Cari Berita

Wakil Ketua PN Jambi Jelaskan Eksekusi Kasus Fidusia Pasca Putusan MK

article | Berita | 2025-05-27 11:10:03

Jambi – Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Jambi menyelenggarakan Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) terkait permasalahan Jaminan Fidusia Tahun 2025. Salah satu yang dibahas adalah eksekusi kasus fidusia pasca putusan MK.Hadir dalam acara Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jambi, Hendra Halomoan sebagai salah satu narasumber FGD. Peserta mendapat perspektif yudisial, khususnya mengenai penafsiran dan penerapan hukum dalam kasus fidusia sebelum dan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 jo. Nomor 2/PUU-XIX/2021 jo. Nomor 71/PUU-XIX/2021.“Sebelum putusan MK, kreditur dapat melakukan parate eksekusi langsung tanpa pengadilan jika debitur wanprestasi, berdasarkan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Pasca putusan MK, eksekusi harus melalui pengadilan apabila debitur keberatan menyerahkan objek jaminan fidusia secara sukarela, sehingga prosedur eksekusi harus mengikuti mekanisme hukum eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pembaharuan ini bertujuan menyeimbangkan kepentingan antara kreditur dan debitur dengan memberikan perlindungan hukum yang lebih jelas bagi debitur dalam proses eksekusi jaminan fidusia,” kata Hendra Halomoan.Sebagai penutup dijelaskan juga mengenai biaya panjar, proses eksekusi, lelang, dan hal lain yang berkaitan dengan aspek yuridis dari hukum fidusia termasuk transparansi proses dan pelayanan di Pengadilan Negeri Jambi.     

PN Pare-Pare Berhasil Eksekusi Sukarela Soal Tunggakan Cicilan Mobil Pajero 

article | Sidang | 2025-05-14 12:05:17

Parepare- Pengadilan Negeri (PN) Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Sulsel) kembali mencatatkan keberhasilan pelaksanaan eksekusi sukarela dalam perkara sengketa perjanjian fidusia. Kali ini terkait cicilan pembelian mobil Mitsubishi Pajero.Permohonan eksekusi tersebut tercatat dalam register Nomor 4/Pdt.Eks/2024/PN Pre, yang melibatkan BFI Finance Cabang Parepare sebagai pemohon dan Herawati sebagai termohon. Pelaksanaan ini merupakan eksekusi kedua yang sukses dilaksanakan PN Pare-Pare sepanjang tahun 2025.Perkara bermula dari wanprestasi Herawati dalam suatu perjanjian fidusia, dengan objek jaminan berupa 1 unit mobil Mitsubishi Pajero. Maka dari itu, pihak BFI Finance mengajukan eksekusi jaminan fidusia ke PN Pare-Pare. Proses negosiasi sempat mengalami kebuntuan karena perbedaan nilai pelunasan. Sebagai kreditur, BFI Finance menetapkan sisa utang sebesar Rp 220 juta, sementara debitur meminta penurunan menjadi Rp150 juta.Setelah musyawarah yang diupayakan ketua PN Pare-Pare, akhirnya tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Herawati bersedia melunasi seluruh sisa utang sesuai tuntutan kreditur sejumlah Rp220 juta. Di sisi lain, BFI Finance wajib menyerahkan BPKB mobil Mitsubishi Pajero sebagai tanda penyelesaian kewajiban. Dipimpin oleh Panitera PN Pare-Pare, Angri Junanda di ruang mediasi pengadilan, penyerahan pembayaran sejumlah uang dilaksanakan secara transfer bank ke rekening BFI Finance. “Alhamdulillah, eksekusi sukarela ini kembali berjalan lancar berkat sinergi antara pengadilan dan para pihak. Pelaksanaan ini menjadi contoh penyelesaian sengketa secara kekeluargaan tanpa harus melalui upaya paksa,” ujar Angri kepada DANDAPALA, Rabu (14/5/2025).

Arsip Pengadilan 1932 : Cikal Bakal Lahirnya Fidusia Di Indonesia

article | History Law | 2025-03-08 12:20:14

Dalam sejarah perkembangannya di Indonesia, jauh sebelum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang jaminan fidusia, eksistensi dari lembaga fidusia telah diakui. Ini berangkat dari adanya perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat, misalnya adanya kebutuhan yang mendesak dari para pedagang, pengusaha kecil dan pengecer yang mengingingkan fasilitas kredit untuk memenuhi kebutuhan usahanya. Namun adanya kebutuhan tersebut, haruslah juga diimbangi dengan adanya jaminan bagi kreditur yang akan memberikan pinjaman modal. Dalam kondisi seperti itu pada masa itu, lembaga hipotik tidak menjadi pilihan yang tepat, dikarenakan kebanyakan dari mereka tidak memiliki tanah sebagai jaminan.Pada masa pemerintahan Hindia Belanda waktu itu, ada lembaga hukum yang disebut dengan Voorraad Pand yang dibentuk untuk menampung kebutuhan fidusia. Akan tetapi dalam praktiknya kurang populer, dikarenakan kepemilikan dari debitur terhadap benda objek jaminan sangat kuat. Dalam sejarah hukum di negara kita, lembaga fidusia pertama yang diakui oleh yurisprudensi di zaman Hindia Belanda adalah melalui putusan Hooggerechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932.Duduk perkaranya secara singkat sebagai berikut:Pedro Clygnett selanjutnya disebut Clygnett meminjam uang dari Bataafse Petrolium Maatschappy selanjutnya disebut: B.P.M. dan sebagai jaminan ia telah menyerahkan hak miliknya atas sebuah mobil. Mobil tersebut tetap ada dalam penguasaan Clygnett, tetapi selanjutnya bukan sebagai pemilik tetapi sebagai peminjam pakai. Jadi ada penyerahan secara constitutum possessorium. Dalam perjanjian disepakati, bahwa pinjam pakai itu akan diakhiri antara lain, kalau Clygnett wanprestasi dan dalam hal demikian Clygnett wajib untuk menyerahkan mobil tersebut kepada B.P.M. Ketika Clygnett benar-benar wanprestasi, maka pihak B.P.M. mengakhiri perjanjian pinjam pakai tersebut di atas dan menuntut penyerahan mobil jaminan, yang ditolak oleh pihak Clygnett dengan mengemukakan sebagai alasan, bahwa mobil tersebut bukan milik B.P.M. dan perjanjian yang ditutup antara mereka adalah perjanjian gadai. Karena mobil jaminan tetap dibiarkan dalam penguasaan dirinya, maka perjanjian gadai itu adalah batal. Ketika perkara itu sampai pada Hooggerechtshof Batavia, maka HGH menolak alasan Clygnett dan mengatakan, bahwa perjanjian penjaminan Itu adalah suatu penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang sah. Sejak keputusan tersebut, fidusia mendapatkan pengakuannya secara jelas dalam yurisprudensi di Indonesia.Sejak ada putusan B.P.M. tersebut, semakin banyak putusan pengadilan baik pada Mahkamah Agung di zaman Hindia Belanda (HGH) maupun Mahkamah Agung dan juga pengadilan di bawahnya di zaman Indonesia merdeka yang telah mengikuti putusan B.P.M. tersebut. Berikut beberapa putusan pengadilan yang telah mengakui adanya lembaga fidusia yaitu:Lembaga fidusia hanya diperuntukkan terhadap benda bergerak (Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 158/1950/Pdt tanggal 22 Maret 1951 dalam perkara antara Algemene Volkscrediet Bank di Semarang melawan The Gwan Gee dan Marpuah).Membenarkan pengikatan fidusia sepanjang mengenai percetakan dan gedung perkantoran (Putusan Mahkamah Agung No. 372/K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971 dalam perkara antara BNI Unit Semarang melawan Lo Ding Siang).Menegaskan bahwa kreditur pemilik fidusia (atas besi beton dan semen) bukanlah pemilik yang sebenarnya, tetapi hanya sebagai pemegang jaminan utang saja, sehingga jika utang tidak dibayar, pihak kreditur tidak dapat langsung memiliki benda tersebut (Putusan Mahkamah Agung No. 1500 K/Sip/1978, tanggal 2 Februari 1980).Bahwa dalam praktik sehari-hari lembaga fidusia ternyata telah memberikan peranan penting dalam perkembangan perekonomian, terutama dalam menjamin pemberian kredit yang ada. Dalam pelaksanaannya, fidusia tidak hanya dipergunakan untuk menjamin kredit-kredit, melainkan juga untuk menjamin pelunasan suatu jual beli yang dilakukan tidak secara tunai.Walupun lembaga fidusia telah menjadi jalan keluar sebagai jaminan kredit berupa benda bergerak di samping gadai, tetapi dalam pelaksanaannya masih menimbulkan persoalan yang baru, misalnya: terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan, terdapat celah bagi pemberi fidusia untuk menjaminkan benda yang telah dibebani fidusia tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan penerima fidusia. Selain itu pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia hanya terbatas pada benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Sementara berdasarkan perkembangan yang ada, objek jaminan fidusia bisa saja meliputi pada benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Dengan adanya persoalan tersebut, maka dibentuklah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Adanya cikal bakal pengaturan lembaga fidusia di negara kita yang berawal dari yurisrudensi, menunjukkan kalau eksistensi putusan hakim dapat menjadi jalan keluar dalam mengisi kekosongan hukum. Sehingga tidak selamanya hukum harus jauh tertinggal dari perkembangan masyarakat.   Sumber Referensi:Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, J. Satrio, S.H, Bandung, 2005Tinjauan Sejarah Lembaga Fidusia di Indonesia, Andhika Desy Fluitahttps://www.kompas.com/stori/image/2023/10/03/170000479/kebijakan-jalan-tengah