Fenomena Antroposen menandai babak baru dalam sejarah Bumi, di mana aktivitas manusia menjadi kekuatan dominan yang mengubah iklim, merusak keanekaragaman hayati, dan menggeser keseimbangan ekosistem. Krisis lingkungan tidak lagi menjadi isu akademis belaka, tetapi realitas yang kita hadapi setiap hari dari naiknya permukaan laut, polusi udara, hingga kepunahan spesies.
Di tengah ancaman global ini, Bali menawarkan sebuah kearifan lokal yang telah hidup ratusan tahun: Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab kebahagiaan. Tiga harmoni tersebut terdiri dari Parhyangan (hubungan harmonis manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis sesama manusia) dan khususnya prinsip Palemahan yang menekankan harmoni antara hubungan manusia dan alam (lingkungan).
Alam (lingkungan) dimaksud meliputi tanah, air, hutan,
gunung, laut, udara dan lainnya. Tujuannya bukan untuk memanfaatkan alam tetapi
untuk melestarikan dan menyucikan alam sebagai bagian dari kosmos. Adapun
praktik nyata konsep Palemahan di Bali sejak dulu hingga kini antara lain:
sistem subak (mengatur distribusi air pertanian secara adil berbasis
musyawarah, dengan unsur ritual untuk menjaga keseimbangan ekosistem), tumpek
wariga (upacara khusus untuk menghormati pohon, tumbuhan dan hasil bumi),
tumpek uye (upacara khusus untuk memuliakan hewan), nyepi segara (penghentian
sementara semua akktivitas di laut dan pesisir pantai) hingga nyepi
(penghentian aktivitas selama satu hari untuk memberi kesempatan alam
“beristirahat”).
Baca Juga: Penerapan Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principles) dalam Perkara Lingkungan Hidup
Lantas dapatkah filosofi ini menjadi
roh dalam putusan-putusan hakim, sehingga peradilan di Indonesia tidak hanya
mengadili manusia, tetapi juga membela alam?
Pembahasan
Dalam sistem hukum Indonesia, hakim memiliki peran
sentral sebagai penafsir hukum. Putusan hakim tidak hanya mengikat para pihak,
tetapi juga menjadi preseden moral. Pada kasus-kasus lingkungan, putusan hakim
dapat menentukan arah kebijakan dan perilaku publik.
Praktik peradilan masih ada terjebak pada tafsir
sempit: hukum positif yang hanya mengatur sanksi administratif atau pidana
tanpa mempertimbangkan dimensi ekologis jangka panjang. Padahal, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) sudah memberi ruang bagi hakim untuk menggunakan prinsip kehati-hatian
(precautionary principle), kelestarian dan keberlanjutan hingga prinsip
kearifan lokal.
Di sinilah Palemahan bisa menjadi roh dalam
penalaran hukum hakim. Sebuah putusan pro natura bukan sekadar menghukum pelaku
perusakan lingkungan, tetapi memastikan pemulihan ekosistem, mencegah kerusakan
berulang, dan menanamkan kesadaran bahwa alam adalah bagian dari keadilan itu
sendiri.
Palemahan tidak lahir dari kekosongan, melainkan dari pandangan kosmologis yang memandang keseimbangan manusia dengan alam sebagai syarat kehidupan. Hakim yang mengadopsinya tidak meninggalkan hukum positif, tetapi memperkaya penafsirannya dengan kearifan lokal yang sejalan dengan prinsip konstitusi, khususnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Putusan hakim yang mengutip atau
menginternalisasi filosofi lokal (misalnya di Bali) memiliki kekuatan persuasi
publik yang tinggi. Masyarakat akan melihat bahwa perlindungan lingkungan bukan
hanya urusan undang-undang, tetapi bagian dari identitas budaya dan moral.
Penegakan Hukum Lingkungan tidak hanya berbasis kepada UUPPLH hingga bukti ilmiah sebagai fondasi Hakim dalam mengambil suatu putusan tetapi juga melihat secara filosofis palemahan bahwa setiap orang wajib menjaga kesucian gunung, laut, sungai dsb demi keseimbangan alam dan kehidupan manusia kini dan nanti.
Kerusakan yang ditimbulkan terhadap alam bukan saja pelanggaran
terhadap hukum negara melainkan sekaligus hukum alam yang mana keduanya saling
mengikat. Terhadap kasus-kasus lingkungan agar kedepannya lebih menggunakan
pendekatan pemulihan lingkungan secara menyeluruh (rehabilitasi sungai,
penanaman pohon, pembersihan limbah), ganti rugi kepada lingkungan terdampak
hingga kewajiban edukasi lingkungan. Dengan demikian, sanksi tidak hanya
bersifat menghukum melainkan lebih kepada memulihkan dan mencegah kerusakan
lebih lanjut di kemudian hari.
Penutup
Di era Antroposen, hukum tidak lagi cukup hanya
mengatur hubungan antar manusia namun ia harus mengatur hubungan manusia dengan
alam. Tri Hita Karana, khususnya Palemahan, memberikan kerangka etis dan
filosofis yang kuat untuk itu.
Hakim, sebagai penjaga keadilan, dapat menjadikan
Palemahan sebagai roh dalam setiap putusan pro natura. Ini bukan sekadar
langkah hukum, tetapi juga sikap moral bahwa hakim, dengan kearifan lokalnya,
siap menjadi pelopor peradilan yang tidak hanya melindungi manusia, tetapi juga
membela alam sebagai bagian dari keadilan yang hakiki.
Baca Juga: Keren! Komunitas Ngewedang PT Denpasar Bersih-bersih Pantai KuDeTa
Karena pada akhirnya, merusak alam adalah merusak diri
sendiri, dan menjaga alam berarti menjaga keberlanjutan hidup generasi yang
akan datang. Putusan pro natura yang berlandaskan Palemahan bukan hanya
kemenangan di ruang sidang, tetapi kemenangan bagi Bumi yang kita huni bersama. (zm/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI