DALAM berbagai pidato resmi maupun wawancaranya, Presiden Prabowo Subianto, selaku Kepala Negara, secara langsung menyampaikan keberpihakannya pada kesejahteraan para Hakim di Indonesia.
Saat memberikan sambutan dalam acara resmi Laporan Tahunan Mahkamah Agung, pada 19 Februari 2025, Presiden Prabowo menekankan pentingnya kesejahteraan Hakim. Saat itu, Presiden menyampaikan: "Beban saudara sangat berat, karena setiap rakyat kita bergantung kepada putusan saudara. Rakyat kita berharap keadilan, rakyat kita apalagi yang paling lemah paling miskin dan tidak berdaya, tempat terakhir mereka mencari keadilan adalah kepada para hakim. Saya bertekad untuk bekerja sama dengan legislatif, kita akan bicarakan bagaimana memperbaiki kualitas hidup semua hakim”.
Dalam keterangan resmi lainnya, Presiden Prabowo pada 2 Mei 2025 kembali menegaskan komitmennya dengan mengatakan: "Saya sedang merencanakan juga bagaimana manaikkan gaji para hakim kita, agar hakim kita nanti tidak bisa disogok, tidak bisa dibeli, sehingga hukum dilaksanakan dan ditegakkan dengan baik."
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Bak gayung bersambut, kini Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan, bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan lainnya secara intensif melakukan pembahasan dalam rangka tindak lanjut kebijakan Presiden Prabowo dan tindak lanjut sejumlah ketentuan dalam PP No. 44 Tahun 2024 mengenai pengaturan penyesuaian gaji pokok Hakim dan penghasilan pensiun Hakim. (Sumber: Instagram @pustrajak.mahkamahagung.ri pada 8 Mei 2025).
HAKIM SAAT PENSIUN: DAPAT APA?
Masa pensiun merupakan masa yang pasti akan dialami oleh setiap Hakim. Bagi sebagian Hakim, masa pensiun akan dianggap sebagai masa yang menakutkan dan tidak mengenakkan, karena seorang Hakim akan berhenti dari pekerjaan yang sudah secara rutin dilakukan selama bertahun-tahun dan sebagai konsekuensi pastinya akan menyebabkan kehilangan penghasilan yang selama ini menopang kehidupannya.
Bagi seorang Hakim, statusnya sebagai pejabat negara telah memberikan jaminan Hak Pensiun. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 PP No. 44 Tahun 2024, disebutkan bahwa penghasilan pensiun Hakim setiap bulan dihitung berdasarkan gaji pokok Hakim pada golongan ruang terakhir, ditambah dengan tunjangan beras dan tunjangan keluarga yang nominalnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Lampiran I PP No. 94 Tahun 2012, disebutkan bahwa gaji pokok Hakim golongan ruang terakhir IV/e dengan masa kerja 32 Tahun (paling maksimal) adalah Rp4.978.000. Artinya, jumlah Hak Pensiun yang akan diterima oleh Hakim setelah memasuki masa pensiun adalah paling banyak Rp4.978.000 ditambah tunjangan beras dan tunjangan keluarga.
Dengan jumlah Hak Pensiun yang demikian ditambah dengan faktor inflasi, perubahan daya beli masyarakat, dan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, maka sudah tentu seorang Hakim membutuhkan kemandirian finansial yang lebih kuat untuk menopang hidup dan kehidupannya setelah memasuki masa pensiun. Hal ini yang menjadi tantangan dan persoalan tersendiri: Apakah penghasilan pensiun Hakim cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di hari tua?
MENGGAGAS DANA TABUNGAN PENSIUN HAKIM (DTPH)
Sebelum gaji dan tunjangan jabatan Hakim (benar-benar) akan dinaikkan oleh negara dalam waktu dekat, ada hal yang menarik yang menurut penulis perlu menjadi kesadaran bersama, yaitu pentingnya menggagas suatu formula yang memungkinkan dilakukan oleh IKAHI dan Mahkamah Agung selaku organisasi induk para Hakim untuk melakukan pengelolaan dana yang bermanfaat bagi Hakim itu sendiri di masa pensiun.
Salah satu diantara sekian banyak formula yang barangkali perlu digagas adalah konsep Dana Tabungan Pensiun Hakim (DTPH). Konsep ini secara yuridis dimungkinkan melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, yang salah satu ketentuannya memberikan ruang kepada pemberi kerja untuk melakukan pengelolaan dana pensiun pemberi kerja (DPPK). Sejumlah institusi, misalnya Bank Indonesia, saat ini memiliki DAPENBI (Dana Pensiun Bank Indonesia) berdiri sejak 1972 dan berfokus pada pengelolaan kekayaan yang optimal dengan tingkat risiko yang moderat. Begitupun di lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memiliki DAPENOJK (Dana Pensiun OJK) berdiri sejak 2014 dan bertujuan untuk mengelola Dana Pensiun secara optimal melalui tata kelola yang baik dan memastikan pembayaran manfaat pasti bagi peserta pada waktunya serta senantiasa mengupayakan pemeliharaan kesejahteraan peserta.
Konsep DTPH ini menekankan pada perlunya Hakim menyisihkan sejumlah dana yang bersumber dari gaji dan tunjangan jabatan saat ini untuk dikelola dalam rangka optimalisasi, yang manfaatnya nanti dapat diberikan pada saat Hakim tersebut memasuki masa pensiun
Barr dan Diamond (2006) memberikan ilustrasi yang sangat relevan mengenai pentingnya pengelolaan dana pensiun. Menurutnya, tujuan utama program pensiun adalah consumption smoothing (proses yang mengalihkan sebagian konsumsi dari masa produktif ke masa pensiun) dan memberikan perlindungan kepada pesertanya di hari tua. Istilah consumption smoothing ini menjadi sangat relevan pula dengan kondisi faktual yang dialami oleh para Hakim. Sampai dengan saat ini, belum terdapat suatu mekanisme pengelolaan yang dapat menjembatani peralihan dana dari masa produktif (saat ini) ke masa pensiun. Dalam kalimat yang lebih sederhana, saat ini belum terdapat mekanisme yang memungkinkan Hakim mengalihkan sebagian penghasilannya hari ini untuk ditabung dan dioptimalisasi sebagai bekal di masa pensiun.
Memang, saat ini telah menjamur program perbankan yang mampu mengakomodir jaminan hari tua yang memungkinkan Hakim dapat menggunakan layanan perbankan tersebut secara individu per individu. Namun demikian, gagasan untuk mengelola Dana Tabungan Pensiun Hakim secara kolektif oleh suatu lembaga pengelola dapat menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat ditempuh untuk memberikan jaminan hari tua yang lebih memadai.
Pengelolaan Tabungan pensiun Hakim, misalnya, dapat dilakukan dengan mekanisme Defined Contribution (DC). Dalam konsep DC, besaran manfaat pensiun ditentukan oleh akumulasi iuran/tabungan yang disetorkan setiap bulannya beserta hasil pengembangannya.
Dalam ilustrasi yang sederhana, kita asumsikan misalnya setiap Hakim menyisihkan Rp1.000.000 (satu juta rupiah) dari tunjangan jabatannya per-bulan untuk disimpan pada program Dana Tabungan Pensiun Hakim (DTPH). Selama 30 tahun masa kerja, jumlah Tabungan Hakim tersebut mencapai Rp360.000.000 (tiga ratus enam puluh juta rupiah). Angka tersebut adalah angka minimal yang akan diperoleh seorang Hakim ketika memasuki masa pensiun. Apabila dana yang terkumpul dikelola secara modern, misalnya pengelola dana diberikan kewenangan melakukan investasi atau pengembangan dana, maka manfaat yang akan diperoleh ketika Hakim tersebut pensiun diproyeksikan akan melebihi jumlah minimal yang didapatkan.
Dari sisi manfaat, dana Tabungan Hakim yang dikelola dan dikembangkan tersebut dapat digunakan paling tidak untuk 2 (dua) hal. Pertama, dapat digunakan untuk investasi pada sektor yang minim/rendah resiko yang manfaatnya akan diberikan kepada Hakim itu sendiri. Kedua, dapat digunakan untuk memberikan pinjaman lunak kepada para Hakim yang pada waktu-waktu tertentu membutuhkan dana segar untuk keperluan pribadi maupun keluarganya. Dengan tujuan yang demikian, maka selain manfaat ekonomis, manfaat secara sosial juga akan dapat diperoleh dan pada akhirnya rasa kebersamaan dan soliditas antar sesama Hakim semakin terpupuk.
EPILOG
Secara psikologis, gagasan pengelolaan dana pensiun Hakim akan lebih mudah diterima oleh para Hakim apabila dirangkaikan dengan momentum kenaikan gaji dan tunjangan jabatan Hakim yang dalam waktu dekat kita berharap benar-benar akan segera ditingkatkan oleh negara.
Tentu saja, tantangan terbesar apabila gagasan ini disepakati adalah tentang siapa dan dalam bentuk apa dana pensiun Hakim ini dikelola? Oleh karenanya, tulisan ini bukanlah opini tunggal, melainkan dapat berkembang seiring dengan semakin banyaknya gagasan dan alternatif model pengelolaan dana pensiun Hakim yang lebih efektif dan efisien. Tulisan ini, sekali lagi, bermaksud untuk membentuk suatu diskursus baru di kalangan para Hakim dan mendorong IKAHI dan Mahkamah Agung untuk lebih proaktif dalam menyusun kebijakan yang berorientasi pada pengelolaan dana pensiun Hakim yang manfaatnya bisa dirasakan bersama dan mampu memberikan jaminan hidup dan kehidupan Hakim di hari tua yang lebih baik lagi. (AAR)
Andi Aula Rahma
Hakim PN Donggala
REFERENSI:
1. Barr, N. and Diamond, P. (2006). The economics of pensiuns. Oxford Review of Economic Policy, sebagaimana dikutip dalam Policy Paper “KAJIAN GRAND DESIGN SISTEM PENSIUN NASIONAL”, Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (Kemenkeu RI), 2022.
Baca Juga: Vonis Harvey: Rolls-Royce hingga Rumah Mewah Sandra Dewi Dirampas Negara!
2. PP 94 Tahun 2012 tentang HAK KEUANGAN DAN FASILITAS HAKIM YANG BERADA DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG dan perubahan-perubahannya.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI