Awal tahun 2026 menjadi garis start diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional/KUHP Baru). Namun sebelum sampai pada titik itu, ada satu asas yang akan menguji keseriusan negara dalam menegakkan keadilan, khususnya bagi para Hakim: Lex Favor Reo. Asas ini memiliki prinsip perlindungan terhadap hak bagi seorang tersangka atau terdakwa. Dalam penerapannya, hal ini memiliki titik krusial yang perlu untuk menjadi perhatian yakni akankah asas ini dijalankan secara konsisten atau justru terpinggirkan di tengah transisi?
Penerapan Lex Favor Reo dalam Praktik
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Asas Lex Favor Reo memiliki makna bahwa apabila terjadi suatu perubahan peraturan perundang-undangan, maka diterapkan aturan yang lebih meringankan bagi setiap orang yang terdampak dari perubahan aturan tersebut. Terdapat 2 (dua) teori tentang asas ini, yakni teori ajaran formil (formele leer), yang menyatakan jika perubahan yang dimaksud adalah perubahan terhadap peraturan perundang-undangan pidana saja, akan tetapi dalam teori ajaran materiil (beperkte materiele leer) perubahan yang dimaksud tidak sebatas peraturan perundang-undangan pidana saja, melainkan termasuk juga undang-undang lain yang ikut memengaruhi undang-undang pidana.[1] Meski demikian, dari kedua teori tersebut berujung pada satu perhentian yang sama yakni penerapan aturan pidana yang paling meringankan bagi orang yang terdampak.
Lex Favor Reo secara umum berlaku hampir di semua negara di dunia, termasuk di Indonesia. Asas ini secara eksplisit termuat, baik dalam KUHP yang saat ini berlaku, maupun dalam KUHP Baru. Dalam KUHP yang saat ini berlaku, asas Lex Favor Reo diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”. Sedangkan pengaturan tentang asas ini dalam KUHP Nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 3, memiliki penjabaran yang lebih lengkap dan terang dari aturan sebelumnya. Terdapat 3 hal penting yang diatur dalam pasal tersebut tentang penerapan asas Lex Favor Reo dalam kaitannya apabila terjadi perubahan perundang-undangan, yakni:
1. Aturan Yang Menguntungkan. Ketentuan pada ayat (1) memiliki makna yang sama dengan aturan dalam KUHP yang saat ini berlaku, akan tetapi dalam aturan ini menunjukkan bahwasanya semangat dari KUHP baru adalah untuk menerapkan aturan hukum pidana yang baru, namun terdapat pengecualian apabila peraturan perundang-undangan yang lama lebih menguntungkan bagi pelaku Tindak Pidana, barulah peraturan perundang-undangan yang lama tetap dapat digunakan. Hal ini secara tegas diatur juga dalam ayat (7) yang mengatur jika setelah putusan pidana berkekuatan hukum tetap akan tetapi perbuatan yang terjadi diancam dengan pidana yang lebih ringan, maka pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana menurut KUHP baru;
2. Dekriminalisasi. Ketentuan pada ayat (2), mengatur tentang dekriminalisasi terhadap peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia. Hal ini tidak dimuat secara eksplisit dalam KUHP yang saat ini berlaku, namun dalam KUHP Nasional hal ini diatur secara tegas tentang hal ini yang ditunjukkan dengan adanya penghentian proses pemeriksaan demi hukum. Kemudian dalam ayat (3) diatur apabila dekriminalisasi terjadi dan tersangka atau terdakwa sedang berada dalam tahanan, maka tersangka atau terdakwa haruslah sesegera mungkin dibebaskan oleh Pejabat yang berwenang dalam setiap tahap pemeriksaan. Masih dalam konteks dekriminalisasi, ayat (4) juga mengatur jika dekriminalisasi terjadi setelah adanya putusan pemidanaan, maka secara hukum pelaksanaan putusan pemidanaan harus dihapuskan. Selanjutnya, ayat (5) pasal tersebut mengatur apabila dekriminalisasi terjadi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka instansi atau Pejabat yang berwenang melaksanakan pembebasan terhadap terpidana;
3. Gugurnya Hak Ganti Rugi. Ketentuan dalam ayat (6) mengatur secara khusus dalam hal terjadinya pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5). Dalam ayat ini, pembebasan yang dilakukan tidaklah menimbulkan hak bagi tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian.
Meski hampir di semua negara di dunia mengakui dan menerapkan asas ini, namun berbeda penerapannya di negara Inggris dan Swedia. Di Inggris, pelaku tindak pidana tetap diadili menurut undang-undang yang lama meskipun telah terjadi perubahan peraturan perundang-undangan pada saat melakukan tindak pidana dan pada saat diadili. Hal ini dianggap lebih tepat diterapkan untuk menghormati kepastian dan keadilan hukum. Lain hal dengan Swedia, undang-undang barulah yang diberlakukan terhadap terdakwa apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan pada saat melakukan perbuatan dan pada saat diadili. Dasar pertimbangannya diterapkannya hal ini adalah karena setiap perubahan perundang-undangan niscaya merupakan suatu perbaikan dan hal itu selalu membawa akibat baik terhadap perkara-perkara yang belum diadili.[2] Indonesia dan negara-negara lainnya memilih “jalan tengah” sebagai bentuk perhatiannya kepada hak tersangka atau terdakwa yang perlu dipandang sebagai subjek hukum.
Tantangan Awal Dalam Menerapkan KUHP Baru
Menjelang akhir tahun 2025, akan banyak perkara pidana yang akan bersinggungan dengan asas Lex Favor Reo serta perlu adanya penerapan dari asas ini dalam penjatuhan putusan oleh Hakim. Pasalnya, perkara-perkara pidana yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri di masa akhir tahun berkemungkinan tidak akan dapat diselesaikan sampai pada tahap penjatuhan pidana (putusan) dan baru akan diputus pada awal tahun depan, itu berarti KUHP Baru sudah mulai berlaku sehingga apabila hal tersebut terjadi, maka penting bagi para Hakim untuk mempertimbangkan penerapan asas Lex Favor Reo dalam putusannya. Beberapa hal penting yang akan mengalami perubahan dan perlu untuk diperhatikan secara khusus oleh Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana berdasarkan KUHP Nasional, antara lain:
- Perubahan nomor/angka pasal yang didakwakan;
- Perubahan ancaman pidana dari pasal yang didakwakan;
- Perubahan jenis pidana pokok dan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan (lihat Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP Nasional);
- Pertimbangan khusus dalam hal penjatuhan pemidanaan (lihat Pasal 54 KUHP Nasional);
- Tujuan pemidanaan sebagai dasar penjatuhan pidana (lihat Pasal 51 KUHP Nasional);
Serta perubahan-perubahan lainnya sebagaimana sebagian besarnya diatur dalam Buku I KUHP Nasional. Dari perubahan-perubahan di atas, penting bagi para Hakim pada akhirnya harus mempertimbangkan tentang pasal tindak pidana mana yang akan diterapkan berdasarkan asas Lex Favor Reo.
Kesimpulan
Bagi aparat penegak hukum, terkhusus para Hakim, perubahan peraturan perundang-undangan perlu untuk disikapi secara serius dengan mendasarkan pada asas hukum pidana Lex Favor Reo sebagaimana telah diuraikan di atas. Sebagai pengingat, jangan sampai para Hakim luput dan lalai mempertimbangkan tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam KUHP. Hal ini dikarenakan, selain terkait dengan perlindungan hak tersangka atau terdakwa, tetapi juga terkait dengan perilaku profesional (professional conduct) dari para Hakim itu sendiri dalam menjatuhkan putusannya. (YPY/LDR)
Referensi:
[1] Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso. (2025). Anotasi KUHP Nasional. (Depok: Rajawali Pers), h. 9.
Baca Juga: Telaah Batas Pidana Penjara pada Acara Pemeriksaan Singkat dalam RKUHAP
[2] Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej. (2021). Dasar-Dasar Ilmu Hukum Memahami Kaidah, Teori, Asas, dan Filsafat Hukum. (Jakarta: Red & White Publishing), h. 143-144.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI