Tanah Papua, dengan segala kekayaan alam dan keanekaragaman hayatinya, bukan sekadar peta geografis atau sumber daya yang dapat dieksploitasi. Bagi masyarakat adat Papua, tanah memiliki makna yang jauh lebih dalam.
Dalam
filosofi hidup mereka, tanah diibaratkan sebagai mama atau ibu sebuah entitas
yang memberikan kehidupan, melindungi, dan mengasuh.
Filosofi
"tanah adalah mama" ini menjadi pilar fundamental dalam tatanan Hukum
yang hidup diantara masyarakat adat baik dari segi sosial, budaya, dan
spiritualitas masyarakat Papua yang telah diwariskan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi.
Baca Juga: Interpretasi Pengadilan Atas Hak Tradisional Masyarakat Adat Timor Tengah Selatan
Konsep
ini sangat berbeda dengan pandangan modern yang sering memandang tanah sebagai
komoditas atau aset ekonomi. Dalam pandangan orang Papua, tanah adalah ibu yang
melahirkan, menyusui, dan menopang kehidupan manusia. Tanah adalah leluhur yang
harus dihormati, bukan objek yang dapat dikuasai atau dimiliki secara
individual.
Filosofi
ini mencerminkan hubungan simbiosis yang harmonis antara manusia dan alam, di
mana manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam itu sendiri, bukan
penguasa di atasnya.
Dalam
pandangan orang Papua, tanah bukanlah benda mati yang dapat diukur, dibeli,
atau dijual. Tanah adalah kesatuan hidup yang dinamis, sumber segala kehidupan,
dan tempat pulang bagi semua makhluk.
Konsep
ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Papua, dari
cara mereka bercocok tanam, membangun rumah, penyelesaian konflik hukum atau
sosial hingga melaksanakan upacara adat. Tanah menyediakan makanan, air, tempat
tinggal, dan bahkan obat-obatan bagi masyarakat. Hubungan ini bersifat timbal
balik manusia mengambil apa yang mereka butuhkan dari tanah, tetapi juga
bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya.
Tanah
dalam budaya Papua juga memiliki dimensi spiritual yang kuat. Dianggap sebagai
tempat bersemayamnya roh-roh leluhur, tanah menjadi penghubung antara dunia
manusia dengan dunia spiritual.
Upacara-upacara
adat sering dilakukan untuk menghormati roh-roh yang mendiami tanah, meminta
izin sebelum membuka lahan, atau mengucap syukur atas hasil panen. Praktik ini
menunjukkan bagaimana tanah tidak hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga
metafisik dalam kehidupan masyarakat Papua.
Hubungan Emosional dan
Spiritual dengan Tanah
Hubungan antara masyarakat Papua dengan
tanah bukanlah hubungan fungsional semata, melainkan hubungan emosional dan
spiritual yang mendalam. Tanah dianggap sebagai bagian dari identitas diri dan
jati diri kolektif suku.
Seseorang tidak dapat dipisahkan dari
tanah kelahirannya karena tanahlah yang memberinya kehidupan dan membentuk
karakternya. Oleh karena itu, kehilangan tanah bukan hanya berarti kehilangan
aspek ekonomi, tetapi juga kehilangan bagian dari diri dan identitas mereka.
Hubungan
spiritual ini tercermin dalam berbagai mitos dan legenda yang berkembang di
masyarakat Papua. Banyak suku di Papua memiliki cerita asal-usul yang
menghubungkan penciptaan manusia dengan tanah.
Dalam
beberapa cerita, manusia pertama dikatakan tercipta dari tanah, yang kemudian
diberi kehidupan oleh sang pencipta. Konsep ini memperkuat gagasan bahwa
manusia dan tanah memiliki ikatan sakral yang tidak dapat diputuskan.
Perumpamaan Tanah sebagai
"Mama"
Filosofi "tanah adalah mama"
adalah inti dari hukum adat di tanah papua yang membangun hubungan masyarakat
Papua dengan alam.
Dalam perumpamaan ini, tanah diibaratkan
sebagai seorang ibu yang melahirkan, menyusui, melindungi, dan mengasuh
anak-anaknya.
Seperti seorang ibu, tanah memberikan semua yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia—makanan, air, tempat berlindung, dan kehangatan. Tanah juga menjadi tempat pulang, di mana manusia akan kembali setelah menjalani hidup di dunia.
Perumpamaan
tanah sebagai mama juga membawa implikasi tanggung jawab yang besar bagi manusia.
Seperti anak yang harus menghormati dan merawat ibunya, manusia juga harus
menjaga dan melestarikan tanah.
Eksploitasi
tanah secara berlebihan atau merusak lingkungan dianggap sebagai bentuk
pengkhianatan terhadap "mama" yang telah memberikan kehidupan. Konsep
ini mengajarkan tentang keberlanjutan dan keseimbangan dalam hubungan manusia
dengan alam.
Perbandingan dengan Pandangan
Modern tentang Tanah
Untuk memahami keunikan filosofi
"tanah adalah mama" dalam adat Papua, penting untuk membandingkannya
dengan pandangan modern tentang tanah. Pandangan modern, yang banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Barat dan sistem ekonomi kapitalis, cenderung
memandang tanah sebagai komoditas atau aset ekonomi yang dapat dimiliki,
diperjualbelikan, atau dieksploitasi untuk keuntungan materiil.
Berikut
adalah perbandingan antara filosofi tanah dalam adat Papua dengan Perbedaan
fundamental ini seringkali menjadi sumber konflik dalam masyarakat Papua
modern, di mana nilai-nilai tradisional bertabrakan dengan kepentingan ekonomi
dan pembangunan yang mengadopsi pandangan modern tentang tanah.
Dalam
sistem masyarakat Papua, tanah memegang peranan penting sebagai penanda
identitas kelompok dan pembentuk struktur sosial. Kepemilikan tanah umumnya
bersifat kolektif, dimiliki oleh kelompok kekerabatan atau klan, bukan oleh
individu. Hak atas tanah diwariskan secara turun-temurun dalam garis keturunan
tertentu, dengan aturan yang berbeda-beda antar suku.
Sistem kekerabatan yang berkaitan dengan tanah ini juga menentukan struktur otoritas dalam masyarakat. Pemimpin adat atau kepala suku biasanya adalah orang yang dianggap memiliki pemahaman terdalam tentang hubungan antara kelompoknya dengan tanah leluhur mereka. Mereka bertindak sebagai penjaga tradisi dan mediator dalam konflik yang berkaitan dengan tanah. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI