Praperadilan hadir dalam sistem hukum
Indonesia sebagai mekanisme cepat untuk menguji keabsahan tindakan aparat
penegak hukum, khususnya terkait penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, atau penuntutan hingga penetapan tersangka. Kehadiran lembaga ini
merupakan bentuk perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap tindakan
sewenang-wenang penyidik dan penuntut umum.
Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah terhadap putusan
praperadilan dapat dilakukan upaya hukum, seperti banding, kasasi, atau
peninjauan kembali?
Pertanyaan ini penting karena di satu sisi praperadilan
dituntut cepat dan final, sementara di sisi lain, putusan praperadilan kadang
menimbulkan perdebatan, bahkan dianggap kontroversial. Maka, perlu ditelusuri
dasar hukumnya serta filosofi mengapa putusan praperadilan bersifat final dan
tidak dapat diajukan upaya hukum lebih lanjut.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP
Pasal 83 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa terhadap putusan
praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Bahkan, melalui Putusan MK No.
65/PUU-IX/2011, hak banding bagi penyidik dan penuntut umum sebagaimana
tercantum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP dihapuskan, karena dianggap
diskriminatif. Dengan demikian, banding sama sekali tertutup bagi semua pihak.
Berdasarkan Pasal 45A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, secara tegas
ditentukan bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi. Artinya,
jalur kasasi pun tertutup.
Awalnya, melalui SEMA No. 4 Tahun 2014, Mahkamah Agung
membuka kemungkinan pengajuan PK terhadap putusan praperadilan jika terdapat
indikasi penyelundupan hukum. Namun, tafsir penyelundupan hukum berbeda-beda,
sehingga menimbulkan putusan yang saling bertentangan dan menciptakan ketidakpastian
hukum.
Untuk mengakhiri perdebatan tersebut, Mahkamah Agung
menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan
Praperadilan yang secara tegas menyatakan bahwa putusan praperadilan tidak
dapat diajukan peninjauan kembali.
Setelah keluarnya Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011, Pasal 45A
UU MA, dan PERMA No. 4 Tahun 2016, maka semua jalur upaya hukum banding,
kasasi, maupun PK tertutup bagi putusan praperadilan.
Berdasarkan hal tersebut, secara filosofis, setidaknya ada
tiga alasan utama menurut penulis yang menjadi alasan tentang tidak adanya upaya hukum terhadap putusan
praperadilan, sebagai berikut:
1. Asas
Peradilan Cepat (Speedy Trial)
Praperadilan dirancang untuk memberi perlindungan hukum
secara cepat. Putusan harus dijatuhkan dalam waktu singkat (tujuh hari sejak
sidang dimulai). Jika dibuka upaya hukum, prosesnya akan berlarut-larut,
sehingga tujuan awal praperadilan sebagai mekanisme cepat akan gagal.
2. Asas
Kepastian Hukum
Dalam kasus penangkapan atau penahanan, pihak yang
dirugikan membutuhkan kepastian segera. Putusan praperadilan yang final dan
mengikat akan langsung memberikan kepastian hukum, tanpa menunggu proses
banding, kasasi, atau PK.
3. Dimensi
Hak Asasi Manusia
Fungsi utama praperadilan adalah melindungi HAM tersangka
dari tindakan sewenang-wenang aparat. Jika terbukti ada pelanggaran, maka
putusan yang cepat dan final diperlukan agar hak-hak individu segera
dipulihkan. Membuka upaya hukum justru akan memperlama pemulihan hak tersebut.
Putusan praperadilan yang final dan mengikat kadang
menimbulkan problem, misalnya jika ada dugaan putusan praperadilan menyimpang
dari hukum atau berpotensi salah. Namun, Mahkamah Agung tetap menutup ruang
upaya hukum demi menjaga konsistensi asas cepat dan kepastian hukum.
Solusinya bukan membuka upaya hukum baru, melainkan
memperkuat integritas hakim praperadilan serta meningkatkan mekanisme
pengawasan internal Mahkamah Agung.
Putusan praperadilan bersifat final dan tidak dapat
diajukan upaya hukum apapun baik banding, kasasi, maupun PK. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 83 KUHAP, Pasal 45A UU MA, Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011, serta
PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Secara filosofis, larangan upaya hukum atas putusan
praperadilan dilandasi oleh tiga pilar utama: asas peradilan cepat, asas
kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. Ketiganya menegaskan bahwa
praperadilan harus segera memberi putusan final yang langsung mengikat.
Dengan demikian, filosofi “tak ada upaya hukum terhadap
putusan praperadilan” bukanlah kelemahan, melainkan karakteristik yang justru
menjaga fungsi utama praperadilan sebagai the
guardian of human rights dalam proses peradilan pidana di Indonesia. (ldr)
Referensi:
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011
PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali
Putusan Praperadilan
DY Witanto, Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori Dan
Praktik: Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Praktik Penanganan Perkara
Praperadilan, PT imaji cipta karya
Baca Juga: Tok! Permohonan Praperadilan Gugur, Perkara Dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Kupang
Riki Perdana Raya Waruwu, Praperadilan Pasca 4 Putusan MK, https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/Praperadilan%20Pasca%204%20Putusan%20MK.pdf diakses pada tanggal 14
September 2025
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI