Hukum pidana
adat merupakan bagian integral dari sistem hukum adat yang berlaku dalam
masyarakat Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat. Hukum ini mencerminkan
nilai-nilai budaya, kearifan lokal, dan prinsip keadilan yang bertujuan menjaga
harmoni sosial dalam komunitas. Dalam konteks modern, pendekatan keadilan
restoratif menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidana yang berfokus pada
pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan semata-mata
pembalasan. Hukum pidana adat Minangkabau memiliki kesamaan mendasar dengan
prinsip keadilan restoratif, karena mengedepankan musyawarah, mediasi, dan
pemulihan keseimbangan sosial berdasarkan falsafah adat, adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, yang menjadi landasan moral dan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menjadi sebuah hal yang menarik untuk
mengkaji dan menguraikan hubungan antara hukum pidana adat Minangkabau dan
pendekatan keadilan restoratif, dengan fokus pada penerapannya dalam
penyelesaian perkara pidana di masyarakat Minangkabau serta relevansinya dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia.
Hukum Pidana
Adat Minangkabau
Hukum pidana
adat Minangkabau diatur dalam kerangka Undang-Undang Nan Duapuluh, yang
terdiri dari Undang-Undang Nan Salapan dan Undang-Undang Nan Duobaleh.
Undang-Undang Nan Salapan mencakup delapan jenis delik adat yang
dianggap melanggar norma masyarakat Minangkabau, yaitu dago-dagi
(perbuatan cabul atau asusila), sumbang-salah (pelanggaran adat
perkawinan), samun-sakar (perampokan atau perbuatan kekerasan), maling-curi
(pencurian), tikam-bunuh (pembunuhan), kicuh-kecong dan tipu-tepok
(penipuan atau pengkhianatan), upeh-racun (peracunan), siar-bakar
(pembakaran atau perusakan). Sedangkan Undang-Undang Nan Duobaleh
menjelaskan tanda-tanda bukti pelanggaran terhadap delik-delik tersebut,
seperti saksi, barang bukti, atau pengakuan pelaku. Sanksi dalam hukum pidana
adat Minangkabau bersifat kolektif, di mana tanggung jawab pelaku tidak hanya
ditanggung secara individu, tetapi juga oleh kaum atau sukunya. Sanksi yang
diberikan meliputi denda (japuik), pengucilan sosial, hingga pengusiran
dari nagari. Sanksi ini tidak hanya bertujuan memberikan efek jera, tetapi juga
memulihkan keseimbangan sosial yang terganggu akibat tindak pidana.
Baca Juga: Titik Temu Sewagheian dalam Hukum Adat Lampung dan Keadilan Restoratif
Lembaga
Kerapatan Adat Nagari selanjutnya disebut dengan KAN, memainkan peran sentral
dalam pelaksanaan hukum pidana adat di masyarakat Minangkabau. Lembaga KAN
terdiri dari ninik mamak (pemimpin adat), alim ulama (tokoh
agama), cadiak pandai (tokoh intelektual), bundo kanduang (tokoh
perempuan), dan parik paga (tokoh keamanan nagari). KAN bertugas
memfasilitasi musyawarah untuk menyelesaikan konflik sesuai dengan prinsip adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Proses musyawarah ini
mencerminkan pendekatan mediasi yang menekankan keadilan, harmoni sosial, dan
pemulihan hubungan antarpihak.
Karakteristik
Hukum Pidana Adat Minangkabau
Hukum pidana
adat Minangkabau yang berakar pada prinsip adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah sebagai landasan moral memiliki beberapa karakteristik
utama yaitu kolektivitas, yang bermakna bahwa tanggung jawab atas tindak pidana
tidak hanya berada pada pelaku, tetapi juga pada keluarga atau sukunya. Hal ini
mencerminkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial dalam budaya
Minangkabau. Selanjutnya adalah musyawarah yaitu penyelesaian konflik dilakukan
melalui musyawarah yang melibatkan semua pihak terkait, termasuk korban,
pelaku, dan masyarakat, untuk mencapai mufakat. Kemudian pemulihan keseimbangan
sosial yang bermakna bahwa sanksi adat, seperti denda atau permintaan maaf,
bertujuan mengembalikan harmoni sosial yang terganggu,bukan hanya menghukum
pelaku. Fleksibilitas yang mana hukum pidana adat bersifat fleksibel dengan sanksi
disesuaikan dengan jenis pelanggaran, dampaknya, dan konteks sosial masyarakat.
Karakteristik ini menjadikan hukum pidana adat Minangkabau sebagai sistem hukum
yang berorientasi pada keadilan restoratif, yang memiliki banyak kesamaan
dengan pendekatan keadilan restoratif modern.
Konsep dan
Prinsip Keadilan Restoratif
Keadilan
restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang berfokus pada
pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Berbeda dengan
pendekatan retributif yang menekankan hukuman terhadap pelaku, keadilan
restoratif mengutamakan dialog, mediasi, dan restitusi untuk mencapai keadilan
yang berkelanjutan. Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif bertujuan
untuk memberikan kesempatan bagi korban untuk menyampaikan dampak tindak pidana
terhadap mereka, mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, melibatkan
masyarakat dalam proses penyelesaian konflik, menciptakan solusi yang memenuhi
kebutuhan semua pihak.
Prinsip utama keadilan
restoratif meliputi partisipasi, restitusi, rekonsiliasi, pemberdayaan komunitas.
Pendekatan keadilan restoratif telah diterapkan di berbagai negara, seperti
Selandia Baru melalui family group conferences dan Kanada melalui circle
sentencing, dengan hasil yang menunjukkan penurunan angka residivisme dan
peningkatan kepuasan korban. Di Indonesia, keadilan restoratif mulai diadopsi
dalam penyelesaian perkara pidana di dalam Perjak Nomor 15 Tahun 2020, Perkap
Nomor 8 Tahun 2021, dan Perma Nomor 1 Tahun 2024.
Bentuk Integrasi Hukum Pidana Adat
Minangkabau Berlandaskan Keadilan Restoratif
Integrasi hukum pidana adat Minangkabau yang
berlandaskan keadilan restoratif terlihat
dengan diterapkanya mekanisme musyawarah di bawah lembaga KAN yang berfungsi
sebagai mediator utama dalam penyelesaian perkara pidana ringan, seperti
pencurian, penganiayaan ringan, atau sengketa perkawinan dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga, dan perwakilan masyarakat untuk mencapai kesepakatan
yang memenuhi kebutuhan semua pihak. Kemudian sanksi adat sebagai alternatif hukuman,
seperti denda (japuik), permintaan maaf publik, atau pengucilan
sementara, dapat digunakan sebagai alternatif hukuman penjara dalam sistem keadilan restoratif. Sanksi ini tidak hanya
memberikan efek jera, tetapi juga memungkinkan korban mendapatkan kompensasi
dan harmoni di dalam Masyarakat tetap terjaga. Berikutnya pemulihan keseimbangan
sosial, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum pidana adat
Minangkabau bertujuan mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat
tindak pidana, pemulihan ini dicapai melalui restitusi dan rekonsiliasi. Bentuk
selanjutnya adalah integrasi hukum pidana adat Minangkabau dengan hukum formal,
di mana hukum pidana adat dapat menjadi pelengkap hukum formal dalam
penyelesaian perkara pidana ringan. Misalnya, setelah pelaku mendapatkan sanksi
dari sistem peradilan formal seperti denda atau masa percobaan, lembaga KAN
dapat menerapkan sanksi adat untuk memperkuat efek jera dan memastikan
reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Pendekatan ini telah didukung oleh
Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, yang
mengakui peran lembaga KAN dalam penyelesaian sengketa adat.
Untuk memberikan gambaran yang lebih
konkrit tentang penerapan hukum pidana adat Minangkabau dalam konteks keadilan restoratif, penulis akan memberikan contoh kasus,
yaitu kasus pencurian di Nagari Sungai Puar, di mana seorang pemuda melakukan
pencurian kambing milik tetangganya. Kasus ini dilaporkan kepada KAN setempat
sebelum masuk ke ranah hukum negara, setelah menerima laporan, kemudian KAN
mengadakan musyawarah yang melibatkan pelaku, korban, keluarga kedua belah
pihak, dan tokoh masyarakat. Hasil musyawarah menetapkan bahwa pelaku harus mengganti kambing yang dicuri dengan kambing baru, membayar
denda adat (japuik) sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada
korban, meminta maaf secara
adat di hadapan KAN dan masyarakat nagari. Proses ini berhasil memulihkan hubungan harmonis antara
pelaku dengan korban, serta pelaku juga diterima kembali oleh masyarakat
setelah memenuhi sanksi adat.
Namun, untuk mengintegrasikan hukum pidana
adat Minangkabau kita memiliki tantangan dan peluang, seperti belum optimalnya
pengakuan hukum adat dalam sistem nasional, resistensi aparat, serta konflik
nilai dengan hukum positif. Peluang integrasi muncul melalui dukungan regulasi
seperti Perda Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018, dan penerimaan luas masyarakat
terhadap penyelesaian adat.
Pada akhirnya, agar hukum pidana adat
Minangkabau dapat menjadi bagian penting dari sistem peradilan pidana Indonesia
yang inklusif, kontekstual, dan berbasis keadilan restoratif diperlukan dukungan
secara sistematis dari seluruh elemen masyarakat, khususnya dari masyarakat
adat Minangkabau. (WI/ZM)
Baca Juga: Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Dewasa Melalui Mekanisme Diversi
Daftar Pustaka
- Navis, A.A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru: Adat
dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti
Pers.
- Datoek Toenan. 1989. Tambo Adat Minangkabau. Bukittinggi:
Pustaka Indonesia.
- Hadikusuma, Hilman. 1990. Pengantar Ilmu Hukum
Adat. Bandung: CV. Mandiri.
- HAFRIDA,
& H. Dato. Sofrida. 2024. Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
dalam Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Depublish.
- Zulfa, Eva Achjani. 2011. Restorative Justice dan
Peradilan Pro-Korban. Jakarta: Kerjasama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan
Departemen Kriminologi FISIP UI.
- Soekanto, Soerjono. 1981. Hukum Adat dan
Pembinaan Masyarakat. Bandung: Alumni.
- Bushar, Muhammad. 1983. Pokok-Pokok Hukum Adat.
Jakarta:
Pradnya Paramita.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI