PASAL 12 KUHP Nasional menegaskan bahwa setiap tindak pidana harus memiliki sifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Secara a contrario, dapat disimpulkan bahwa setiap tindak pidana selalu dianggap bersifat melawan hukum, kecuali jika terdapat alasan pembenar. Artinya, unsur melawan hukum merupakan bagian dari fundamental yang melekat pada setiap delik. Karena merupakan syarat umum penjatuhan pidana, pengertian ini disebut sebagai sifat melawan hukum umum.
Di samping secara umum, salah satu wujud lain dari sifat melawan hukum adalah dalam bentuknya yang materiel. Artinya, suatu perbuatan dianggap melawan hukum bukan hanya berdasarkan hukum tertulis, tetapi juga disebabkan norma-norma kepatutan, moralitas, dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Sifat melawan hukum materiel lalu terbagi menjadi dua, yakni fungsi negatif dan positif.
Baca Juga: Urgensi Tinjauan Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Perkara Pidana Pada Putusan Pengadilan
Dalam fungsi positif, sifat melawan hukum dapat memperluas pengertian delik pidana jika masyarakat menganggap suatu perbuatan tercela, walau tidak diatur oleh undang-undang. Di sisi lain, sifat melawan hukum dalam fungsi negatif justru menghapuskan pertanggungjawaban pidana meski unsur delik terpenuhi, jika perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan norma keadilan.
Salah satu kaidah penting mengenai sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif adalah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 42/K/Kr/1965. Kasus ini berawal dari dakwaan terhadap Machroes Effendi, patih di Kantor Bupati Sambas sekaligus Wakil Ketua Jajasan Badan Pembelian Padi (JBPP). Ia diduga melakukan penggelapan yang merugikan keuangan negara sepanjang tahun 1962 di Kota Singkawang atau Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Menurut penuntut, Machroes menerbitkan perintah pengiriman atau delivery order (DO) gula kepada pihak yang tidak berhak menerima dan menyimpang dari tujuan semula. Ia juga mengirim gula sejumlah 682.859 kg ke daerah (kawedanan) yang tidak mampu menyerapnya, sehingga terdapat 185 ton gula yang akhirnya dijual di pasar bebas. Di samping itu, Machroes memerintahkan penyusutan jumlah gula insentif sejumlah 10% (67.932 kg) tanpa berita acara, serta beberapa tindakan lain yang tak sesuai peraturan. Akibatnya, JBPP ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp9,8 juta.
Pengadilan Negeri (PN) Singkawang kemudian menjatuhkan putusan tanggal 24 September 1964, serta menghukum Machroes Effendi dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan. Namun, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta justru menjatuhkan putusan lepas segala tuntutan hukum di tanggal 27 Januari 1965 dengan alasan negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, serta terdakwa tidak memperoleh keuntungan. Kontra dengan putusan lepas tersebut, penuntut mengajukan kasasi ke MA pada tanggal 22 Maret 1965.
Baca Juga: Mengabulkan yang Tidak Diminta dalam Petitum, Apakah Ultra Petita?
Di tingkat kasasi, MA menguatkan pertimbangan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, sekaligus memperluas alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum di luar KUHP. Dengan kata lain, pertimbangan putusan lepas bukan bersumber dari ketentuan undang-undang, melainkan karena MA tidak menemukan unsur melawan hukum dalam tindakan terdakwa. Pada konteks perkara ini, perbuatan Machroes Effendi yang tidak mengakibatkan kerugian negara, kepentingan umum diuntungkan, serta terdakwa tidak mendapat keuntungan sama sekali—merupakan faktor yang menghapuskan sifat melawan hukum. MA juga menegaskan bahwa alasan penghapus sifat melawan hukum meliputi asas keadilan serta asas “hukum tidak tertulis dan bersifat umum” di luar undang-undang.
Putusan MA Nomor 42/K/Kr/1965 kerap menjadi rujukan literatur mengenai bagaimana fungsi negatif dari sifat melawan hukum berlaku dalam praktik peradilan di Indonesia. Maka dari itu, hingga kini terdapat tak kurang dari 400 putusan dalam Direktori Putusan yang menyebutkan kata kunci “42/K/Kr/1965” atau “Machroes Effendi”, terutama di perkara korupsi. Putusan ini sekaligus memperlihatkan bahwa ukuran keadilan tidak terbatas pada terpenuhinya unsur delik semata, tetapi harus mempertimbangkan rasa keadilan dan norma yang hidup di masyarakat.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI