Cari Berita

Histori dan Prinsip Representasi dalam Pengaturan Sanksi Pidana

Pradikta Andi Alvat-Analis Perkara Peradilan PN Rembang - Dandapala Contributor 2025-06-15 08:00:01
Dok. Pribadi.

Dalam kerangka historis, transformasi perkembangan hukum pidana memiliki afiliasi erat dengan sejarah peradaban bangsa Eropa. Setelah era kegelapan runtuh, maka tumbuhlah era pertengahan (rennaisance) yang ditandai dengan tumbuhnya budaya berpikir sekaligus muncul klise absolutisme raja. Pada era ini, peran dan kuasa seorang raja sangat dominan. Maka munculah yang dinamakan crimine extra ordinaria, yakni otoritas yang dimiliki oleh seorang raja untuk menentukan apa saja yang termasuk perbuatan jahat (crimina stellionatus) dimana raja bebas menentukan jenis sanksi apa yang dijatuhkan.

Hal tersebut membuat raja cenderung menjadi sewenang-wenang. Ia bisa saja menghukum seseorang tanpa alasan yang rasional (subyektif), dan itulah yang terjadi di Eropa pada abad pertengahan. Kondisi tersebut mendorong lahirnya pemikir-pemikir barat yang tumbuh dengan intelektualitasnya untuk menentang kultur absolutisme raja. Salah dua diantaranya, Mostesqiu dan J.J. Rousseau yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan raja.

Baca Juga: Mengenal Jenis Sanksi Hukum di Jawa Abad ke-18, dari Cambuk hingga Dibuang

Titik balik hukum pidana di Eropa adalah pada kasus Jean Calas yang dituduh oleh pengadilan kerajaan Perancis telah membunuh anaknya sendiri Antoine Calas pada tahun 1762. Dalam kasus tersebut, Jean Calas akhirnya dijatuhi hukuman mati (gantung) karena dianggap telah membunuh anaknya, Antoine Calas. Proses peradilan terhadap Jean Calas sendiri jauh dari obyektifitas mengingat kekuasaan raja sangat dominan.

Kemudian, 3 tahun setelahnya, Voltaire mengajukan upaya hukum untuk pemeriksaan ulang atas kasus tersebut, yang didapati fakta bahwa Antoine Calas meninggal dunia karena bunuh diri bukan dibunuh oleh Jean Calas, ayahnya. Jean Calas terbukti tidak bersalah dan harus diputus bebas, namun ia sudah terlanjur meregang nyawa (Eddy O. S. Hiariej: 2017).

Atas peristiwa yang menimpa Jean Calas, ahli hukum asal Italia, Cessare Beccaria dalam bukunya yang berjudul Dei Delitti E Delle Pene mengungkapkan bahwa undang-undang pidana seharusnya dibentuk berdasarkan asas-asas yang bersifat rasional untuk menghindari subyektifitas dan kesewenang-wenangan penguasa sekaligus menjadi basis legitimasi sebelum menjatuhkan hukuman. Pendapat Beccaria ini kemudian mempengaruhi dicantumkannya prinsip pembatasan kekuasaan raja (penguasa) dan penghormatan hak individu (kerangka asas legalitas) dalam Deklarasi Perancis tahun 1789, yang merupakan puncak revolusi Perancis

Pada tahun 1801, ilmuwan hukum asal Jerman, Johan Anselm Von Feurbach menjadi orang pertama yang merumuskan asas legalitas secara gamblang dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch Des Gemeinen in Deutschland Giiltigen Peinlichen Rechts. Menurut Von Feurbach, dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang (tindak pidana) juga harus disertai jenis sanksi apa yang dijatuhkan, sehingga penguasa tidak bisa semena-mena dalam menentukan dan menjatuhkan hukuman. Pandangan Von Feurbach ini dikenal dengan teori vom psycologischen zwang yang kemudian melahirkan postulat yang melegenda “Nullum dellictum nulla poena sine praevia lege poenalli”. (Romli Atmasasmita: 2013).

Postulat tersebut kemudian terderivasi menjadi 3 bagian.

Pertama, nulla poena sine lege (tiada hukuman pidana tanpa ketentuan menurut undang-undang).

Kedua, nulla poena sine crimen (tiada hukuman pidana tanpa perbuatan pidana).

Ketiga, nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang).

Pemikiran Von Feurbach tersebut dikenal sebagai asas legalitas yang kemudian menjadi mailstone bagi internalisasi pembentukan hukum di berbagai negara, termasuk dalam KUHP positif kita yang merupakan translate dari KUHP Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan pada tahun 1888 di Belanda.  Prinsip nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang) merupakan pengejawantahan dari pandangan Feurbach bahwa dalam penentuan apa saja yang tergolong tindak pidana harus disertai juga dengan jenis sanksi yang dapt dijatuhkan.

Dari pemaparan di atas, secara historis, asbabun nuzulnya asas legalitas dan pengaturan sanksi pidana dilatarbelakangi oleh dua kondisi. Pertama, adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absolutisme raja). Kedua, kesadaran kolektif untuk memperjuangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia melalui kontrak sosial antara rakyat dan penguasa sebagai rule untuk membangun peradaban yang lebih baik.

Esensi Sanksi Pidana

Sanksi pidana sering disebut sebagai sanksi spesial atau sanksi yang paling berat diantara sanksi pada lapangan hukum lainnya. Sanksi pidana core utamanya merupakan perampasan kemerdekaan (pidana penjara dan pidana kurungan) bahkan hingga perampasan nyawa (pidana mati) meskipun dalam KUHP baru core retributif mulai diperlunak. Oleh sebab itu, pembuktian hukum pidana bernilai beyond reasonable of doubt. Artinya, bahwa harus benar-benar terpidanalah yang bersalah dan dijatuhi sanksi pidana tanpa keraguan sedikitpun. Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah dari pada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Maknanya bahwa penegakan hukum pidana harus dilaksanakan dengan prinsip due process of law yang ketat karena berkorelasi langsung dengan perlindungan hak asasi manusia.

Secara teoritis, sanksi pidana pada prinsipnya memiliki 4 fungsi yakni reformation, restraint, retribution, dan detterance.

Reformation, merupakan fungsi sanksi pidana dalam memperbaiki dan merehabilitasi seorang pelaku tindak pidana untuk menyadari kesalahannya, tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya lagi maupun melakukan tindak pidana yang lain.

Restraint, merupakan fungsi sanksi pidana untuk mengasingkan pelaku dari masyarakat melalui sanksi perampasan kemerdekaan, tujuannya adalah untuk menghindari balas dendam dari pihak korban dan juga memberikan kententraman dalam masyarakat.

Retribution, merupakan fungsi sanksi pidana sebagai reaksi timbal balik atas perbuatan pidana yang dilakukannya.

Detterance, merupakan fungsi sanksi pidana untuk memberikan efek jera kepada pelaku (prevensi khusus) dan juga memberikan rasa takut kepada masyarakat umum agar tidak melakukan tindak pidana (prevensi umum).

Berdasarkan esensi sanksi pidana tersebut, mengejawantah bahwa sanksi hukum pidana harus diuat dan diatur dengan memperhatikan dua kepentingan yakni kepentingan penguasa juga kepentingan rakyat agar tercipta hukum yang akomodatif untuk mengatur kehidupan bersama (Wirjono: 2011).

Asas Tiada Hukuman Tanpa Representasi

Pengaturan sanksi pidana merupakan hal yang fundamental dalam penegakan hukum pidana, dimana sanksi pidana berkorelasi langsung dengan pembatasan hak asasi manusia (perampasan kemerdekaan dll). Oleh sebab itu, merujuk pada histori transformasi perkembangan hukum pidana, bahwa pengaturan sanksi pidana harus diatur berdasarkan kesepakatan antara penguasa dan rakyat. Hal ini merupakan contra balance terhadap tendensi absolutisme penguasa. Mengingat, jika tanpa representasi rakyat, maka penguasa akan cenderung mengorkestrasi hukum pidana berdasarkan otoritas kekuasaan dengan basis kesewenang-wenangan sebagaimana di era absolutisme raja di eropa. Maka dalam pengaturan sanksi pidana dikenal asas tiada hukuman tanpa representasi. Konkretnya, perumusan sanksi pidana harus memberikan ruang terhadap representasi rakyat dalam hal ini diwakili oleh legislatif (wakil rakyat).

Oleh sebab itu, dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sanksi pidana hanya dapat dicantumkan dalam undang-undang dan peraturan daerah saja. Hal ini secara filosofis berakar pada teori kontrak sosial, bahwa hukum pidana maupun pembatasan hak asasi manusia harus diatur oleh hukum sebagai manifestasi kesepakatan bersama antara penguasa dan rakyat.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka secara empiris hanya undang-undang dan peraturan daerah sajalah, produk hukum yang dalam pembuatannya merupakan resultante dari penguasa dan rakyat (Presiden dan DPR atau kepala daerah dan DPRD). Produk hukum lain (peraturan presiden, peraturan pemerintah dll) tidak boleh memuat sanksi pidana, karena proses pembentukannya bersifat sektoral, tidak melibatkan entitas penguasa (eksekutif) dan rakyat (legislatif) secara bersama. (ZM/LDR)


Referensi

Eddy O. S. Hiariej, 2017, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka.

Romli Atmasasmita, 2013, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Wirjono Prodjodikoro, 2011, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama.


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI