Ada
yang istimewa dengan pergantian tahun kali ini, hari pertama kerja di 2026 menjadi
titik pemberlakukan aturan pidana dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Jika dulu UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
disebut karya anak bangsa, entah apa sebutan untuk KUHP baru yang akan segera berlaku.
Setiap perubahan aturan, terutama ketika mengatur mengenai perbuatan pidana berikut ancamannya, akan berdampak dalam penegakannya. Hukum acara pidana baru, sebagai tandem KUHP baru, meski sudah terlihat hilal perundangannya, belum tersedia untuk dapat dijadikan rujukan sampai detik ini.
Lex Favor Reo
atau Lex Mitior
Baca Juga: Perubahan Data Paspor : Haruskah Dengan Penetapan Pengadilan?
Dalam
hukum pidana, asas non-retroaktif atau Lex
temporis delicti tentu tidak asing. Karena pidana terkait dengan hak asasi
manusia, maka perbuatan baru dapat dikatakan perbuatan pidana apabila telah
diatur dalam undang-undang. Artinya harus ada ketentuan mengenai perbuatan
pidana berikut ancamannya terlebih dahulu, sehingga ketentuan hukum pidana
tidak boleh berlaku surut. Asas Legalitas demikian biasa disebut. Baik KUHP
lama tinggalan Belanda maupun karya anak bangsa tetap mengatur hal itu.
Nah,
ternyata ada lagi asas yang seolah “kontradiktif” dengan asas legalitas tadi, yaitu
Lex Favor Reo. Kalah pamor sepertinya
meski masih dalam pasal yang sama hanya beda ayat. Jika yang pertama di Pasal 1
ayat (1) KUHP maka yang kedua ada di ayat (2) KUHP.
Hal berbeda ketika kita menengok KUHP baru. Asas yang menentukan dalam hal terjadi perubahan peraturan perundangan sesudah perbuatan terjadi, maka diberlakukan ketentuan yang baru, kecuali ketentuan yang lama menguntungkan terdakwa. Begitulah, detail dan bunyi lengkapnya silahkan cek Paasal 3 KUHP baru.
Sekelumit Yang
Semoga Tidak Rumit
Jika
dalam KUHP lama hanya tertuang dalam satu ayat, maka dalam KUHP baru selain
diatur dalam pasal tersendiri, juga kemudian dituangkan dalam beberapa ayat.
Secara garis besar terbagi menjadi: dalam hal ketentuan baru tidak lagi
mengatur sebuah perbuatan adalah perbuatan pidana dan dalam hal ketentuan baru
ternyata mengancamkan pidana yang lebih ringan. La kalau lebih berat? Ya kan
jelas bunyi pasalnya, berarti tetap berlaku ketentuan pidana yang lama.
Nah
dengan politik hukum rekodifikasi, konsolidasi dan harmonisasi menjadikan
ketentuan pidana dalam KUHP baru tidak saja berasal dari KUHP lama tetapi juga
dari berbagai ketentuan perundangan lainnya. Hal tersebut tentu membawa dampak
untuk mencermati setiap ketentuan pidana didalamnya, demi dan untuk penerapan
ketentuan Pasal 3 KUHP baru.
Sekilas
nampak sederhana, kan cuma cek dan pastikan apakah perbuatan pidana dalam
ketentuan, baik KUHP atau UU lainnya, tetap menjadi perbuatan pidana atau sudah
tidak lagi diancamkan pidana. Jika sudah tidak lagi merupakan tindak pidana,
selesai, berlaku ketentuan yang baru.
Lalu
bagaimana jika tetap merupakan tindak pidana? Ya tetap harus dicermati apakah bestanddeel
delict (inti delik atau tindak pidana) masih sama atau ada perubahan. Baik
masih sama atau ada perubahan, perbuatan pidana tersebut masuk ketentuan pasal
berapa? Lalu bagaimana pula dengan ketentuan yang lama, apakah dihapus, dirubah
atau bagaimana? Sekelumit nampak mulai rumit kan? Nah biar kelihatan lebih rumit,
last but not least tentu harus dilihat ancaman pidana atas perbuatan
pidana dalam ketentuan pasal KUHP baru itu. Mana ketentuan yang menguntungkan
terdakwa dan harus diterapkan.
Hal tersebut tentu berdampak terhadap penegakan ketentuan hukum pidana dalam praktek. Tentu saja dalam setiap tingkatan prosesnya. Penyidikan, penuntutan maupun proses persidangan bahkan upaya hukum, pun juga demikian dalam proses pemasyarakatan. Singkatnya semua pihak, bahkan ketika sebuah putusan sudah berkekuatan hukum tetap dan telah dieksekusi jaksa, ketentuan Pasal 3 KUHP baru harus mendapat perhatian setiap pejabat yang terkait, dalam bahasa kerennya Integrated Criminal Justice System. Abai atau lalai, terlebih sengaja tidak menerapkan ketentuan Pasal 3 KUHP baru dapat menjelma menjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Sekelumit
Penerapan Pasal 3 KUHP Baru Dalam Proses Persidangan.
Baiklah,
lalu bagaimana proses persidangan menyongsong KUHP baru? Pertanyaan menarik,
semenarik pendapat yang bisa jadi akan berbeda dalam memahami dan menerapkan
ketentuan Pasal 3 KUHP baru.
Menjelang
pergantian tahun, haqqul yakin hampir seluruh satuan kerja pengadilan
masih akan terdapat perkara yang sudah deregister dan baru akan dapat diputus
di tahun mendatang. Artinya terhadap perkara tersebut, berlaku ketentuan Pasal
3 KUHP baru.
Hal
tersebut karena perbuatan pidana terjadi sebelum ketentuan baru berlaku
sehingga pasal yang tercantum dalam dakwaan merujuk pada ketentuan lama (baik
dalam KUHP maupun di luar KUHP). Sehingga dasar pemeriksaan (pembuktian tindak
pidana) adalah merujuk pada bunyi pasal berikut unsur-unsur pasal dakwaan
penuntut umum.
Anggap
saja KUHP baru menentukan perbuatan yang didakwakan tetap merupakan tindak
pidana. Meski demikian, akan tetap ada beberapa “kerumitan” yang mungkin
muncul.
Baiklah
kita mulai dari yang termudah. Perbuatan pidana dan ancaman pidananya masih
sama dengan ketentuan lama. Tentu akan lebih mudah mempertimbangkan, karena
baik bestanddeel delict maupun sebut saja unsur-unsur (dan sub unsur
masih sama). Dalam pertimbangan tiap unsur masih akan sama, tinggal kemudian
dirujuk ketentuan baru dan ditambahkan dalam pertimbangan mengenai mulai
keberlakuannya dan dijadikan rujukan aturan sebagai dasar mengadili dalam
pertimbangan mengingat sebelum amar putusan.
Sekarang
kita tambah sedikit kerumitan. Lalu bagaimana jika ternyata meski bestanddeel
delict tetap sama tetapi ada perbedaan, perubahan baik penambahan atau
pengurangan unsur (atau sub unsur?) dalam ketentuan baru? Apakah ketika
mempertimbangkan unsur-unsur merujuk pada ketentuan lama atau sebaliknya
merujuk kepada ketentuan baru? (asumsinya ancaman pidana masih sama ya).
Karena
dasar pemeriksaan persidangan adalah dakwaan, maka sebaiknya pasal dengan
unsur-unsurnya harus dijadikan dasar pembuktian perbuatan pidana yang
didakwakan. Tentu dengan tidak dapat mengabaikan keberlakukan ketentuan yang
baru. Artinya dalam pertimbangan harus menjelaskan adanya peralihan ketentuan
dalam KUHP baru dan bagaimana hakim menyikapi dan mempertimbangkannya dalam
putusan.
Pertimbangan tersebut menjadi penting, karena dari pembuktian perbuatan pidana dalam dakwaan, yang bisa jadi akan ada perubahan unsur (atau sub unsur) dalam ketentuan yang baru. Maksudnya, sebuah sub-sub unsur perbuatan dalam ketentuan lama, kemudian menjadi unsur atau sub unsur pasal yang berbeda dalam ketentuan KUHP baru. Imbasnya tentu dapat juga berbeda kualifikasi tindak pidana yang nantinya akan disebutkan dalam amar putusan.
Penutup
Dalam hitungan hari, KUHP
baru akan berlaku. Dan dalam hitungan hari pula, masih banyak perkara yang
‘terpaksa’ baru akan diputus tahun depan. Artinya beberapa ‘kerumitan’ terkait
proses persidangan dengan keberlakuan KUHP baru juga akan dialami.
Ketentuan sebagaimana
termaktub dalam Pasal 3 KUHP baru, meski karena telah dijabarkan lebih detail sekilas
terlihat mudah dan sederhana. Akan tetapi dengan mencermati beberapa
“kerumitan” yang mungkin muncul, rasanya tidak dapat dianggap angin lalu.
Kecukupan pertimbangan, yang tentu harus dimulai dengan mencermati maksud dan
tujuan pasal, dikaitkan dengan fakta yang muncul dalam proses persidangan,
harus nampak dan tergambar dalam pertimbangan putusan.
Tanpanya, putusan dalam masa peralihan berlakunya KUHP baru dapat menjadi alasan upaya hukum. Putusan dianggap onvoldoende gemotiveerd. Hal yang jelas tidak boleh terjadi. Semoga.
Baca Juga: Sebuah Harapan kepada Ketua PN Jakpus yang Baru
Bale Bandung, Senin, 29 Desember 2025. Dari Sudut Ruang Kerja. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI