Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi Pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. MK berpendapat bila pasal itu dibuat untuk menjangkau berbagai modus kejahatan korupsi yang makin kompleks.
Pemohon adalah mantan Dirut PPI Syahril Japarin, mantan pegawai PT Chevron Pacific Indonesia, Kukuh Kertasafari, dan mantan Gubernur Sultra Nur Alam. Mereka mempermasalahkan pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan TPK.
Pasal 2:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah).
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah).”
Pemohon berargumen ‘memperkara orang lain atau korporasi’ adalah pasal karet.
“Frasa-frasa tersebut di atas berisi norma yang tidak adil atau setidak- tidaknya sangat lentur, sehingga tidak memiliki kepastian hukum karena dapat ditafsirkan secara semena-mena oleh ahli yang diajukan oleh Aparat Penegak Hukum, yang tujuannya semata-mata untuk menghukum PARA PEMOHON. Dalam praktek peradilan Tipikor yang dialami oleh PARA PEMOHON, frasa “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi” dan frasa “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi” telah diterapkan secara tidak adil,” ujar pemohon sebagaimana tertuang dalam putusan MK yang dikutip DANDAPALA dari website MK, Kamis (18/12/2025).
MK kemudian menolak permohonan itu. “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” putus majelis pada Rabu (17/12) kemarin.
Berikut pertimbangan majelis:
Di samping itu, penambahan frasa yang dimohonkan para Pemohon, apabila diakomodir berpotensi mempersempit implementasi norma Pasal 2 ayat (1) dan norma Pasal 3 UU Tipikor dan dapat mengurangi daya jangkau antisipasi keberlakuan norma-norma hukum yang terdapat dalam UU Tipikor. Sebab, dengan semakin canggih dan kompleksnya modus operandi tindak pidana korupsi, disadari atau tidak, seharusnya justru semakin dibutuhkan rumusan norma hukum yang lebih dapat menjangkau berbagai modus operandidan kompleksitas tindak pidana korupsi yang secara faktual terjadi pada saat ini.
Terlebih, berdasarkan fakta persidangan menunjukkan perkara tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara setiap tahunnya meningkat secara signifikan. Di mana fakta demikian menunjukkan tindak pidana korupsi secara riil terjadi setiap tahun dan berdasarkan data yang terungkap dalam persidangan, total kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi berkenaan dengan norma Pasal 2 dan norma Pasal 3 UU Tipikor yang ditangani KPK dari tahun 2018 s.d. tahun 2025 mencapai lebih dari Rp 25,1 triliun [vide Keterangan KPK tanggal 16 Juli 2025, hlm. 30].
Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, berkenaan dengan rumusan norma sanksi pidana Mahkamah telah berpendirian bahwa menambah unsur dalam norma sanksi pidana merupakan criminal policyyang bukan merupakan kewenangan Mahkamah, melainkan kewenangan pembentuk undang-undang.
Setelah membaca secara saksama kedua pengaturan berkenaan dengan pengertian tindak pidana korupsi, konstruksi perumusan delik tindak pidana korupsi mengalami perkembangan. Dalam hal ini, di bawah UU 24/prp/1960 penegak hukum mengalami kesulitan dalam proses pembuktian karena tidak selamanya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara didahului oleh adanya kejahatan atau pelanggaran. Akibatnya, banyak perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara tidak dapat disentuh penegak hukum.
Baca Juga: Kewenangan Melakukan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Perkara Korupsi
Padahal perbuatan tersebut dicela oleh masyarakat dan dianggap sebagai perbuatan yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana (strafwaardig), karena perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Oleh karena itu, agar dapat menjangkau perbuatan koruptif yang sebelumnya sulit disentuh UU 24/prp/1960, pembentuk UU 3/1971 merumuskan sedemikian rupa tindak pidana korupsi hingga meliputi perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan melawan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, agar mempermudah proses pembuktian dalam menilai adanya tindak pidana korupsi, maka dalam UU 3/1971 unsur “melakukan kejahatan” atau “pelanggaran” diubah dengan unsur “melawan hukum dan “menyalahgunakan kewenangan”.
Putusan di atas tidak bulat. Hakim konstitusi Arsul Sani mengajukan dissenting opinion.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI