Cari Berita

Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP

Bagus Mizan Albab, S.H. - Dandapala Contributor 2025-03-19 10:30:01
Bagus Mizan Albab, S.H.

RUU KUHAP saat ini menjadi perbincangan hangat, mengingat keberadaanya masuk kedalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2025, sehingga perlu untuk diikuti perkembangan dan pembahasannya baik oleh praktisi hukum maupun masyarakat. Dengan segala pro dan kontra yang ada, RUU KUHAP ini didorong sebagai wujud respon dari perubahan sistem ketatanegaraan, perkembangan hukum dalam Masyarakat, dan kemajuan teknologi yang sudah tidak sesuai, sehingga diperlukan penggantian yang dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru.

RUU KUHAP saat ini, dimana penulis menggunakan rancangan per tanggal 3 Maret 2025, Terdiri atas 20 (dua puluh) BAB dan 334 (tiga ratus tiga puluh tiga) Pasal. Salah satu hal yang menarik untuk dijadikan sebagai bahan diskusi yaitu terkait dengan pengaturan Praperadilan dalam RUU KUHAP mengenai apa saja yang diatur, dan apa perbedaan pengaturan antara Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku saat ini. Perlu diketahui, konsep Praperadilan pada dasarnya berawal dari prinsip habeas corpus yang terdapat dalam sistem Anglo Saxon. Habeas Corpus Act 1679 menuntut pejabat polisi atau jaksa mengeluarkan perintah penahanan yang sah melalui surat perintah pengadilan. Hal ini bertujuan agar memberikan jaminan fundamental terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama dalam hal-hak kemerdekaan. Dengan demikian, terhadap dasar dari lahirnya Praperadilan, timbulah suatu perdebatan apakah KUHAP saat ini sudah mengatur perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut sebagaimana dasar semangat lahirnya Praperadilan.

Dengan demikian, demi terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana maka selanjutnya undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, dan sebagainya. Dikarenakan Tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh instansi penegak hukum termasuk kedalam bagian dari pembatasan kemerdekaan atas hak asasi manusia, maka Tindakan tersebut harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan peraturan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Dengan demikian, diperlukan Lembaga atau proses pengawasan yang dapat mencerminkan perlindungan atas hak asasi manusia tersebut akibat dari adanya upaya paksa. Lantas, bagaimana pengaturan Praperadilan dalam RUU KUHAP saat ini? apakah pengaturan Praperadilan sudah memenuhi prinsip perlindungan atas hak asasi manusia? Apa saja poin penting perbedaannya?

Baca Juga: Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

RUANG LINGKUP PRAPERADILAN

Ruang lingkup praperadilan terhadap objek yang dapat diperiksa dan diputus diatur dalam ketentuan Pasal 149 dimana telah diakomodirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dimana sah atau tidaknya pelaksanaan upaya paksa termasuk kedalam ruang lingkup yang dapat dimintakan Praperadilan. Adapun yang dimaksud dengan upaya paksa sendiri juga diatur dalam Pasal 84 RUU KUHAP yang meliputi; (i) Penetapan Tersangka; (ii) Penangkapan; (iii) Penahanan; (iv) Penggeledahan; (v) penyitaan; (vi) penyadapan; (vii) pemeriksaan surat; dan (ix) larangan bagi Tersangka untuk keluar dari wilayah Indonesia. Hal ini berbeda dengan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP dimana istilah upaya Paksa tidak diatur dalam KUHAP hanya saja dapat diidentikan dengan segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapapun, Dimana diantaranya adalah (i) penangkapan; (ii) penggeledahan; (iii) penyitaan; (iv) dan pemeriksaan surat. 

Ketentuan Praperadilan dalam RUU KUHAP memberikan definisi dan ruang lingkup terhadap upaya paksa yang jauh lebih luas dibandingkan dengan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dengan demikian segala jenis upaya paksa yang terdapat dalam Pasal 84 RUU KUHAP dapat dijadikan objek praperadilan. Tidak hanya terhadap penetapan tersangka saja sebagaimana putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, melainkan juga termasuk didalamnya larangan bagi tersangka untuk keluar dari wilayah Indonesia dan penyadap. Akan tetapi, dalam penjelasan Pasal 149 ayat (1) RUU KUHAP terdapat pembatasan upaya paksa yaitu terhadap upaya paksa yang telah mendapatkan izin ketua pengadilan negeri tidak termasuk kedalam objek praperadilan.

GUGURNYA PRAPERADILAN

Pengaturan dalam UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP, didalam ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d dikatakan “dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.” Hal ini ditindaklanjuti oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 dimana pada pokoknya dikatakan “Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘suatu perkara sudah mulai diperiksa’ tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.” Artinya adalah pengaturan KUHAP saat ini mengatur gugurnya praperadilan apabila terhadap perkara pokok telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara.

Baca Juga: Perjuangan IKAHI dalam Perdebatan Pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970

Hal ini berbeda dengan apa yang diatur oleh RUU KUHAP dimana terdapat pengaturan yang sebaliknya. Disebutkan dalam Pasal 154 ayat (1) RUU KUHAP huruf d bahwa selama pemeriksaaan praperadilan belum selesai maka pemeriksaan pokok perkara di pengadilan tidak dapat diselenggarakan. Artinya adalah, dibenarkan bagi penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan kemudian disidangkan oleh Pengadilan Negeri apabila terhadap permohonan Praperadilan ini belum selesai dilakukan pemeriksaan. Hal ini berbanding terbalik dengan aturan UU 8 tahun 1981 tentang KUHAP saat ini. Dimana dalam RUU KUHAP tidak diatur gugurnya Praperadilan melainkan sebaliknya memberikan Batasan kepada Aparat Penegak Hukum untuk tidak memeriksa pokok perkara selama proses pemeriksaan praperadilan masih berlangsung. 

Dengan demikian, dua perbedaan diatas merupakan perbedaan yang cukup fundamental didalam proses pemeriksaan Praperadilan Dimana terdapat 2 (dua) perbedaan yang sangat penting yaitu terkait dengan ruang lingkup atau objek praperadilan dan mengenai gugurnya praperadilan. Selanjutnya, terhadap pembaruan tersebut, Kembali pada pertanyaan dalam pendahuluan di atas, apakah pembaruan praperadilan dalam RUU KUHAP ini sudah mencerminkan nilai-nilai hak asasi manusia sebagaimana yang diperjuangkan dari konsep praperadilan? atau dirasa kurang untuk memenuhi perlindungan atas hak asasi manusia itu sendiri? Tentunya ini akan menjadi pembahasan yang sangat menarik didalam tataran dunia akademis dan praktis.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum