Cari Berita

Tertutupnya Pintu Upaya Hukum Putusan Praperadilan: Suatu Tinjauan Filosofi

I Kadek Apdila Wirawan - Dandapala Contributor 2025-09-22 14:05:11
Dok. Penulis.

Praperadilan hadir dalam sistem hukum Indonesia sebagai mekanisme cepat untuk menguji keabsahan tindakan aparat penegak hukum, khususnya terkait penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penuntutan hingga penetapan tersangka. Kehadiran lembaga ini merupakan bentuk perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap tindakan sewenang-wenang penyidik dan penuntut umum.

Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah terhadap putusan praperadilan dapat dilakukan upaya hukum, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali?

Pertanyaan ini penting karena di satu sisi praperadilan dituntut cepat dan final, sementara di sisi lain, putusan praperadilan kadang menimbulkan perdebatan, bahkan dianggap kontroversial. Maka, perlu ditelusuri dasar hukumnya serta filosofi mengapa putusan praperadilan bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum lebih lanjut.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Dengan Praperadilan Dalam RUU KUHAP

Pasal 83 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Bahkan, melalui Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011, hak banding bagi penyidik dan penuntut umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP dihapuskan, karena dianggap diskriminatif. Dengan demikian, banding sama sekali tertutup bagi semua pihak. Berdasarkan Pasal 45A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, secara tegas ditentukan bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi. Artinya, jalur kasasi pun tertutup.

Awalnya, melalui SEMA No. 4 Tahun 2014, Mahkamah Agung membuka kemungkinan pengajuan PK terhadap putusan praperadilan jika terdapat indikasi penyelundupan hukum. Namun, tafsir penyelundupan hukum berbeda-beda, sehingga menimbulkan putusan yang saling bertentangan dan menciptakan ketidakpastian hukum.

Untuk mengakhiri perdebatan tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan yang secara tegas menyatakan bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.

Setelah keluarnya Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011, Pasal 45A UU MA, dan PERMA No. 4 Tahun 2016, maka semua jalur upaya hukum banding, kasasi, maupun PK tertutup bagi putusan praperadilan.

Berdasarkan hal tersebut, secara filosofis, setidaknya ada tiga alasan utama menurut penulis yang menjadi alasan tentang tidak adanya upaya hukum terhadap putusan praperadilan, sebagai berikut:

1.  Asas Peradilan Cepat (Speedy Trial)

Praperadilan dirancang untuk memberi perlindungan hukum secara cepat. Putusan harus dijatuhkan dalam waktu singkat (tujuh hari sejak sidang dimulai). Jika dibuka upaya hukum, prosesnya akan berlarut-larut, sehingga tujuan awal praperadilan sebagai mekanisme cepat akan gagal.

2.  Asas Kepastian Hukum

Dalam kasus penangkapan atau penahanan, pihak yang dirugikan membutuhkan kepastian segera. Putusan praperadilan yang final dan mengikat akan langsung memberikan kepastian hukum, tanpa menunggu proses banding, kasasi, atau PK.

3.      Dimensi Hak Asasi Manusia

Fungsi utama praperadilan adalah melindungi HAM tersangka dari tindakan sewenang-wenang aparat. Jika terbukti ada pelanggaran, maka putusan yang cepat dan final diperlukan agar hak-hak individu segera dipulihkan. Membuka upaya hukum justru akan memperlama pemulihan hak tersebut.

Putusan praperadilan yang final dan mengikat kadang menimbulkan problem, misalnya jika ada dugaan putusan praperadilan menyimpang dari hukum atau berpotensi salah. Namun, Mahkamah Agung tetap menutup ruang upaya hukum demi menjaga konsistensi asas cepat dan kepastian hukum.

Solusinya bukan membuka upaya hukum baru, melainkan memperkuat integritas hakim praperadilan serta meningkatkan mekanisme pengawasan internal Mahkamah Agung.

Putusan praperadilan bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum apapun baik banding, kasasi, maupun PK. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 83 KUHAP, Pasal 45A UU MA, Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011, serta PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.

Secara filosofis, larangan upaya hukum atas putusan praperadilan dilandasi oleh tiga pilar utama: asas peradilan cepat, asas kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. Ketiganya menegaskan bahwa praperadilan harus segera memberi putusan final yang langsung mengikat.

Dengan demikian, filosofi “tak ada upaya hukum terhadap putusan praperadilan” bukanlah kelemahan, melainkan karakteristik yang justru menjaga fungsi utama praperadilan sebagai the guardian of human rights dalam proses peradilan pidana di Indonesia. (ldr)

Referensi:

Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP

Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011

PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan

DY Witanto, Hukum Acara Praperadilan Dalam Teori Dan Praktik: Mengurai Konflik Norma dan Kekeliruan dalam Praktik Penanganan Perkara Praperadilan, PT imaji cipta karya

Baca Juga: Tok! Permohonan Praperadilan Gugur, Perkara Dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Kupang

Riki Perdana Raya Waruwu, Praperadilan Pasca 4 Putusan MK, https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/Praperadilan%20Pasca%204%20Putusan%20MK.pdf diakses pada tanggal 14 September 2025

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI