu.

Hakim, sebagai penjaga keadilan, dapat menjadikan Palemahan sebagai roh dalam setiap putusan pro natura. Ini bukan sekadar langkah hukum, tetapi juga sikap moral bahwa hakim, dengan kearifan lokalnya, siap menjadi pelopor peradilan yang tidak hanya melindungi manusia, tetapi juga membela alam sebagai bagian dari keadilan yang hakiki.

Baca Juga: Keren! Komunitas Ngewedang PT Denpasar Bersih-bersih Pantai KuDeTa

Karena pada akhirnya, merusak alam adalah merusak diri sendiri, dan menjaga alam berarti menjaga keberlanjutan hidup generasi yang akan datang. Putusan pro natura yang berlandaskan Palemahan bukan hanya kemenangan di ruang sidang, tetapi kemenangan bagi Bumi yang kita huni bersama. (zm/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI