Pendahuluan
Menjelang berlakunya KUHP Nasional pada awal tahun 2026 mendatang, diskursus mengenai arah pembaruan sistem pemidanaan Indonesia kian mengemuka. KUHP Nasional memuat sejumlah terobosan normatif, termasuk pengakuan terhadap diskresi Hakim dalam keadaan tertentu untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan terhadap seseorang yang telah dinyatakan terbukti bersalah atau dikenal dengan istilah rechterlijk pardon (pemaafan Hakim). Pengaturan baru ini jelas menunjukkan bahwa pertimbangan kemanusiaan dan keadilan lebih diutamakan di atas rigiditas norma penghukuman (baca: kepastian hukum).
Perlu dicatat, KUHP Nasional bukan merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang memperkenalkan konsep rechterlijk pardon (pemaafan Hakim), karena sebenarnya konsep serupa telah lebih dahulu diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Sehingga menarik untuk meneroka (merupakan padanan kata dari meneropong, meninjau, menjelajahi) konfigurasi rechterlijk pardon dalam UU SPPA. Lantas bagaimana pengaturan mengenai pengaturan rechterlijk pardon itu sendiri dalam UU SPPA? Dan sejauh mana mengenai ketentuan rechterlijk pardon dalam UU SPPA telah diterapkan oleh Hakim dalam putusan perkara pidana anak?
Baca Juga: Harmonisasi Konsep Pemaafan Hakim (Recterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP
Konfigurasi Rechterlijk Pardon Dalam UU SPPA
Konsep rechterlijk pardon atau pemaafan Hakim secara eksplisit diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menyatakan, "Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan". Jika dilihat, bunyi ketentuan Pasal 70 UU SPPA itu sangat mirip dengan ketentuan Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional yang mengatur mengenai pedoman pemidanaan berupa rechterlijk pardon (pemaafan Hakim).
Norma ini memberikan ruang diskresi yang luas kepada Hakim untuk menilai konteks faktual dan personal yang mengiringi tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Substansi pasal tersebut memuat formulasi terbuka (open-ended clause) yang menekankan pada 3 (tiga) indikator utama, (1) ringannya perbuatan; (2) kondisi pribadi anak; dan (3) keadaan saat atau setelah tindak pidana dilakukan, yang menjadi dasar bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan, dengan keadilan dan kemanusiaan sebagai landasan utamanya.
Pada dasarnya, rechterlijk pardon (pemaafan Hakim) juga merupakan pedoman pemidanaan yang bertumpu pada prinsip fleksibilitas untuk menghindari kekakuan dalam penerapan sanksi pidana. Hakim tidak semata-mata menerapkan norma secara mekanis seperti robot (baca: mesin), melainkan harus mempertimbangkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Konsep ini juga berfungsi sebagai klep pengaman (veiligheidsklep) atau pintu darurat (noodeur), terutama bagi perkara anak yang tidak memenuhi syarat diversi, namun terdapat kehendak perdamaian dari para pihak. Dalam situasi semacam ini, rechterlijk pardon dapat menjadi alternatif penyelesaian yang lebih adil tanpa melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Penerapan Rechterlijk Pardon oleh Hakim Dalam Praktik Peradilan Pidana Anak
Sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UU SPPA, Hakim dengan mengedepankan nilai keadilan dan kemanusiaan diberikan kewenangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan kepada anak dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian.
Dalam praktiknya, penerapan rechterlijk pardon terbilang sangat jarang. Alasan kenapa penerapan rechterlijk pardon dalam perkara pidana anak tidak banyak dilakukan oleh Hakim bisa terjadi karena beberapa faktor yaitu ketidakjelasan pedoman penerapan mengenai pemaafan Hakim dalam UU SPPA sehingga menjadikan Hakim ragu untuk menerapkannya atau faktor lain karena dalam UU SPPA telah banyak memberikan alternatif penghukuman seperti penjatuhan pidana selain penjara atau tindakan.
Berdasarkan hasil penelusuran para penulis melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung terkait penerapan rechterlijk pardon sebagaimana Pasal 70 UU SPPA dalam putusan Hakim, dalam praktik peradilan Penulis hanya ditemukan dua putusan yang telah menerapkan rechterlijk pardon, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Rengat Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2021/PN Rgt dan Putusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2025/PN Pts. Kedua putusan tersebut sama-sama berkaitan dengan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh Anak/Para Anak, dengan konstruksi amar putusan setelah Anak/Para Anak dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana, Hakim menyebutkan, “Meniadakan sanksi baik berupa penjatuhan pidana maupun pengenaan tindakan kepada Anak”.
Dalam kedua putusan tersebut, Hakim telah menerapkan konsep rechterlijk pardon sebagaimana Pasal 70 UU SPPA dengan tidak menjatuhkan pidana ataupun memberikan tindakan kepada Anak meskipun Anak/Para Anak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dalam keadaan memberatkan.
Salah satu pertimbangan penting dalam putusan-putusan tersebut adalah terkait dengan “keadaan yang terjadi kemudian”, di mana setelah terjadinya tindak pidana pencurian tersebut telah terjadi perdamaian antara keluarga anak dan korban bahkan ganti kerugian kepada korban. Dalam persidangan korban juga menyatakan secara tegas telah memberikan maaf kepada anak dan korban berniat untuk tidak lagi menuntut anak secara hukum. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, termasuk asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) dan prinsip restorative justice, Hakim menyatakan bahwa menjatuhkan pidana tidak lagi memberikan manfaat, baik bagi anak, korban, maupun masyarakat. Oleh karena itu, meskipun semua unsur tindak pidana telah terpenuhi, Hakim memutuskan untuk menerapkan Pasal 70 UU SPPA dengan tidak menjatuhkan pidana maupun tindakan terhadap anak.
Putusan-putusan tersebut mencerminkan pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan restoratif, perlindungan anak, dan reintegrasi sosial dan mengesampingkan hukuman yang bersifat pembalasan (retributif). Meskipun Pasal yang didakwakan adalah pencurian dengan pemberatan dengan ancaman hukuman maksimal 7 (tujuh) tahun penjara dan termasuk dalam ketentuan yang dikecualikan untuk dilaksanakan diversi, namun demi mengedepankan nilai keadilan dan kemanusiaan dengan mendasarkan fakta persidangan, Hakim dalam putusannya memilih untuk menerapkan pemaafan Hakim sebagaimana pasal 70 UU SPPA dengan pertimbangan hukum yang konstruktif.
Penutup
Pasal 70 UU SPPA telah mengatur rechterlijk pardon, yang memberikan kewenangan bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau tindakan kepada Anak dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Ada indikator yang perlu dipedomani, di antaranya, ringannya perbuatan, kondisi pribadi anak, dan keadaan saat atau setelah perbuatan dilakukan. Norma ini mencerminkan pendekatan hukum yang lebih fleksibel dan restoratif, dengan menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam penjatuhan sanksi pidana.
Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak
Sayangnya, penerapan rechterlijk pardon oleh Hakim dalam perkara pidana anak masih sangat jarang. Hasil penelusuran hanya menemukan dua putusan pengadilan yang menerapkannya, yaitu Putusan PN Rengat (2021) dan PN Putussibau (2025). Hal ini menunjukkan adanya hambatan normatif dan kultural dalam penerapan rechterlijk pardon dalam UU SPPA. Padahal, ketika diterapkan secara tepat, rechterlijk pardon dapat menjadi solusi pemidanaan yang adil, proporsional, dan berorientasi pada masa depan anak. Untuk itu, dibutuhkan ikhtiar bersama berupa pedoman penerapan dan dukungan kelembagaan agar pendekatan ini dapat digunakan secara efektif dan bertanggung jawab dalam sistem peradilan pidana anak.[SNR/LDR]
Penulis Merupakan Para Hakim pada PN Putussibau: Christa Yulianta Prabandana, Didik Nursetiawan, dan Radityo Muhammad Harseno.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI