Cari Berita

Nilai Keadilan Restoratif dalam Hukum Adat Minangkabau

Rudy Cahyadi, S.H. (Hakim PN Pasir Pangaraian) - Dandapala Contributor 2025-06-25 10:30:20
Dok. Pribadi

Hukum pidana adat merupakan bagian integral dari sistem hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat. Hukum ini mencerminkan nilai-nilai budaya, kearifan lokal, dan prinsip keadilan yang bertujuan menjaga harmoni sosial dalam komunitas. Dalam konteks modern, pendekatan keadilan restoratif menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidana yang berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan semata-mata pembalasan. Hukum pidana adat Minangkabau memiliki kesamaan mendasar dengan prinsip keadilan restoratif, karena mengedepankan musyawarah, mediasi, dan pemulihan keseimbangan sosial berdasarkan falsafah adat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, yang menjadi landasan moral dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menjadi sebuah hal yang menarik untuk mengkaji dan menguraikan hubungan antara hukum pidana adat Minangkabau dan pendekatan keadilan restoratif, dengan fokus pada penerapannya dalam penyelesaian perkara pidana di masyarakat Minangkabau serta relevansinya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Hukum Pidana Adat Minangkabau

Hukum pidana adat Minangkabau diatur dalam kerangka Undang-Undang Nan Duapuluh, yang terdiri dari Undang-Undang Nan Salapan dan Undang-Undang Nan Duobaleh. Undang-Undang Nan Salapan mencakup delapan jenis delik adat yang dianggap melanggar norma masyarakat Minangkabau, yaitu dago-dagi (perbuatan cabul atau asusila), sumbang-salah (pelanggaran adat perkawinan), samun-sakar (perampokan atau perbuatan kekerasan), maling-curi (pencurian), tikam-bunuh (pembunuhan), kicuh-kecong dan tipu-tepok (penipuan atau pengkhianatan), upeh-racun (peracunan), siar-bakar (pembakaran atau perusakan). Sedangkan Undang-Undang Nan Duobaleh menjelaskan tanda-tanda bukti pelanggaran terhadap delik-delik tersebut, seperti saksi, barang bukti, atau pengakuan pelaku. Sanksi dalam hukum pidana adat Minangkabau bersifat kolektif, di mana tanggung jawab pelaku tidak hanya ditanggung secara individu, tetapi juga oleh kaum atau sukunya. Sanksi yang diberikan meliputi denda (japuik), pengucilan sosial, hingga pengusiran dari nagari. Sanksi ini tidak hanya bertujuan memberikan efek jera, tetapi juga memulihkan keseimbangan sosial yang terganggu akibat tindak pidana.

Baca Juga: Titik Temu Sewagheian dalam Hukum Adat Lampung dan Keadilan Restoratif

Lembaga Kerapatan Adat Nagari selanjutnya disebut dengan KAN, memainkan peran sentral dalam pelaksanaan hukum pidana adat di masyarakat Minangkabau. Lembaga KAN terdiri dari ninik mamak (pemimpin adat), alim ulama (tokoh agama), cadiak pandai (tokoh intelektual), bundo kanduang (tokoh perempuan), dan parik paga (tokoh keamanan nagari). KAN bertugas memfasilitasi musyawarah untuk menyelesaikan konflik sesuai dengan prinsip adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Proses musyawarah ini mencerminkan pendekatan mediasi yang menekankan keadilan, harmoni sosial, dan pemulihan hubungan antarpihak.

Karakteristik Hukum Pidana Adat Minangkabau

Hukum pidana adat Minangkabau yang berakar pada prinsip adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah sebagai landasan moral memiliki beberapa karakteristik utama yaitu kolektivitas, yang bermakna bahwa tanggung jawab atas tindak pidana tidak hanya berada pada pelaku, tetapi juga pada keluarga atau sukunya. Hal ini mencerminkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial dalam budaya Minangkabau. Selanjutnya adalah musyawarah yaitu penyelesaian konflik dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan semua pihak terkait, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat, untuk mencapai mufakat. Kemudian pemulihan keseimbangan sosial yang bermakna bahwa sanksi adat, seperti denda atau permintaan maaf, bertujuan mengembalikan harmoni sosial yang terganggu,bukan hanya menghukum pelaku. Fleksibilitas yang mana hukum pidana adat bersifat fleksibel dengan sanksi disesuaikan dengan jenis pelanggaran, dampaknya, dan konteks sosial masyarakat. Karakteristik ini menjadikan hukum pidana adat Minangkabau sebagai sistem hukum yang berorientasi pada keadilan restoratif, yang memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan keadilan restoratif modern.

Konsep dan Prinsip Keadilan Restoratif

Keadilan restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Berbeda dengan pendekatan retributif yang menekankan hukuman terhadap pelaku, keadilan restoratif mengutamakan dialog, mediasi, dan restitusi untuk mencapai keadilan yang berkelanjutan. Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi korban untuk menyampaikan dampak tindak pidana terhadap mereka, mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, melibatkan masyarakat dalam proses penyelesaian konflik, menciptakan solusi yang memenuhi kebutuhan semua pihak.

Prinsip utama keadilan restoratif meliputi partisipasi, restitusi, rekonsiliasi, pemberdayaan komunitas. Pendekatan keadilan restoratif telah diterapkan di berbagai negara, seperti Selandia Baru melalui family group conferences dan Kanada melalui circle sentencing, dengan hasil yang menunjukkan penurunan angka residivisme dan peningkatan kepuasan korban. Di Indonesia, keadilan restoratif mulai diadopsi dalam penyelesaian perkara pidana di dalam Perjak Nomor 15 Tahun 2020, Perkap Nomor 8 Tahun 2021, dan Perma Nomor 1 Tahun 2024.

Bentuk Integrasi Hukum Pidana Adat Minangkabau Berlandaskan Keadilan Restoratif

Integrasi hukum pidana adat Minangkabau yang berlandaskan keadilan restoratif terlihat dengan diterapkanya mekanisme musyawarah di bawah lembaga KAN yang berfungsi sebagai mediator utama dalam penyelesaian perkara pidana ringan, seperti pencurian, penganiayaan ringan, atau sengketa perkawinan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan perwakilan masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang memenuhi kebutuhan semua pihak. Kemudian sanksi adat sebagai alternatif hukuman, seperti denda (japuik), permintaan maaf publik, atau pengucilan sementara, dapat digunakan sebagai alternatif hukuman penjara dalam sistem keadilan restoratif. Sanksi ini tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga memungkinkan korban mendapatkan kompensasi dan harmoni di dalam Masyarakat tetap terjaga. Berikutnya pemulihan keseimbangan sosial, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum pidana adat Minangkabau bertujuan mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat tindak pidana, pemulihan ini dicapai melalui restitusi dan rekonsiliasi. Bentuk selanjutnya adalah integrasi hukum pidana adat Minangkabau dengan hukum formal, di mana hukum pidana adat dapat menjadi pelengkap hukum formal dalam penyelesaian perkara pidana ringan. Misalnya, setelah pelaku mendapatkan sanksi dari sistem peradilan formal seperti denda atau masa percobaan, lembaga KAN dapat menerapkan sanksi adat untuk memperkuat efek jera dan memastikan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Pendekatan ini telah didukung oleh Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, yang mengakui peran lembaga KAN dalam penyelesaian sengketa adat.

Untuk memberikan gambaran yang lebih konkrit tentang penerapan hukum pidana adat Minangkabau dalam konteks keadilan restoratif, penulis akan memberikan contoh kasus, yaitu kasus pencurian di Nagari Sungai Puar, di mana seorang pemuda melakukan pencurian kambing milik tetangganya. Kasus ini dilaporkan kepada KAN setempat sebelum masuk ke ranah hukum negara, setelah menerima laporan, kemudian KAN mengadakan musyawarah yang melibatkan pelaku, korban, keluarga kedua belah pihak, dan tokoh masyarakat. Hasil musyawarah menetapkan bahwa pelaku harus mengganti kambing yang dicuri dengan kambing baru, membayar denda adat (japuik) sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada korban, meminta maaf secara adat di hadapan KAN dan masyarakat nagari. Proses ini berhasil memulihkan hubungan harmonis antara pelaku dengan korban, serta pelaku juga diterima kembali oleh masyarakat setelah memenuhi sanksi adat.

Namun, untuk mengintegrasikan hukum pidana adat Minangkabau kita memiliki tantangan dan peluang, seperti belum optimalnya pengakuan hukum adat dalam sistem nasional, resistensi aparat, serta konflik nilai dengan hukum positif. Peluang integrasi muncul melalui dukungan regulasi seperti Perda Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018, dan penerimaan luas masyarakat terhadap penyelesaian adat.

Pada akhirnya, agar hukum pidana adat Minangkabau dapat menjadi bagian penting dari sistem peradilan pidana Indonesia yang inklusif, kontekstual, dan berbasis keadilan restoratif diperlukan dukungan secara sistematis dari seluruh elemen masyarakat, khususnya dari masyarakat adat Minangkabau. (WI/ZM)

Baca Juga: Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Dewasa Melalui Mekanisme Diversi

Daftar Pustaka

  1. Navis, A.A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers.
  2. Datoek Toenan. 1989. Tambo Adat Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
  3. Hadikusuma, Hilman. 1990. Pengantar Ilmu Hukum Adat. Bandung: CV. Mandiri.
  4. HAFRIDA, & H. Dato. Sofrida. 2024. Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Depublish.
  5. Zulfa, Eva Achjani. 2011. Restorative Justice dan Peradilan Pro-Korban. Jakarta: Kerjasama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI.
  6. Soekanto, Soerjono. 1981. Hukum Adat dan Pembinaan Masyarakat. Bandung: Alumni.
  7. Bushar, Muhammad. 1983. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Tag
RJ