Cari Berita

Kaidah Hukum Putusan MA Soal Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Fungsi Negatif

article | Kaidah Hukum | 2025-09-08 12:25:35

PASAL 12 KUHP Nasional menegaskan bahwa setiap tindak pidana harus memiliki sifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Secara a contrario, dapat disimpulkan bahwa setiap tindak pidana selalu dianggap bersifat melawan hukum, kecuali jika terdapat alasan pembenar. Artinya, unsur melawan hukum merupakan bagian dari fundamental yang melekat pada setiap delik. Karena merupakan syarat umum penjatuhan pidana, pengertian ini disebut sebagai sifat melawan hukum umum. Di samping secara umum, salah satu wujud lain dari sifat melawan hukum adalah dalam bentuknya yang materiel. Artinya, suatu perbuatan dianggap melawan hukum bukan hanya berdasarkan hukum tertulis, tetapi juga disebabkan norma-norma kepatutan, moralitas, dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Sifat melawan hukum materiel lalu terbagi menjadi dua, yakni fungsi negatif dan positif.Dalam fungsi positif, sifat melawan hukum dapat memperluas pengertian delik pidana jika masyarakat menganggap suatu perbuatan tercela, walau tidak diatur oleh undang-undang. Di sisi lain, sifat melawan hukum dalam fungsi negatif justru menghapuskan pertanggungjawaban pidana meski unsur delik terpenuhi, jika perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan norma keadilan. Salah satu kaidah penting mengenai sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif adalah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 42/K/Kr/1965. Kasus ini berawal dari dakwaan terhadap Machroes Effendi, patih di Kantor Bupati Sambas sekaligus Wakil Ketua Jajasan Badan Pembelian Padi (JBPP). Ia diduga melakukan penggelapan yang merugikan keuangan negara sepanjang tahun 1962 di Kota Singkawang atau Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Menurut penuntut, Machroes menerbitkan perintah pengiriman atau delivery order (DO) gula kepada pihak yang tidak berhak menerima dan menyimpang dari tujuan semula. Ia juga mengirim gula sejumlah 682.859 kg ke daerah (kawedanan) yang tidak mampu menyerapnya, sehingga terdapat 185 ton gula yang akhirnya dijual di pasar bebas. Di samping itu, Machroes memerintahkan penyusutan jumlah gula insentif sejumlah 10% (67.932 kg) tanpa berita acara, serta beberapa tindakan lain yang tak sesuai peraturan. Akibatnya, JBPP ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp9,8 juta.Pengadilan Negeri (PN) Singkawang kemudian menjatuhkan putusan tanggal 24 September 1964, serta menghukum Machroes Effendi dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Namun, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta justru menjatuhkan putusan lepas segala tuntutan hukum di tanggal 27 Januari 1965 dengan alasan negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, serta terdakwa tidak memperoleh keuntungan. Kontra dengan putusan lepas tersebut, penuntut mengajukan kasasi ke MA pada tanggal 22 Maret 1965. Di tingkat kasasi, MA menguatkan pertimbangan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, sekaligus memperluas alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum di luar KUHP. Dengan kata lain, pertimbangan putusan lepas bukan bersumber dari ketentuan undang-undang, melainkan karena MA tidak menemukan unsur melawan hukum dalam tindakan terdakwa. Pada konteks perkara ini, perbuatan Machroes Effendi yang tidak mengakibatkan kerugian negara, kepentingan umum diuntungkan, serta terdakwa tidak mendapat keuntungan sama sekali—merupakan faktor yang menghapuskan sifat melawan hukum. MA juga menegaskan bahwa alasan penghapus sifat melawan hukum meliputi asas keadilan serta asas “hukum tidak tertulis dan bersifat umum” di luar undang-undang.Putusan MA Nomor 42/K/Kr/1965 kerap menjadi rujukan literatur mengenai bagaimana fungsi negatif dari sifat melawan hukum berlaku dalam praktik peradilan di Indonesia. Maka dari itu, hingga kini terdapat tak kurang dari 400 putusan dalam Direktori Putusan yang menyebutkan kata kunci “42/K/Kr/1965” atau “Machroes Effendi”, terutama di perkara korupsi. Putusan ini sekaligus memperlihatkan bahwa ukuran keadilan tidak terbatas pada terpenuhinya unsur delik semata, tetapi harus mempertimbangkan rasa keadilan dan norma yang hidup di masyarakat.

Menilik Formalitas Kewenangan Penggugat Dalam Menentukan Pihak Yang Akan Digugatnya

article | Kaidah Hukum | 2025-07-27 14:35:30

Salah satu asas dalam Hukum Perdata menyatakan merupakan kewenangan dari Penggugat dalam menentukan siapa pihak yang akan digugatnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa inisiatif datanya suatu gugatan berasal dari Penggugat, oleh karena Penggugat yang merasa haknya dilanggar dan Penggugat pula yang paling tahu siapa pihak yang dirasa telah melanggar haknya tersebut.Mahkamah Agung sebagai judex juris telah mengeluarkan yurisprudensi melalui Putusan Nomor 305K/Sip/1971 tanggal 16 Juni 1971 dengan kaidah hukum yang menyatakan “Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk secara jabatan tanpa pemeriksaan ulangan menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salaj seorang tergugat, karena tindakan tersebut bertentangan dengan azas acara perdata yang memberi wewenang tersebut kepada penggugat untuk menentukan siapa-siapa yang akan digugatnya.” Dengan adanya yurisprudensi tersebut tentu menjadi pedoman (guidance) bagi Hakim dalam menyelesaikan hal yang konkrit yang menjadi perselisihan dalam kasus yang ditanganinya.Jika kita melihat kaidah hukum dari yurisprudensi tersebut, sepertinya memberikan hak yang mutlak kepada Penggugat dalam menentukan siapa saja pihak yang akan digugatnya, sehingga seakan-akan menutup celah dari kemungkinan adanya gugatan Penggugat yang mengandung kekurangan secara formal, baik kekurangan pihak yang ditarik sebagai Tergugat (plurium litis constortium)  maupun kekeliruan dalam menarik pihak yang digugat (eror in persona).Jika kita mengkaji kaidah hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Nomor 305K/ Sip/1971 tersebut, menunjukkan kalau hal konkret yang melatarbelakangi Penggugat dinyatakan memiliki kewenangan dalam menentukan siapa-siapa yang akan digugat nya, dikarenakan sebelumnya ada Putusan dari Pengadilan Tinggi sebagai judex facti yang telah menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salah seorang Tergugat. Sehingga maksud adanya Putusan tersebut adalah untuk membatasi kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menarik seorang yang tidak digugat sebagai pihak Tergugat. Adanya pembatasan kewenangan Pengadilan Tinggi tersebut, tidak hanya berlaku terhadap pihak ketiga yang ditarik sebagai Tergugat saja, tetapi juga berlaku terhadap pihak ketiga yang ditarik sebagai Turut Tergugat. Hal ini sesuai dengan Putusan MA-RI No.457.K/ Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 dengan kaidah hukum yang menyatakan “Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai “Turut Tergugat” (juga dalam gugatan asal dijadikan pihak dalam perkara).”Adanya kaidah hukum dalam yurisprudensi tersebut selaras dengan asas dalam Hukum Perdata yang menyatakan merupakan ke wenangan dari Penggugat dalam menentu kan siapa pihak yang akan digugat nya. Namun yang menjadi pertanyaan, sejauh mana Penggugat memiliki kewenangan dalam menentukan siapa pihak yang akan digugatnya, ditinjau dari segi formal?Penggugat dalam menentukan siapa saja pihak yang akan ditarik sebagai Tergugat, secara garis besar didasarkan pada 2 (dua) faktor. Pertama Penggugat harus meneliti terlebih dahulu hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat. Apakah ada hak Penggugat yang dilanggar oleh Tergugat atau tidak? Di dalam praktek, adanya tuntutan hak yang diajukan ke pengadilan didasarkan pada 2 (dua) hal yaitu pertama dikarenakan adanya perjanjian (agreement) sebelumnya diantara kedua belah pihak dan kedua dikarenakan adanya perbuatan Tergugat yang menurut Penggugat telah melanggar haknya (onrechtmatige daad). Selanjutnya faktor kedua adalah Penggugat harus menyesuaikan kebutuhan dalil gugatan Penggugat, dalam hal ini Penggugat harus menentukan sejauh mana ruang lingkup objek yang akan dipermasalahkan Penggugat. Sehingga atas dasar itulah, Penggugat dapat menentukan siapa saja pihak yang akan ditarik sebagai Tergugat.Adanya hak dari Penggugat untuk menggugat pihak lain yang dirasa telah melanggar haknya tersebut, tidaklah berlaku mutlak. Tidak serta merta semua orang dapat digugat oleh pihak lain. Jika Penggugat dalam menarik pihak lain sebagai Tergugat, tidak didasarkan pada adanya suatu hubungan hukum dan kebutuhan ruang lingkup objek yang dipermasalahkan, maka menjadi konsekuensi logis kalau gugatan dari Penggugat akan dinyatakan mengandung cacat formal, baik gugatan Penggugat keliru dalam menarik pihak yang digugat maupun gugatan Penggugat kekurangan pihak yang ditarik sebagai Tergugat. (RBW, ASN)